Melamar Tiga Bulan

12 2 0
                                    

Selesai shalat shubuh Azizah bergegas menuju kamar Aiza. Ia melihat putri cantiknya itu masih terlelap. Sebelum membangunkan Aiza, seperti biasa Azizah akan selalu mengecek handphone Aiza untuk membuka galeri dan isi chat dengan Dzaudan.

Setelah dipastikan tidak ada yang mengganjal Azizah membangunkan Aiza dengan lembut, "sayang, shalat shubuh."

"Baru juga tidur ma," sahut Aiza merengek lalu menutup wajahnya dengan bantal.

"Hari ini kan kamu berangkat ke pesantren-"

Aiza antusias duduk dengan tegap tanpa wajah mengantuk sedikitpun. Ia berhadapan dengan Azizah lalu menggenggam tangan Azizah penuh keyakinan, "ma, aku tiga bulan lagi lulus, aku mau kuliah, aku mau kejar cita-cita aku jadi pramugari. Mama tau kan itu cita-cita aku dari kecil."

"Sekarang itu gak penting, kejar cita-cita kamu untuk di akhirat Aiza. Kamu udah terlalu jauh ngecewain mama papa. Selama tiga bulan ini kamu daring, biar itu jadi urusan mama papa."

"Mam, Dzaudan hari ini mau datang ngelamar aku, dia akan yakinin mama papa setelah lulus sekolah nikahin aku."

"NIKAH? pacaran aja mama papa gak setuju apa lagi nikah Aiza! mama papa ngebesarin kamu dan mama papa yang harus seleksi siapa suami kamu. Mama papa mau yang terbaik untuk kamu. Kalau begajulan seperti si Ojan itu mau kayak gimana hidup kamu selanjutnya Aiza," timpal Haga yang baru saja masuk ke kamar Aiza.

Suaranya selalu lantang dan tegas. Ia sepakat bersama istrinya bahwa ia yang akan keras dan istrinya yang mendidik penuh kelembutan. Tapi sekarang bagi mereka cara mendidik seperti itu salah, karena anaknya tidak seperti yang mereka harapkan.

"Ma, pa, yang akan merasakan keterbaikan hidup itu aku, bukan mama papa, jadi aku yang berhak menentukan!" ujar Aiza dengan lancang.

"Pa, dia kalau dikerasin malah ikut keras juga." Azizah mendekati suaminya untuk menenangkan.

"Emang kurang ajar anak tidak diinginkan itu! disayang sayang selalu timbal balik ngasih kotoran ke kita. Mau gak mau hari ini papa seret kamu ke pesantren. Biar tau rasa kamu hidup di sana!" lalu Haga melenggang pergi sambil mendorong pintu dengan keras.

Mata penuh cairan bening itu menatap Azizah, "maksud papa aku anak gak diinginkan itu apa ma?"

"aku anak siapa? bukan anak mama papa?"

"oh pantes kalian sekarang buang aku ke pesantren. Harusnya kalian buang aku ke panti asuhan aja atau ke jalanan."

"Kamu anak mama papa, Aiza!" ucap Azizah agar Aiza berhenti bicara.

"Mama tolong keluar kamar, aku mau sendiri dulu." Aiza kembali membaringkan tubuhnya lalu menutupi dengan selimut bulu kesayangannya.

"Mas Haga ini!" lalu Azizah keluar kamar Aiza untuk mencari suaminya yang sudah menyebabkan semuanya semakin rumit.

...

"Permisi ..."

"Hallo?"

"Hallo hallo, lu kira lagi teleponan?" ucap Haga yang baru saja membuka pintu dengan wajah masam.

"Selamat pagi om," ucap hangat Dzaudan dengan senyuman.

"Ada apa? mau melamar anak saya? gak ada! pulang!" ujar Haga dengan tegas seraya mengangkat tangannya menunjuk arah pagar rumahnya.

"Om, saya janji setelah lulus saya akan menikahi Aiza. Bila perlu sekarang saya siap menikah siri dengan Aiza. Saya juga ada jaminan untuk kehidupan Aiza. Papa saya memberi saya perusahaan di Jepang om."

"Jaminan akhirat ada? ada jaminan kamu bisa menyelamatkan anak saya dari api neraka? kamu sendiri aja diambang neraka so' so'an mau menikahi anak saya." Ucapan Haga sangat menohok hati Dzaudan. Memangnya Haga ini siapa berhak menilai kehidupan Dzaudan yang padahal Haga sendiri tidak tahu bagaimana kebenarannya.

Tapi, Dzaudan tidak akan menyerah. Cintanya kepada Aiza tidak selemah itu.

"Saya akan belajar agama selama tiga bulan terakhir ini, om. Setelahnya saya akan menikahi Aiza."

"Asal kamu tau, Ojan! tugas seorang suami itu bukan hanya jadi mesin pencari uang. Mau kamu janjikan perusahaan, tanah, dunia dan seisinya pun saya tidak tergiur karena saya pun bisa memberikan itu untuk Aiza. Tugas utama seorang suami itu bisa menghantarkan istrinya ke surga!" tegas Haga dengan wajah penuh keseriusan. Ia tidak main-main untuk memilih siapa yang pantas menjadi suami anaknya.

"Baik, om. Saya akan memanfaatkan tiga bulan ini untuk belajar agama. Setelahnya saya boleh melamar Aiza?"

"Kamu belajar agama hanya untuk anak saya?!"

"Mungkin awalnya seperti itu, om. Tapi, saya yakin setelah saya belajar saya akan tau niat sepenuhnya untuk siapa."

"Baik, saya kasih kamu kesempatan. Jangan sia-siakan tiga bulan ini." Lalu Haga menutup pintu rumahnya tanpa menunggu Dzaudan pergi dahulu.

Bibir Dzaudan terukir senyuman. Hatinya sedikit lega mendapat celah kesempatan untuk memiliki Aiza sepenuhnya. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan berharga ini.

...

Haga memutar knop pintu lalu duduk di tepi ranjang serba pink itu.

"Aiza, ayo sarapan."

"Belum lapar."

"Sebentar lagi kita berangkat. Kamu harus sarapan dulu Aiza."

"Kenapa masih peduli? aku bukan anak yang diinginkan kan?" ujar Aiza seraya duduk menatap Haga dengan getir.

"Itu papa asal bicara Aiza. Kamu ini susah di atur, mungkin dengan pesantren kamu bisa lebih ba-"

"Oh ya, jelas! lebih baik versi mama papa dengan buang aku ke pesantren."

"Aiza, jangan salah paham. Kamu akan mengerti kalau kamu sudah ada di sana." Haga mencoba mendekati putrinya lalu membetulkan helaian rambut Aiza ke belakang telinganya.

"Aku gak akan pergi. Hari ini Dzaudan mau melamar aku." Aiza turun dari ranjangnya menuju kamar mandi.

"Maafin papa, Aiza," gumam Haga lalu meninggalkan kembali kamar putrinya.

Satu jam sudah berlalu dan jam menunjukkan pukul 10.00 WIB. Aiza sedang memandangi dirinya di kaca panjang penuh lampu.

Kulit putihnya sangat kontras dengan dress cream yang ia kenakan. Rambutnya di urai dengan sedikit gelombang di ujung rambutnya. Wajahnya yang mirip artis korea hanya dipolesi make up simple.

Ia melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Lalu ia mengambil handphone yang berada di atas nakas dan mencari nama kekasihnya.

Sayangnya, cuaca yang mendung membuat Aiza kehilangan sinyal sehingga teleponnya tidak tersambung.

Ia melangkahkan kakinya keluar kamar dan menghampiri sofa tempat orang tuanya beristirahat.

"Ma, aku pinjam handphone. Handphone aku gak ada sinyalnya." Aiza menadahkan tangannya di hadapan Azizah.

"Cuacanya mendung Aiza, gak akan ada sinyal juga. Buat apa?" tanya Azizah.

"Telepon Dzaudan," jawab Aiza to the point.

"Ngapain di telepon? kalau laki-laki itu serius dia datang," sahut Haga lalu menyeruput kopi buatan istrinya.

"Setengah jam lagi dia gak datang, kita berangkat ke tempat pesantren!" lanjut Haga

"Pa! kenapa sih papa tuh punya aturan sendiri. Gak pernah mau ngasih toleransi!" sentak Aiza.

"Jangan buat papa berubah pikiran untuk menunggu laki-laki itu ya, Aiza! papa sudah berusaha memberi kesempatan laki-laki itu. Kalau dia serius dia akan datang tepat waktu dan secepatnya!" Haga berdiri lalu Azizah merengkuh tubuh suaminya untuk kembali duduk.

"Kita tunggu niat baik seseorang dengan baik juga. Aiza, duduk," titah Azizah lalu Aiza duduk di seberang mereka seraya sibuk memainkan handphonenya untuk menghubungi kekasihnya.

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang