Denial

244 23 4
                                    

Langkah kakinya bergerak mengikuti. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Sorot matanya tak pernah lepas dari sosok wanita berpayung yang berjalan cepat menyusuri jalanan yang penuh cahaya lampu. Hujan tak lagi dipedulikan oleh pria itu. Dia hanya peduli bagaimana wanita yang berada sekian meter di hadapannya tampak bergetar dan menangis bersama hujan.

Dia memastikan wanita itu tiba di tempat tinggalnya dengan selamat. Kakashi tetap menunggu di sana hingga beberapa saat, hingga dia dapat melihat cahaya lampu yang menyeruak keluar dari jendela kamar wanita itu menjadi tidak ada sama sekali. Barulah setelahnya, Kakashi pulang ke rumahnya dengan membayangkan skenario apa yang terjadi esok hari.

Begitu tiba di rumah, Kakashi duduk di sofa ruang keluarganya tanpa peduli seberapa basah pakaiannya. Badannya seperti remuk. Dia menghela napas lelah seakan sudah hidup ribuan tahun.

"Aku merindukanmu."

Hatake Kakashi terkesiap. Barusan, apa yang dia katakan?

Kakashi tidak bisa tidur malam itu—dia hanya tidur ayam yang sesekali terbangun. Entah karena derasnya hujan yang mengganggu telinga, entah karena pikirannya dipenuhi oleh sosok wanita yang selalu bersamanya hampir setiap hari, atau karena kebingungan atas perasaannya sendiri.

Macam-macam dugaan itu mengakibatkan orang tertinggi di desa mengalami sakit kepala dan demam di pagi hari.

Pagi itu, Kakashi pergi ke kantor dengan kondisi yang menyedihkan. Padahal belum ada sehari, tetapi dia terlihat seperti seekor anjing yang tak terurus. Kulitnya pucat, rambutnya lebih berantakan dari biasanya, lingkaran hitam terlihat jelas di sekitar matanya, serta deru napas yang terburu-buru membuat tubuhnya menjadi lebih berkeringat.

Sang Hokage memulai pekerjaannya lebih awal, barangkali untuk menghilangkan ingatan semalam. Tatapannya terpaku pada layar laptop yang cerah, meski cahaya birunya membuat kepalanya menjadi lebih sakit. Sesekali dia melirik jam kecil yang terparkir di atas meja kerjanya. Tersisa 30 menit hingga orang yang selalu ada dalam pikirannya tiba di kantor.

Secara mengejutkan, suara nyaring dari telepon membuat jantungnya hampir melompat keluar. Kakashi sedikit mengumpat karena kejutan di pagi hari. Siapa yang menghubungi Hokage sebelum jam kerja?

Kakashi menerima sambungan telepon itu dan sebisa mungkin menyimpan rasa jengkelnya.

"Moshi-moshi, Hokage di sini,"

"Selamat pagi, Hokage-sama, ini Shizune,"

Kakashi sedikit menjauhkan teleponnya dengan dahi mengerut.

"Saya menelepon ke rumah Anda, tetapi tidak diangkat. Jadi saya menelepon ke kantor,"

"Ya, Shizune. Apa yang ingin kau katakan?" Kakashi memberikan nada yang cuek. Mereka seharusnya sedang bertengkar, 'kan?

"Maaf mendadak memberitahu. Hari ini saya izin cuti."

Benar. Mereka sedang bertengkar.

"Terserah. Katakan itu pada bagian administrasi."

Kakashi dapat merasakan keheningan dari seberang sana. Mungkin bahasanya terlalu kasar.

"Baik. Kalau ada keperluan, saya ada antara di rumah atau rumah sakit. Kalau begitu saya tutup teleponnya. Terima kasih, Hokage-sama."

Sambungan diputus secara sepihak. Detik berikutnya, Kakashi baru menyadari bahwa setelah makan siang kemarin, Shizune selalu memanggilnya "Hokage-sama" ketimbang "Kakashi-sama". Kakashi lebih tidak menyukai panggilan "Hokage-sama" jika itu keluar dari mulut Shizune.

"Aku akan mengikuti jalan ceritamu," gumam Kakashi dengan kesal.

Kakashi berkutat dengan layar dan dokumen. Dia berusaha untuk sangat sibuk tanpa memperdulikan sesakit apa kepalanya. Pukul 11, dia mendapat tamu yang identik dengan warna kuning dan merah muda.

Children of the Sixth HokageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang