Galau

896 58 4
                                    

"Adek, makan dulu sini!" Panggil Liam dari bawah. Dia menunggu hampir semenit namun tidak ada tanda-tanda Nafla akan turun untuk makan malam.

Karena heran, Liam kemudian pergi menunuju kamar Nafla dan melihat adiknya itu yang tengah berbaring di lantai kamarnya dengan selimut tebal yang menutupinya. Ditambah wajah suram Nafla dengan mata memerah sehabis menangis.

"Lho dek?!" Liam menghampiri adiknya itu dengan sangat terkejut dan menangkup pipi Nafla. "Kenapa nangis hah? Bilang sama abang!"

Namun Nafla mulai terisak lagi membuat Liam naik pitam. Dia cepat-cepat ingin berdiri namun Nafla menahan tangan sang kakak seakan tau isi pikiran lelaki itu.

"Nafla," panggil Liam pelan.

"Bukan Teddy bang," Nafla lagi-lagi terisak. Dia lalu menunjuk laptopnya dan kembali menutupi dirinya dengan selimut meninggalkan Liam dalam kebingungan.

Dia lalu berjalan menuju meja kerja sang adik dan hanya bisa tersenyum.

"Nafla," panggil Liam sekali lagi dan menepuk kepala Nafla yang dilapisi oleh selimut. "Gak papa kamu gagal, mungkin bukan rezeki kamu."

"Ta-tapi Nafla enggak mau jadi beban buat abang." Balasnya dengan suara serak.

"Nafla bukan beban. Nafla adik abang, sudah tanggung jawab abang buat menghidupi Nafla sampai nanti ada orang yang bisa menggantikan tugas abang buat kamu." Liam menjawab lembut. Tidak pernah Liam menganggap Nafla itu beban, dia malah bersyukur punya adik seperti Nafla.

Kata-kata Liam semakin membuat Nafla menangis. Dia lalu memeluk Liam dan menangis di pundaknya sedangkan Liam hanya mengelus rambut adiknya itu, mencoba menenangkannya.

Sungguh Nafla sangat kecewa dengan hasil yang dapatkan. Sudah dua kali dia gagal melamar pekerjaan sebagai translator di Prancis. Dia ingin sekali bekerja di salah satu lembaga bahasa di sana. Walaupun Nafla lulusan Bahasa Indonesia, dia merupakan orang yang berprestasi karena menguasai beberapa bahasa asing yang membuatnya sering dilirik oleh beberapa kantor di Indonesia.

Namun begitu, Nafla tetap pada mimpinya untuk bekerja di Prancis. Tentu saja Nafla sangat cinta Indonesia, dengan bekerja di sana juga, Nafla dapat mulai mengenalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang bukan dipandang orang biasa saja, tapi merupakan bahasa pengantar yang penting bagi negara-negara maju.

"Bang, adek capek bang." Kata Nafla yang sudah tenang selepas menangis.

"Istirahat aja, gapapa. Kamu boleh capek tapi jangan nyerah. Jadi harus semangat. Mau bahasa kita dikenal banyak orang kan?"

Nafla mengangguk.

"Jangan memaksa diri dek, kalau memang rezeki pasti udah disiapin sama yang di atas." Ucap Liam menasihati.

Setelah lama diam, Liam akhirnya sadar kalau adiknya sudah tertidur di bahunya karena kelelahan menangis. Dia lalu mengangkat Nafla dan membaringkan di tempat tidur dan menyelimutinya.

"Nafla jadi agak ringan," gumam Liam menyadari betapa ringannya tubuh sang adik. Dia lalu tersenyum lembut dan mengusap rambut Nafla pelan. "Mimpi indah adek."

•••

"Teddy."

Lamunan Teddy buyar, dia melihat pak Bowo yang tengah menatapnya khawatir.

"Teddy sakit? Dari tadi Bapak panggil lho."

"Maaf pak." Teddy tersenyum lesu. "Cuma kelelahan saja pak."

"Yaampun. Teddy istirahat dulu. Jangan sampai sakit." Nasihat pak Bowo yang ditanggapi anggukan oleh sang ajudan.

"Bapak udah tau." Pak Bowo memegang bahunya dan menepuknya beberapa kali. "Jadi cowo harus gentleman! Kalau perlu apa-apa, bilang saja sama Bapak oke?"

Si Abdi Negara Dingin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang