With Love

180 15 3
                                    

"Kami baik-baik saja,"

Pukul 2 pagi, anak laki-laki itu menghampiri ayahnya yang duduk termenung di engawa. Dia mengambil posisi di sebelah kiri setelah memberi secangkir teh kamomil untuk pria yang lebih tua.

Hatake Kakashi menerimanya. Dia membiarkan putra sulungnya duduk di sisinya, sekalipun hatinya terus bertanya kenapa Satoru masih terjaga hingga saat ini.

"Tidak masalah kalau kecewa, Satoru," ujar Kakashi. Dia menyesap tehnya.

Dari sebelahnya, anak laki-laki itu tersenyum tipis. "Aku kecewa hingga kita tiba di rumah."

"Kenapa hingga sampai di rumah?"

Satoru meletakkan cangkir tehnya. Dia menatap ayahnya. Cahaya bulan menyinari sebagian wajahnya, terlihat teduh dan tenteram.

"Karena aku melihat kamar Eiji-niisan dan Suzu-niisan,"

Sang ayah masih tak dapat memahaminya.

"Papa," panggil Satoru. Dia membuat lengan ayahnya sebagai tumpuan kepalanya. Dia bersandar di sana, pada seseorang yang selalu melindunginya.

"Tidak ada yang tidak tahu kalau Papa dan Mama menyayangi kami, termasuk kakak-kakak kami. Tonton saja mengerti hal itu—ah, aku merindukan Tonton," Satoru menjeda, sekilas mengingat babi kecil itu. "Papa pernah bilang, dulu nama keluarga kita tidak terpampang di pagar rumah seperti saat ini, melainkan di atas batu nisan. Jadi, membiarkan kehidupan baru terlahir hanya karena ucapan orang lain bukanlah gagasan yang Papa dan Mama sukai, 'kan? Karena itu adalah kehidupan, karena esensi kehidupan sangat bermakna, karena nyawa lain akan terbentuk menjadi sebuah anugerah. Kalian pernah kehilangan segalanya—keluarga, menurutku bukan hal yang mudah untuk membangun yang baru. Pasti sulit, pasti banyak kenangan sedih yang terus teringat. Namun, pada akhirnya kalian memilih untuk membawa anugerah itu di tengah-tengah kalian. Semua itu karena cinta, 'kan?"

Hatake Kakashi terdiam. Sepertinya, ini pertama kalinya si sulung berbicara banyak. Setiap kata yang dikeluarkan sangat indah untuk didengar. Sayangnya, Kakashi merasa terganggu dengan kalimat terakhir yang memaksa untuk memberi validasi.

Pria itu menatap putranya. Iris mereka saling bertemu, menatap dalam dan berbagi emosi. Detik itu, Kakashi kembali menyadari bahwa dia menciptakan sesuatu yang membuatnya rela untuk mengorbankan apapun demi anak itu, sekalipun nyawanya sendiri.

"Papa merindukan kalian," terang sang ayah, seolah mengoreksi bagian terakhir dari narasi Satoru.

Seumur hidup, Kakashi tidak pernah mengutarakan "cinta" secara lisan kepada istri dan anak-anaknya. Sama halnya dengan Shizune. Menurut mereka, cinta adalah sesuatu yang rumit untuk didefiniskan—indah dan menyakitkan di saat yang sama. Sesuatu yang merepotkan. Sekalipun dia memberi code name pada Mahiru sebagai "cinta-nya".

"Bagaimana bisa merindukan kehidupan yang belum terlahir pada saat itu?"

"Papa...." Kakashi berhenti untuk waktu yang sedikit lama. Dia tak lagi menatap putranya. Dia tidak berani.

Menanggapi tak ada respons lebih lanjut dari ayahnya, Satoru menghentikan senyuman samarnya.

"Tidak apa-apa. Aku berusaha mengerti," Satoru meregangkan tubuhnya. Dia sudah kembali mengantuk. "Yang jelas, aku senang karena masing-masing dari kami hanya ada satu di seluruh jagat raya, di seluruh ruang dan waktu manapun," sambungnya, kembali tersenyum.

Mata Satoru mulai sayu. Sebentar lagi, dia akan kembali ke alam mimpi.

"Artinya hanya kami yang dirindukan oleh Papa dan Mama—di seluruh alam semesta—tak peduli bagaimana kisahnya akan berjalan. Barangkali keluarga ini hanya ada di kehidupan ini; barangkali di dimensi lain, bukan kami pemeran utamanya; barangkali di semesta lain, Papa dan Mama tidak akan pernah bersama."

Barangkali di semesta lain, Papa dan Mama tidak akan pernah bersama.

Mata Satoru tertutup sepenuhnya. Kesadarannya hilang. Sesuatu yang disebut tidur tiba pada gelombang otaknya.

Kakashi menaruh cangkirnya. Dengan hati-hati, dia menggendong si sulung menuju kamar. Kakashi menyukai tindakannya dalam menggendong seluruh anaknya satu persatu. Mungkin karena dia suka digendong ayahnya, Sakumo, ketika kecil dulu.

"Selamat tidur, Putraku."

Pukul 2 lebih 20 menit, langkah kakinya menuruni tangga. Tujuan terakhirnya adalah kamarnya. Pria itu mendekati ranjang, sosok wanita terbaring di sana sembari memunggunginya. Dia melihat getaran kecil pada bahu wanita itu, juga telinganya yang tajam mendengar isakan kecil yang tertahan. Sebetulnya, sedikit mengherankan melihat istrinya masih terjaga.

Hatinya membawanya untuk pergi memeluk wanita itu dari belakang, membawa kehangatan dan ketenangan, meskipun dirinya sendiri sedang tidak baik-baik saja.

"Menjadi orang tua artinya harus selalu kuat, Shizune," bisiknya tepat di telinga sang istri. "Seperti aku yang sesekali menghilang untuk berlatih sendirian supaya bisa melindungi keluarga kita. Kau juga harus kuat,"

Shizune tak menanggapi. Dia juga tak menanggapi bagaimana tangan suaminya kini telah berlabuh di bagian privasinya. Mungkin, berbagi kehangatan akan membawa rasa tenang walau sedikit.

"Menangislah hanya di hadapanku."

Kali ini sudah tak mampu terbendung. Air mata Shizune mengalir sangat deras. Isakannya yang hampir membuat seluruh sudut ruangan itu menggema berhasil dihalau oleh suaminya. Kakashi menciumnya. Dalam. Seolah berbagi kepahitan, seolah berbagi rasa yang menyakitkan, seolah berbagi rasa bersalah yang tak berujung.

"Dewan Tetua.... ada benarnya. Pada awalnya, anak-anak hanya sebatas.... project."

Kakashi menghentikan kegiatannya pada bagian tubuh Shizune yang lain. Pria itu mendongak, melihat istrinya yang meninggalkan jejak-jejak kesedihan pada pipinya.

"Saat ini tidak begitu," bantah Kakashi, kembali melanjutkan permainannya.

Kedua tangan Shizune melingkar di leher Kakashi, membiarkan pria itu mendekat dan semakin menguasainya.

"Aku... tetap merasa bersalah," tutur Shizune, di antara isakan dan desahan yang tak kunjung selesai.

Kakashi mencium leher jenjangnya, menggigit dan menghisapnya sehingga meninggalkan bekas kemerahan di sana. Dia mengulanginya di berbagai tempat, memenuhi tubuh Shizune dengan jejak-jejaknya.

Butuh waktu untuk Kakashi merespons kalimat istrinya. Ada hal yang lain yang perlu mereka tuntaskan. Setidaknya untuk sekadar berbagi kenyamanan setelah hari yang melelahkan.

"Jangan, Shizune," Kakashi menjeda. Dia perlu menarik miliknya setelah mengisi penuh istrinya.

Pria itu berbaring di sisi Shizune, mendekapnya lembut dan mengecup keningnya. Tangannya membelai pipi wanitanya dengan sayang, dia melemparkan senyuman terbaik yang dapat ia utarakan untuk menenangkan setengah jiwanya.

"Jangan merasa bersalah. Tidak ada yang salah. Anak-anak kita juga tidak terlahir karena kesalahan, 'kan? Mereka terlahir karena kita merindukan mereka—merindukan bagaimana rasanya memberikan kasih sayang pada sesuatu yang bernama keluarga."

Shizune kembali menangis. Dia membalas pelukan Kakashi. Erat.

"Aku tidak ingin kehilangan mereka," akunya, bersama tangisan yang semakin pecah. Dia teringat ucapan Homura kemarin sore sebelum pertemuan itu dipaksa selesai oleh Hokage.

Sang suami mengusap punggung istrinya yang terbuka. Memberi ketenangan, memberi kekuatan.

"Tidak akan ada yang hilang, Shizune. Tidak akan ada yang direbut dari kita. Tidak akan ada yang berubah," Kakashi membersihkan pipi Shizune dari aliran air mata.

"Aku berjanji akan melindungi keluarga kita. Pasti. Selalu. Sepanjang hidupku."

Children of the Sixth HokageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang