Tiga Bulan Dimulai

2 0 0
                                    

Aiza menyeret kopernya yang cukup besar. Ia menghentakkan kopernya kesal karena seluruh pasang mata menatapnya aneh. Pasalnya, Aiza orang pertama yang membuka auratnya di pesantren ini.

"Woi, Zaidan! bawain koper gue!" teriak Aiza membuat gus Zaidan menghentikan langkahnya.

"Sebagai permintaan maaf lo, bawain koper gue!" titah Aiza saat berada di samping gus Zaidan.

Gus Zaidan menghela nafasnya lalu mengikuti perintah Aiza. Semua santri dan santriwati menatap tidak percaya, karena gus Zaidan sangat mereka hormati namun sekarang menjadi pesuruh oleh wanita seperti itu.

Aiza berjalan dengan kepala mendongak. Dirinya tidak ingin direndahkan oleh siapapun. Jalannya sangat gemulai dengan dress yang ia kenakan. Ia berjalan mendahului gus Zaidan yang mulai menyeret koper miliknya.

Tiba-tiba sebuah tangan menarik bahu Aiza membuat Aiza tertarik ke belakang dan hampir terjatuh, "santri baru! di mana letak urat malu kamu? sudah berpakaian tidak sopan, jalan tidak sopan, tutur kata tidak sopan, perilaku pun tidak sopan kepada gus kami!" ucap santriwati yang kini di hadapan Aiza.

Aiza mendorong bahu santriwati tersebut, "woi! jangan main-main sama gue ya. Lo pikir gue takut? gak ada satu pun orang yang bisa nyetir gue!" tantang Aiza.

"Dena, kamu sebagai senior harus mencontohkan yang baik. Ada tata cara memberi tahu yang benar," ujar gus Zaidan melerai.

"Emang ya! pesantren abal-abal. Gue viralin tau rasa lo semua!" lalu Aiza meninggalkan mereka seraya mengibaskan rambut gelombangnya ke wajah santriwati yang dipanggil Dena tersebut.

Aiza menyusuri koridor gedung yang memiliki empat tingkat dengan halaman luas dan indah. Pesona gunung terlihat seperti lukisan yang begitu dekat di pandangan. Namun, indahnya pemandangan tidak membuat hati Aiza luluh di tempat ini.

"Saya antar sampai sini, di dalam sana ada ning Hilya yang antar kamu sampai kamar," ujar gus Zaidan yang baru saja datang dan memberhentikan langkah Aiza.

"Mana handphone lo?" Aiza menadahkan tangannya di hadapan gus Zaidan.

"Untuk apa?" tanya gus Zaidan polos.

"Hukuman buat lo sampai gue maafin lo baru gue balikin," jawab Aiza dengan enteng.

"Maaf, gak bisa. Handphone saya untuk semua santri yang ingin mengabari keluarganya. Kalau kamu mau mengabari keluarga silahkan minta kepada ning Hilya," jelas gus Zaidan lalu mendorong koper milik Aiza.

"Lo pikir gue gak mampu buat beli handphone? gue cuma pinjam handphone lo buat shopping keperluan gue!" teriak Aiza lalu memaksa merogoh saku baju gus Zaidan.

Gus Zaidan terpaksa mendorong Aiza, "tolong jaga jarak, Aiza. Saya rasa kita sudah cukup sampai di sini. Kamu merasa dipermalukan oleh saya kan tadi? saya juga sudah dipermalukan oleh kamu karena sempat menjadi asisten pribadi kamu tadi, saya permisi." gus Zaidan melenggang pergi meninggalkan Aiza yang membelalak.

"Zaidan! woi! kita belum selesai!" teriak Aiza namun gus Zaidan tidak menoleh sama sekali.

"Astaghfirullahal adzim ukhti," ucap seseorang yang baru saja datang.

Aiza berdecak malas. Ia sangat tidak nyaman berada di lingkungan yang jauh berbeda dengan kehidupannya sehari-hari. Ia malas menghadapi orang-orang so' suci menurutnya.

"Anti santriwati baru ya? mari ikut saya," santriwati itu menarik tangan Aiza untuk mengajaknya masuk ke dalam kamar. Ia merasa malu melihat Aiza yang berpakaian terbuka.

"Gak usah pegang gue!" Aiza menghentakkan tangan santriwati yang di duga bernama ning Hilya.

"Afwan, ana tidak ingin anti di lihat oleh santri," ujar Hilya dengan lemah lembut.

"Urusannya sama lo apa ana? lo cuma diberi tugas antar gue ke kamar, bukan atur gue!" ucap Aiza dengan penuh penekanan.

"Afwan, nama ana Hilya. Baik, kalau begitu silahkan ikuti ana." Hilya berjalan mendahului Aiza.

Hilya mengenakan gamis syar'i berwarna serba hitam dengan cadar bandana. Matanya tanpa riasan begitu indah dan terlihat cantik walau tertutup. Celak di kelopak matanya memberikan kesan tatapan tajam namun meneduhkan.

"Ini kamar anti, kebetulan ini juga kamar ana," ucap Hilya saat memasuki kamar berisi kasur tingkat dan lemari plastik.

Aiza membelalak, "kamar sempit kayak gini lo bilang kamar kita? gak ada yang lebih mendingan? vip gitu, gue berani bayar mahal. Gue mau kamar khusus gue sendiri."

"Afwan, tapi semua kamar di pesantren seperti ini. Di sini juga ada empat penghuni, nanti anti bisa kenalan setelah jam makan siang."

Aiza menggeleng, "gak! gue sewa kamar ini buat gue sendiri. Gue akan bilang kyai Ferdy, dia teman bokap gue, dia pasti setuju." Aiza terlihat gelisah dan frustasi.

"Mana handphone lo, gue mau telepon orang tua gue," lanjut Aiza.

"Handphonenya dibatasi satu bulan sekali setiap santriwati, silahkan ganti baju dulu. Ana akan jelaskan peraturan kamar dan pesantren ini."

"Gue bisa gila! baru beberapa jam aja gue merasa prustasi, stress, gimana tiga bulan?" Aiza duduk di kasur ranjang bawah dengan busa tipis membuat bokong Aiza terasa sakit.

"Lama-lama juga anti pasti terbiasa."

"Gak usah anti anti deh, nama gue Aiza! gue yang anti sama orang so' suci kayak kalian semua." Lalu Aiza berdiri di hadapan Hilya, "dan satu lagi, jangan pernah merasa senior di depan gue. Gue gak akan pernah nuruti perintah siapapun di sini." Aiza mendorong bahu Hilya membuat Hilya terdorong mundur beberapa langkah.

Hilya yang baru pertama kali mendapat perlakuan kasar merasa ketakutan. Tangannya gemetar dan kepalanya menunduk membuat Aiza semakin kuat untuk tidak takut kepada siapapun.

"Jangan macem-macem sama gue atau tanpa sepengetahuan lo, gue buka cadar sekalian kerudung lo di depan para santri!" Aiza berjalan untuk mengambil kopernya yang masih di ambang pintu kamar.

"Gue gak pernah main-main sama ucapan gue." bisik Aiza membuat Hilya bergidik ngeri. Ia tidak merasa bahwa Aiza hanya mengancam. Keberanian Aiza untuk memakai pakaian terbuka di tempat ini dan memerintah gus Zaidan saja sudah sangat kelewatan.

Aiza membuka kopernya untuk mencari baju ganti. Namun, ia terkejut karena di dalamnya hanya ada beberapa baju gamis dan kerudung serta alat shalat.

"Lah kok? gue gak punya baju ini, baju siapa ini?" Aiza mengacak-acak isi kopernya.

"Kurang ajar! pasti si Zaidan jailin gue!" Aiza mendorong kopernya hingga terjatuh lalu berjalan menabrak Hilya dan membanting pintu.

Bruk!

Aiza kini benar-benar bertabrakan dengan seseorang membuat bajunya basah.

"WHAT THE FUCK!" teriak Aiza menggelegar di koridor gedung.

"Lo jalan pakai mata jalang!" Aiza mendorong seseorang sampai terjatuh ke lantai membuat piring yang ia bawa pecah dan terkena tangannya.

"Lo yang nabrak gila!" jawab seseorang tersebut lalu bangun dari duduknya. Ia merintih kesakitan karena tangannya berdarah.

"BAU JENGKOL! HUEK!" Aiza menahan muntah dengan tangannya. Bajunya penuh oleh tumpahan semur jengkol.

"Lo santri gila yang ngerjain gus Zaidan kan? lo berurusan sama dia berarti berurusan sama gue dan kebetulan lo nabrak gue," ujar santriwati bernama Dena tersebut.

"Lo jalang gila! ini baju gue satu-satunya dan lo tumpahin jengkol?!" emosi Aiza memuncak di ubun-ubun. Ia menarik kerudung Dena hingga terbuka membuat Dena menarik kembali rambut Aiza.

Hilya yang menyaksikan hal itu berlari menuju tempat kyai Ferdy. Namun, di perjalanan ia bertemu gus Zaidan dan ia dihentikan oleh gus Zaidan.

"Assalamualaikum ning Hilya," ucap gus Zaidan.

"Waalaikumussalam, gus. Afwan, saya buru-buru." Hilya hendak pergi namun di tahan oleh gus Zaidan.

"Ada apa? ada santriwati yang sakit?"

"Bukan, Dena dan santriwati baru berantem."

"Di mana?!" tanya gus Zaidan.

"Di koridor, gus."

Lalu gus Zaidan berlari menuju koridor gedung.

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang