Keramaian Pesantren

2 1 0
                                    

Gus Zaidan yang baru saja sampai langsung mencoba memisahkan Aiza dan Dena. Namun, tidak berhasil begitu saja. Ia kebingungan karena tidak bisa menyentuh salah satu dari mereka.

"Ning Hilya, santriwati lain ada?" tanya gus Zaidan kebingungan.

"Bacot lo jalang!" teriak Aiza lalu meninju hidung Dena membuat tulang hidung kecil itu meneteskan darah.

"Gus! tolong gus Zaidan," rintih Dena dramatis sembari memegangi hidungnya.

"Afwan, gus. Santriwati semuanya di aula kantin," jawab ning Hilya.

"Halah!" Aiza mendorong Dena membuat Dena tersungkur.

"Ning Hilya, antum bawa Dena ke UKS, biar saya yang mengurus Aiza," ucap gus Zaidan tegas dan diangguki oleh ning Hilya.

"Dena, ikut ana," ujar ning Hilya seraya membangunkan Dena dan memapahnya.

"Lemah lo jalang! SHIBAL!" teriak Aiza sembari mengacungkan jari tengahnya.

Tiba-tiba sebuah tangan menyentil jari tengah Aiza membuat gadis lusuh itu mengaduh, "aw!"

"Siapa yang lemah? di sentil doang ngeluh," sindir gus Zaidan.

"LO! LO YANG NUKER KOPER GUE KAN?! GUE ADUIN LO KE KYAI!" teriak Aiza yang semakin tinggi nadanya.

Gus Zaidan bukannya merasa takut justru ia tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

"Orang tua kamu sengaja bawa koper itu, Aiza. Kalau kamu tidak percaya tanyakan kepada kyai. Lagi pula apa kamu gak malu kalau yang lain liat kamu seperti ini?" tanya gus Zaidan sembari terus menahan senyumnya.

"BARU BERAPA JAM GUE UDAH SETRESS! GUE YAKIN BEBERAPA HARI KE DEPAN BISA BUNVH D!RI!" teriak Aiza prustasi dan menghentak hentakkan kakinya seperti anak kecil.

"Kamu yakin gak akan ganti baju?" tanya gus Zaidan memastikan dengan nada meledek.

Tiba-tiba Aiza mempunyai ide di benaknya, "lo tunggu gue di rumah Kyai!" Aiza kembali ke kamarnya meninggalkan gus Zaidan yang penasaran.

Aiza meraih salah satu baju yang ia lempar ke sembarang arah tadi. Ia meraih kain hitam panjang dan lebar itu lalu membuka nakas yang sepertinya milik ning Hilya.

Ia mencari barang di sana dan menemukannya!

Gunting.

Ya, Aiza meraih gunting lalu menggunting gamis syar'i hitam pemberian orang tuanya. Ia memotong dengan ahli sehingga terlihat sangat modis setelah semuanya sudah selesai.

"Kalian pikir Aiza bodoh?" Aiza senyum menyeringai lalu bergegas mencari kamar mandi.

Tok ... tok ...

Beberapa kali suara pintu di ketuk membuat Aiza yang di dalamnya sangat geram. Hidupnya menjadi tidak tenang semenjak berada di tempat ini.

"Siapa di dalam? sudah dua jam kita nunggu," ujar salah satu santriwati.

"Jangan-jangan pingsan?" sahut yang lainnya.

"Tapi, tadi kedengeran suara air kok."

"Permisi, batas penggunaan kamar mandi cuma satu jam."

"Kamu gak apa apa?"

Hampir sepuluh santriwati mengantri di luar dan Aiza belum juga keluar dari kamar mandi.

Bruk!

Suara pintu kamar mandi dibuka sangat kencang sehingga menabrak tembok di belakangnya.

Terpampang sosok wanita yang berdiri dengan wajah masam. Semua santriwati terkejut, bukan karena melihat ekspresi seram Aiza. Tetapi, melihat pakaian Aiza yang sangat terbuka dengan baju tanpa lengan dan panjang baju sebatas paha.

"Astaghfirullahal adzim ukhti!" teriak santriwati.

"Kita aduin ke kyai."

"Aduin sana! lo pikir gue takut? gue juga mau ke tempat kyai kok sekarang, mau bareng?" sindir Aiza dengan angkuhnya lalu melewati semua santriwati dengan menabrak bahu mereka yang menghalangi.

Aiza berjalan tanpa ragu sedikitpun. Ia melewati koridor gedung dengan tiga lantai berhadapan. Santri dan santriwati yang baru pulang dari makan siang menatap ke satu titik tanpa berkedip. Pasalnya, baru pertama kali mereka melihat pemandangan seperti ini.

...

"Afwan, kyai. Hilya sudah berusaha tetapi Aiza mengancam akan membuka cadar bahkan kerudung Hilya, Hilya takut," keluh Hilya di hadapan Kyai sembari menunduk. Bukan ia mengadu, tapi ia takut hal itu terjadi kepadanya.

"Kita di beri amanah oleh orang tua Aiza. Mereka sudah percayakan kepada kita. Kita bersama-sama membantu Aiza untuk lebih baik, ya," ucap Kyai Ferdy begitu tenang untuk menghilangkan kekhawatiran ning Hilya.

"Gus Zaidan akan turun tangan membantu Aiza," lanjut kyai membuat gus Zaidan sedikit tersentak. Ini pertama kalinya ia mencampuri urusan santriwati.

"Afwan, Kyai ...,"

"Tidak apa gus Zaidan. Kini urusan kita cukup darurat dan tidak dapat ditangai oleh ning Hilya saja. Jika gus Zaidan juga menyerah, Kyai sendiri yang turun tangan. Ini sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kita," jelas Kyai Ferdy panjang lebar membuat hati gus Zaidan dan ning Hilya kembali bersemangat.

"Na'am Kyai. Zaidan siap membantu," ujar gus Zaidan yakin.

"Assalamualaikum Kyai!" ucap seorang santri sembari mengetuk pintu di luar sana.

"Biar Zaidan yang buka pintu," ujar gus Zaidan lalu beranjak membukakan pintu.

"Gus, kyai. Maaf saya gak sopan, tapi ini penting. Santriwati baru itu ..." santri itu berbicara tersengal-sengal lalu mengatur nafasnya cukup panjang seperti ikan yang baru saja ke daratan.

"Kenapa?" tanya Kyai Ferdy seraya bangkit dari duduknya.

"Annyeong aseyo Kyai ...," ucap Aiza yang baru saja datang dan langsung masuk menghampiri Kyai Ferdy.

"Astaghfirullahal adzim," ucap Kyai Ferdy dan gus Zaidan bersamaan seraya menutup mata dengan tangannya.

"Ada yang aneh?" tanya Aiza dengan polosnya.

Ning Hilya menghampiri Aiza lalu meraih kain yang berada di sofa. Ia menutupi tubuh Aiza, "afwan ukhti."

"Gue gak akan berhenti buat kekacauan di sini sampai Kyai telepon orang tua gue buat jemput!" Aiza mendorong ning Hilya membuat gadis bercadar itu tersungkur.

Gus Zaidan antusias hendak menahan tubuh ning Hilya namun ning Hilya langsung menjauh, "tidak apa gus."

"Aiza, orang tua kamu sudah tidak sanggup mengurus kamu sampai menitipkan kepada kami. Jika kami tidak sanggup juga apa kamu membayangkan betapa putus asanya orang tua kamu?" ucap Kyai Ferdy dengan tegas dan menatap tajam Aiza.

Gus Zaidan dan ning Hilya merasa takut karena Kyai jarang sekali berbicara tegas. Kyai Ferdy sangat disegani dan disopani oleh para santri dan santriwatinya karena tutur katanya yang selalu lemah lembut.

"Kenapa Kyai jadi ngurusin banget? mau orang tua aku putus asa kek, mau aku jadi gelandangan kek, mau hidup aku hancur kek, itu gak ada urusannya sama Kyai kan?" jawab Aiza dengan sangat lancang.

"Aiza, kamu keterlaluan!" ujar ning Hilya yang baru saja bangun dan menghampiri Aiza.

"Apa lo teroris!" Aiza menarik cadar ning Hilya sehingga terpampang wajah cantik mulus tanpa make up itu.

Ning Hilya merebut cadarnya yang berada di tangan Aiza lalu berlari menuju kamar mandi di rumah Kyai.

Aiza benar-benar nekat dan tidak main-main dengan ucapannya. Ia sungguh membuka cadar yang selama ini menutupi wajah ning Hilya sehingga tanpa sengaja gus Zaidan melihatnya.

Gus Zaidan berjalan dan menarik Aiza keluar dari rumah Kyai. Tangannya memegang erat pergelangan tangan Aiza yang terbalut kain tadi.

Seantero pesantren kembali riuh dengan kejadian itu. Pesantren hari ini menjadi sangat ramai hanya karena kedatangan Aiza.

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang