When the Universe isn't with Us

192 16 2
                                    

"Mau ke mana?"

Setiap malam, selama 2 tahun terakhir, kalimat itu selalu diajukan Shizune ketika melihat suaminya akan melangkah keluar dari kamar mereka.

"Ada yang harus ku selesaikan. Kalau ada sesuatu, aku ada di ruang kerja," ujar Kakashi, kemudian meninggalkan Shizune sendirian tanpa sepatah kata lainnya.

Sudah 2 tahun sejak kejadian mengerikan itu, tetapi kesedihan tak kunjung usai. Kelam menerjang, anak-anak yang tidak jadi hidup membawa orang tuanya ke dalam jurang keasingan. Hari-hari mereka tak lagi sama. Hampir tak ada senyuman di antara keduanya. Perlahan, mereka menjauh dengan harapan untuk tidak saling menyakiti. Sayangnya, keterasingan itu justru membawa penyakit sendiri, tanpa mereka sadari.

Hatake Kakashi bersandar di kursinya. Tumpukan pekerjaan sudah menumpuk di atas meja kerjanya. Dia tahu apa yang harus ia lakukan dengan kertas-kertas itu, tetapi tangan dan otaknya tidak mampu bergerak.

"Tidak apa-apa, semua akan berjalan baik-baik saja," gumamnya, menenangkan diri sendiri. Pria itu memejamkan mata, tangannya berada di dada yang terasa ditusuk ribuan jarum racun istrinya—atau bahkan lebih. Entah bagaimana mendeskripsikan rasa sakitnya saat ini.

Dua tahun lalu, dia pikir setiap malamnya akan diganggu oleh tangisan bayi yang meminta susu, meminta diganti popok, atau hanya ingin ditimang-timang. Namun, kenyataan tidak seperti itu. Bumi seakan runtuh dan menenggelamkannya. Justru sejak 2 tahun lalu, yang ia dengar adalah isakan istrinya dari kamar mereka.

Kakashi bertanya-tanya, kemana perginya kebahagiaan mereka?

Malam itu, seperti biasa, dia tidur di ruang kerjanya, meninggalkan Shizune sendirian di kamar mereka. Rasa-rasanya tidak ada lagi yang menjadi tujuan rumah tangga mereka untuk tetap berjalan. Keduanya memikirkan hidup masing-masing, tanpa bercerita, tanpa canda tawa. Dua orang itu masih tinggal di bawah atap yang sama, meski segalanya tak lagi sama.

"Hari ini aku tidak ke Gedung Hokage. Aku sudah bilang pada bagian administrasi dan Shikamaru," ujar Shizune di tengah sarapan mereka pagi itu.

Kakashi menatap wanita di hadapannya. "Ada yang ingin kau lakukan?"

"Pekerjaanku juga menumpuk di rumah sakit," balasnya cuek.

Lidah Kakashi terasa kelu.

"M-maaf," ucapnya terbata. "Maaf karena membuatmu bekerja terlalu banyak."

Tak ada balasan dari Shizune. Mereka kembali melanjutkan sarapan. Kali ini, rasanya hambar sekali.

Keduanya berpisah dari depan gerbang rumah. Shizune ke kiri, sementara Kakashi ke arah sebaliknya. Keduanya saling bertukar ucapan selamat tinggal. Hanya itu. Seolah lupa bahwa dulu keduanya kerap memberi pelukan.

Pukul 9 tepat, Shizune telah berada di ruangannya. Pekerjaannya di rumah sakit selalu menumpuk setelah Gokage Kaidan selesai—pada masa-masa itu, dia lebih sering bekerja sebagai asisten Rokudaime.

Untuk mencari semangat, wanita berusia 34 tahun itu menyeduh secangkir teh hijau.

Sayangnya, rutinitas meminum tehnya sedikit diinterupsi oleh ketukan pintu. Shizune segera menjauhkan cangkir tehnya dan kembali pada tumpukan laporan.

"Silakan masuk!"

Dari balik pintu, dia dapat melihat dua orang tua yang sudah bungkuk berdiri di sana. Sontak, Shizune buru-buru berdiri dari posisinya.

"Homura-sama! Koharu-sama!"

Tanpa basa-basi, kedua Dewan Tetua yang dibenci Tsunade melangkah ke dalam dan duduk di sofa. Sungguh, sepertinya menghadapi mereka terasa lebih menyebalkan daripada mertua galak.

Children of the Sixth HokageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang