Bagian 32

7 2 0
                                    

Malika menatap keempat punggung tegap itu yang kian semakin jauh di pandangannya. Helalan napas Malika terdengar. Wanita paruh baya itu menatap keempat punggung yang kini sudah menghilang dengan tatapan penuh arti.

Sepi.

Satu kata itu yang membuat Malika sedih. Tidak akan ada lagi suara debatan Zolla dan Jala. Tidak akan ada lagi pertanyaan dan pernyataan mencengangkan dari Kesta. Tidak akan ada lagi pujian bangga Kelvin pada masakan buatannya sendiri. Meski hanya 3 hari kedatangan 3 remaja itu, Malika sudah menganggap mereka sebagai anak. Sama seperti Jala.

Wanita paruh baya itu melangkahkan kakinya memasuki rumah. Pintu yang terbuat dari bambu ia tutup dengan rapat. Malika mengedarkan pandangannya ke setiap sudut rumahnya.

"Rasanya seperti sudah sangat lama aku hidup dengan mereka bertiga," monolog wanita itu menghela napasnya pelan.

Kedua kakinya perlahan membawa ia mendekati sebuah galeri foto yang terpajang rapi di urusatan rak ketiga. Terdiam, Malika menatap penuh arti galeri foto kakek buyutnya.

John Willis.

"Entahlah, namun firasatku merasakan akan terjadi sesuatu yang besar."

***

"Ngomong-ngomong, benarkah kau ingin mengikuti kita karena tertarik dengan apa yang kita lakukan?"

Kelvin tiba-tiba bertanya. Jelas pertanyaan laki-laki itu tertuju pada Jala yang berjalan di sebelahnya.

Jala menoleh. Batang kayu yang ada di tanganya ia ayun-ayunkan. "Benar. Kenapa?"

Yang ditanya balik mengangkat kedua bahunya acuh. "Yah ... siapa tahu kau ingin mengikuti kami karena alasan lain," ucapnya.

Kau benar. Ada alasan lain aku mengikutimu.

Jala tidak benar-benar mengatakan kalimat itu. Remaja dengan perawakan tegap itu menghela napasnya panjang. "Oh ya, aku dengar kalian berasal dari akademik?" tanya Jala.

"Benar. Oh ya, ini rahasia. Kau jangan memberitahunya kepada siapun," bisik Kelvin. Suara laki-laki itu merendah.

"Kenapa suramu ikutan berbisik seperti itu? Memangnya rahasia apa yang akan kau beri tahu?" Zolla tiba-tiba menyahut dengan nada sewot andalannya. Gadis itu memutar bola matanya malas.

"Aku ingin memberi tahunya tentang rahasia kita yang kabur secara diam-diam dari akademik," tutur Kelvin. "Tentu saja itu bersifat sangat rahasia, 'kan. Aku takut ada seseorang yang akan mendengarnya," lanjutnya kemudian.

"Memangnya siapa yang akan mendengarnya? Adakah orang lain selain kita berempat di hutan seluas ini?" Pandangan Zolla di edarkan ke sekitar.

Benar apa yang dikatakan Zolla. Tidak mungkin ada seseorang selain mereka berempat di hutan seluas ini. Dan jikalaupun ada, orang itu bukanlah orang yang berasal dari akademik. Jadi ya ... aman-aman saja jika memberitahukan rahasianya sekarang.

"Yang dikatakan Zolla benar. Dan satu lagi, jangan bilang kalau kita kabur dari akademik secara diam-diam. Maaf-maaf saja, tapi aku telah mendapatkan izin dari Dumble. Jadi ya ... aku pergi dari akademik secara legal," sahut Kesta. Bibirnya menyunggingkan senyuman.

Satu alis Zolla terangkat mendengar perkataan itu. "Jadi maksudmu kepergianku dan Kelvin itu ilegal? Begitu?" Kedua bola matanya dirotasikan.

Kesta terkekeh seketika. "Aku tidak bilang seperti itu, namun jika kau merasa begitu, baguslah."

Zolla mendengus.

Sementara Jala terdiam mendengarkan perdebatan mereka berdua. Sunyi yang ada di hutan luas ini menyamankan. Bunyi-bunyi burung yang terbang di atas mereka saling berkicauan bersahut-sahutan. Pohon-pohon yang ada di kanan-kiri serasa bergerak ke belakang.

The Prince Kesta Kaelo MoonstoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang