The Pillars Project

269 26 7
                                    

Rokudaime Hokage mengetuk-ngetukkan telunjuk kirinya di atas meja, sementara tangan kanannya menulis sesuatu dengan sangat serius. Suasana rapat begitu ramai sehingga dia kesulitan berpikir jernih. Beberapa orang saling beradu argumen dan semuanya mengabaikan peringatan Shikamaru untuk tenang dan menjaga situasi.

Sejak dia memberitahukan rahasianya pada Shizune beberapa hari lalu, asistennya yang cekatan itu segera mengagendakan rapat bersama para pejabat tinggi Konoha, termasuk Dewan Tetua dan seluruh kepala klan. Mungkin kedepannya akan membesar menjadi tingkat Daimyou hingga Gokage. Sialnya, Shizune malah tidak mendampinginya karena harus memimpin konferensi mengenai kesehatan—apalah itu—mengingat posisinya sebagai Kepala Departemen Medis Konoha. Jadi, Kakashi hanya ditemani asisten magangnya, seorang pemuda dari Klan Nara.

Dewan Tetua mencecar Kakashi untuk segera menjalankan apa yang dikatakan Otsutsuki Hagoromo secepat mungkin—dengan dalih khawatir jika menunggu terlalu lama malah akan mengganggu perdamaian yang baru mereka raih. Sementara sebagian lainnya meminta Hokage mereka untuk  memikirkan masak-masak, mulai dari kesiapan mental, finansial (mungkin tak begitu dipermasalahkan), hingga memilih wanita yang baik dan sempurna tanpa cacat.

BRAK!

Satu gebrakan meja dari tokoh utama hari ini mengejutkan semua orang yang berada di ruang rapat. Sontak, seluruh perhatian tertuju pada Hokage dan seketika ruangan sehening luar angkasa.

"Oh, maaf, sesaat aku berpikir sedang berada di hutan," sindirnya. Kakashi memberi mereka semua senyuman mematikan dari balik maskernya.

"Jadi, sudah selesai berdebatnya? Bisa kita lanjutkan dengan tenang?" Aura gelap mengoar dari sekeliling Kakashi. Dia kesal, tentu saja.

Hampir seluruh anggota rapat mengangguk takut. Tak sedikit yang mengalirkan keringat dingin dari pelipis mereka.

Rokudaime Hokage menyatukan jari-jemarinya di atas meja. Dia melihat catatan kecil yang baru selesai ia kerjakan.

"Ku pikir karena hingga saat ini tidak kunjung sampai pada titik resolusi, jadi aku membuat keputusan agar kita tidak benar-benar terpecah belah menjadi kubu-kubu yang konyol," Kakashi menghela napas. "Padahal aku ingin meminta saran, tetapi malah aku sendiri yang membuat keputusan."

Kakashi diam sejenak. Dia sedang merangkai kata dalam otaknya selama kurang dari tiga detik untuk dipaparkan pada orang-orang di hadapannya.

"Pertama, setelah rapat internal hari ini selesai, besok atau lusa aku akan pergi ke kediaman Daimyou bersama Dewan Tetua. Kedua, aku akan mengangkat topik ini pada Gokage Kaidan dua minggu mendatang di Sunagakure. Ketiga, persoalan siapa yang akan menjadi ibunya. Aku menghargai pendapat bahwa persoalan ini harus secepatnya dilaksanakan dan diselesaikan, aku juga menghargai pendapat yang mengedepankan kriteria. Jadi, meski sulit, aku akan berusaha mendapatkannya di bulan depan dengan kriteria yang baik: cerdas, menyukai anak-anak, bersedia mengandung dan melahirkan 9 bayi meski aku tahu itu tidak manusiawi, memiliki tekad untuk belajar menjadi ibu yang baik, membesarkan anak-anak bersamaku, menikah—opsional, dan lain sebagainya mungkin akan berubah seiring berjalannya waktu. Kemudian keputusan keempat, rapat hari ini selesai. Terima kasih atas kehadirannya. Selamat siang."

Kakashi menutup catatan kecilnya dan langsung berdiri dari tempatnya. Tidak ada yang menginterupsi, jadi Kakashi menganggap bahwa semuanya setuju atas keputusan sepihaknya. Shikamaru menatap Kakashi bersama rahang yang terasa kendur. Menurutnya, mereka semua tidak bisa melakukan apapun tanpa sosok pria berusia kepala tiga itu.

Di malam hari, masih di hari yang sama, Kakashi beristirahat sejenak di atas kursinya. Dia menghadap jendela ruangannya dan membiarkan sinar bulan yang terang menembus kulitnya, juga membiarkan ruangannya tanpa cahaya lampu. Baik gedung maupun ruangan Hokage terasa sepi, tetapi pekerjaannya selalu ramai—entah dalam bentuk fisik atau yang tersimpan pada benda canggih pipih yang mirip buku.

Telinganya mendengar langkah kaki yang halus mendekati pintu ruangannya. Penciumannya yang tajam menangkap aroma teh kamomil yang menjadi kegemarannya beberapa bulan terakhir.

Dengan ketukan tiga kali, tanpa menunggu sang pemilik ruangan mengizinkannya masuk, sosok wanita yang mengenakan hak hitam tinggi terlihat di sana bersama nampan yang di atasnya terparkir sebuah cangkir teh.

"Kakashi-sama?" panggil Shizune. Arah kursi itu membelakanginya, jadi Shizune tidak tahu apakah ada orang di baliknya atau tidak. Belum lagi ruangan itu hanya mendapat sinar dari sang Bulan.

Setelah meletakkan secangkir kamomil di atas meja, Shizune mendekati kursi Hokagenya. Dia mendapati Kakashi yang melamun, memandangi langit malam yang cerah dan penuh bintang. Pria itu menyadari kehadirannya, tetapi dia memilih untuk diam dan menikmati kesunyian.

"Bagaimana rapatnya tadi siang? Saya belum mendengar apapun terkait hasilnya." Nada Shizune terdengar lebih lembut dari biasanya, terasa seperti berbicara dengan anak kecil.

"Yah, begitulah."

Shizune mengukir senyum manis yang selalu ia torehkan. Mungkin kesabarannya hari ini lima kali lipat lebih tebal.

"Saya tidak mengerti jika jawaban Anda seperti itu," ujarnya.

Menyadari bahwa dirinya berlebihan dan bersikap kekanakan, Kakashi segera membetulkan posisi duduknya dan kembali berhadapan dengan meja. Dia mencari notulensi rapat tadi siang dan memberikannya pada Shizune yang berdiri di sisinya.

Wanita itu terpaku pada lebih dari satu kata pertama.

"The Pillars Project?"

Kakashi mengangguk.

"Kakashi-sama," Shizune menarik kursi kosong yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia duduk tepat di sebelah Kakashi, berhadapan dengannya, meskipun Kakashi berhadapan pada meja. "Mereka anak manusia, loh. Saya pikir penamaan seperti itu, terutama karena mengandung kata 'project', tidak etis jika ditujukan pada manusia, terlebih calon darah daging Anda sendiri."

Kakashi merasa terganggu dengan protesnya, utamanya mulai dari 5 kata terakhir. Dia memiringkan tubuhnya ke arah Shizune alih-alih memutar kursinya. Sorot matanya menunjukkan tanda tanya besar.

"Apakah Anda bisa membayangkan jika di masa depan anak-anak Anda akan sedih ketika mengetahui bahwa mereka terlahir hanya karena ramalan semata, hanya karena proyek semata, alih-alih lahir karena cinta kedua orang tuanya?"

Kakashi tertegun. Sejujurnya, dia dapat memahami hal menyedihkan dan dramatis itu jika saja bukan dia yang terlibat.

"Tetapi pada kenyataannya memang seperti itu, Shizune," Kakashi memotong jarak yang terlalu jauh antara dirinya dengan Shizune. "Aku bahkan tidak tahu esensi dari menjadi seorang ayah, aku tidak tahu bagaimana cara bersikap sebagai orang tua, aku takut menyakiti kehidupan kecil yang justru datang karena aku. Aku tidak siap untuk segalanya." Pria itu akhirnya menumpahkan segala kegelisahannya. Kakashi menggosok wajahnya dengan kedua tangan. Dia tampak sangat frustrasi terhadap apa yang membebankan batinnya selama setahun belakangan.

Entah keberanian datang dari mana, Shizune yang profesional meraih tangan atasannya dan menggenggamnya erat. Tindakannya justru mengalihkan perhatian Kakashi begitu cepat hingga tanpa sadar jantung pria itu seakan tersetrum halilintar.

"Tidak ada satu orang pun yang siap menjadi orang tua, itu yang selalu dikatakan oleh pasien-pasien saya," Shizune memberi jeda karena Kakashi justru malah menautkan jari-jemari mereka, alih-alih genggaman biasa. "Tetapi orang tua yang baik akan selalu belajar. Saya percaya Anda dapat menjadi sosok Ayah yang luar biasa." Mungkin itu hanya kalimat penenang klise, tetapi Kakashi dapat merasakan ketulusan dan kehangatan dari setiap kata yang keluar dari bibir Shizune.

Senyum Kakashi perlahan merekah meski masih ada kejanggalan dalam hatinya.

"Terima kasih, Shizune."

Shizune hanya membalas dengan senyum yang sama. Kemudian, wanita itu kembali ke topik awal untuk menyingkirkan suasana hangat karena khawatir akan mengganggu profesionalitas mereka.

"Ngomong-ngomong, Anda sudah menentukan siapa yang akan menjadi Ibunya—atau... calon istri Anda?"

Children of the Sixth HokageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang