Tubuh mereka merosot ke lantai, lelah dan terengah-engah setelah lolos dari ancaman yang mengejar mereka. Napas mereka berat, keringat membasahi wajah mereka, dan kaki mereka terasa pegal setelah berlari dan menghindari serangan sang guru.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?! Kita tidak bisa membakar atau memotong tangannya, dia adalah guru kita," ujar Kaela dengan nada panik.
"Kita harus segera mengirimkan sinyal SOS sebelum dia menyadari keberadaan kita," jawab Keira.
"Carilah kamera pengawas, mungkin ada yang merekam kejadian ini," tambahnya.
Dengan cepat, Fiona dan Kaela mulai menelusuri ruangan yang dihiasi rak-rak buku yang belum tersentuh. Mereka memeriksa setiap sudut ruangan, mencari tanda-tanda kamera pengawas yang mungkin ada di sana.
"Hei, aku menemukannya, tapi aku tidak tahu apa ini berfungsi!" Fiona berseru dari balik rak.
Kaela dan Keira menghampiri Fiona, mereka memerhatikan kamera pengawas itu dengan seksama.
"Seharusnya lampunya menyala ketika itu hidup, tapi terlihat mati," ujar Kaela.
"Aku baru tahu itu memiliki lampu," sahut Fiona.
"Kau seharusnya menjadi fosil sekarang," ucap Keira.
"Apa mak-"
Fiona terdiam ketika Keira menunjukkan kepalanya ke arah pintu. Suara langkah kaki terdengar semakin dekat. Mereka saling berpandangan, penuh ketegangan.
Brak!
Suara gemuruh pintu yang terbanting keras memecah keheningan ruangan. Ketiganya membeku, napas terhenti di tenggorokan mereka, dan jantung-jantung mereka berdegup liar. Ketiganya terdiam, menahan diri agar tidak mengeluarkan suara apa pun. Kaela mulai terisak pelan, menutup mulutnya untuk menekan isakan takutnya. Fiona merasakan dingin menusuk tulangnya, membuat tubuhnya kaku seperti patung.
"Mendekatlah, aku ada rencana," bisik Keira dengan suara yang hampir tak terdengar.
Kedua temannya menurutinya dengan patuh, duduk dan merapat padanya. Keira menyusupkan rencananya dengan perlahan. Fiona dan Kaela hanya bisa mengangguk, tanpa protes sedikitpun.
Guru itu menjelajahi ruangan dengan hati-hati, mencari-cari mangsanya yang tersembunyi. Gerakan cakarannya menggesek di udara, langkahnya mantap menuju ruangan yang gelap. Matanya menangkap bayangan seorang gadis dengan rambut cokelat terang dan kulit putih, tertawa dengan kebiadaban saat ia menyerang mangsanya dengan cepat dan ganas.
Serangan itu menghantam sasaran dengan sempurna, membelah tubuh mangsanya menjadi dua. Namun, tidak ada darah yang mengalir. Hanya bunga-bunga yang berhamburan, menyelimuti pandangannya.
Guru itu berusaha mengusir bunga-bunga itu dengan cakarnya, berputar-putar mencoba membersihkan pandangannya. Setelah beberapa saat pandangannya kembali normal. Namun kakinya terasa mati rasa dan dingin, tidak bisa digerakkan sedikitpun.
Fiona menatap Keira dengan rasa kagum campur takjub. "Aku heran kenapa kau sangat suka membekukan kaki orang lain," katanya dari balik guru yang dikuasai.
Keira tersenyum tipis. "Menurutku, itu adalah titik lemah yang sangat mudah diincar," jawabnya sambil bergerak keluar dari persembunyiannya di balik rak bersama Kaela.
Kaela mengangguk setuju. "Aku juga terkejut, aku bahkan tidak tahu bahwa kloninganku bisa meledakkan bunga seperti itu," ujarnya, masih terkejut dengan keahlian yang baru saja ia tunjukkan.
Sementara itu, sang guru semakin gelisah dan marah. Dia meraung dan mencoba mencakar es yang membeku di sekitar kakinya, mencoba membebaskan diri. Ketiganya langsung mengambil posisi siap bertahan, menyadari bahwa sang guru akan mencoba melawan dengan segala cara yang dimilikinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yelkrana Saga : Tracing the Trails of Eternal Warfare
FantasyDalam dunia Yelkrana, keajaiban dan kegelapan saling bersaing untuk menguasai takdir. Di antara gemerlapnya sihir dan bayang-bayang kegelapan, manusia dan monster berjuang untuk menegakkan supremasi mereka. Konflik abadi antara kedua kekuatan ini me...