4. Weird Feeling

357 70 35
                                    

Ketika mereka tiba di sekolah, mobil sport hitam milik Davian langsung dikerubungi oleh segerombolan siswa-siswi disana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika mereka tiba di sekolah, mobil sport hitam milik Davian langsung dikerubungi oleh segerombolan siswa-siswi disana.

"Tunggu apa lagi? Keluar!" seru Davian membuat Jena seketika tersadar dari lamunannya. Tak ada maksud ingin berlama-lama, tetapi jujur saja Jena merasa ngeri melihat betapa ramai nya di sekeliling mereka. Ia takut.

"T-tapi..."

"Keluar sekarang. Atau mau gue paksa?" potong Davian, Jena refleks menggeleng cepat. Jika hal itu terjadi maka bukan tak mungkin dirinya akan semakin menjadi bahan caci maki para siswa dan siswi disini.

Menghela napas, Jena akhirnya memberanikan diri untuk keluar dengan cepat. Ia berhasil keluar dari mobil, tetapi ternyata tak semudah itu. Seorang gadis langsung mendorongnya hingga ia terjatuh. Gadis itu menatapnya dengan tatapan tajam sambil bergelayutan manja pada lengan Davian.

Jena, tanpa sadar merunduk mundur ketakutan, teringat akan tatapan tajam Ibunya yang membuat tubuhnya gemetar. Namun, ia tetap berdiri di tempatnya, tak tahu apa yang harus dilakukan. Kepalanya ditundukkan, wajahnya yang terdapat memar tak ingin dilihat oleh orang-orang.

"Siapa dia, Dav?" tanya Serena—gadis yang mendorong Jena, pada Davian.

"Sampah. Lo bisa lakukan apa pun ke dia. Terserah, gue gak peduli!" jawab Davian dengan nada marah, lalu pergi dan diikuti oleh orang-orang yang sebelumnya berkumpul di sekitar mobil.

Terdapat tiga orang gadis yang memilih tetap di tempat, mengelilingi Jena. "Lo lebih baik menjauh dari Davian. Dia itu pacar Serena. Ngerti?" ujar salah satu gadis lalu menunjuk jari ke arah Jena.

"Iya, aku tau itu." sahut Jena dengan gemetar.

Mereka mendorong Jena, membuatnya jatuh lagi. Hatinya terasa tersayat, menyadari betapa lebih sengsara keadaannya sekarang. Dengan susah payah, Jena bangkit kembali dan ia akhirnya menemukan jalan ke kantor sendirian, karena tidak ada yang mau membantunya.

Salah satu staf wanita di kantor itu terkejut melihat wajah Jena yang memar, lalu dengan dingin bertanya nama nya. Dari tatapannya, Jena yakin bahwa staf itu mengira dirinya adalah seorang gadis yang bermasalah. Jena menjawab pertanyaannya dengan ragu, lalu menerima jadwal pelajarannya. Dengan senyum malu-malu, Jena berterima kasih kepada wanita itu sebelum bergegas menuju kelas Bahasa Inggrisnya.

Saat Jena masuk ke dalam kelas, ia merasa sepenuhnya sendirian. Tidak ada teman yang mengajaknya duduk bersama. Ia duduk di bangku paling belakang, mencoba menyembunyikan wajahnya yang dipenuhi dengan rasa sakit, baik sakit fisik maupun emosional dalam dirinya. Ia berusaha untuk fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya terus melayang pada hidupnya yang terasa semakin menyedihkan sekarang.

Ia mencatat dengan cermat setiap penjelasan yang diberikan oleh guru, berusaha keras untuk tidak terlalu larut dalam pikiran-pikiran negatifnya.

Setelah pelajaran selesai, Jena meninggalkan kelas dengan hati yang berat. Ia merasa sendirian dan tidak berdaya. Tidak ada yang menghiraukannya, bahkan tidak ada yang berani mendekatinya. Ia merasa terpukul dan terluka oleh perlakuan buruk yang ia terima.

Namun, Jena bertekad untuk tidak menyerah. Ia tahu bahwa ia harus tetap kuat dan melawan segala rintangan yang ada di depannya. Ia akan membuktikan kepada semua orang bahwa ia layak mendapat tempat di sekolah ini, tidak peduli seberapa sulitnya rintangan yang harus ia hadapi.

***

Di taman sekolah, Davian menatap layar ponselnya dengan raut wajah yang tegang. Pikirannya terus mengulangi kejadian tadi pagi di parkiran sekolah. Bagaimana dirinya meninggalkan Jena sendirian ketika gadis itu jatuh, dan bagaimana dirinya tidak melakukan apa-apa ketika Serena mendorongnya ke tanah. Rasa penyesalan memenuhi dirinya, diikuti oleh kemarahan pada diri sendiri. Ia benar-benar ingin menghajar dirinya sendiri saat ini.

"Bangsat! Gue kenapa sih?! Beneran gila kayaknya!" gumam Davian pada dirinya sendiri, menggertakkan gigi. Ia memukul kepalanya sendiri, mencoba untuk menenangkan diri. Namun, bayangan Jena terjatuh dan tatapan tajam Serena terus menghantuinya.

Ditengah pikirannya yang berkelana, tiba-tiba seseorang mendekatinya dan mencoba memeluknya dengan erat. Ya, Serena. Davian mencoba melepaskan diri, tidak ingin terjebak dalam bersama dengan gadis itu. "Lepas. Abis ini gue ada kelas bahasa inggris." ujarnya dengan suara lembut, mencoba menyingkirkan Serena dengan cara yang baik.

Namun, Serena justru semakin erat memeluknya. "Kamu gak kangen aku, Dav?" ucapnya.

Lalu gadis itu sengaja mengeluarkan suara yang membuatnya merasa risih. Davian merasa geram dan mendorong Serena dengan kasar hingga gadis itu terjatuh.

"Kenapa kamu dorong aku?!" makian Serena terdengar sangat mengganggu di telinganya.

"Karena gue ada kelas bahasa inggris dan lo gak ngerti apa yang gue omongin. Sekarang udah ngerti, sayang?" ucap Davian dengan nada sinis sebelum meninggalkan Serena yang terduduk di bawah dengan wajah memerah nya, menampilkan ekspresi marah. Gadis itu mengumpat dan Davian tertawa mengejek setelahnya.

***

Tak lama setelah duduk di tempatnya di kelas, Davian melihat Mr. James, guru Bahasa Inggris mereka, memasuki ruangan dengan buku-buku di tangan. Mr. James mulai berbicara tentang materi pelajaran hari itu. "Baik anak-anak, hari ini kita akan belajar—"

Namun, pembicaraan sang guru terpotong oleh kedatangan seorang gadis yang tergesa-gesa memasuki ruangan. Davian memperhatikan dengan rasa bersalah ketika Mr. James menatapnya dengan tajam.

Gadis itu menerobos masuk ke dalam kelas. "Maaf, saya terlambat." bisik sang gadis dengan kepala tertunduk, suaranya hampir tak terdengar. Dia adalah Jena.

Mr. James mengamati Jena dengan tatapan tajam sebelum berkomentar dengan sinis. Ia tidak suka dengan orang yang terlambat masuk kelas, bahkan jika itu adalah siswa baru. "Apa kamu siswa baru?" Entah mengapa Davian tidak suka mendengar nada sinis yang dilontarkan Mr. James pada Jena.

"Iya, Mr." jawab Jena pelan.

"Jaket yang bagus." komentar Mr. James membuat beberapa siswa lain tertawa. Davian sejujurnya merasa tidak nyaman dengan situasi itu, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa dan ikut tertawa seolah ia memang setuju dengan yang lain.

Seharusnya tidak ada seorangpun yang bisa bertindak sesuka hati terhadap Jena selain dirinya!

Semua orang di kelas mulai membuat lelucon jahat tentang Jena. Davian merasa sesuatu mengganjal melihat Jena di perlakukan seperti itu.

"Sialan. Apa lagi yang lo pikirin?!" gumam Davian dalam hati, mencoba mengusir pikiran itu. Ia tidak ingin mengakui yang sebenarnya. Davian benci Jena. Ia benci gadis itu. Pikirannya terus mengulanginya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri tentang kebencian yang ia rasakan.

Namun, di lubuk hatinya, Davian tahu bahwa perasaannya lebih rumit dari itu. Ia merasa bersalah karena tidak membantu Jena, dan ia merasa marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa melawan perlakuan kasar orang-orang terhadap gadis itu.

Pandangannya terus menuju ke arah gadis yang tengah duduk sendirian di sudut ruangan, tersungkur dalam kehampaan yang menyedihkan. Entah kenapa tiba-tiba hatinya terasa sakit ketika ingatan tentang memar pada wajah sang gadis muncul di pikirannya. Setelahnya Davian segera menggelengkan kepala agar ia kembali tersadar. Ia seharusnya membenci Jena.

Ya, dia harus membenci gadis itu.

.
.
.
.
.
.
.
.
TBC

Mau segera menamatkan cerita ini biar bisa fokus ke forelsket dan story baru hoho

See you in the next chapter!!!

Jangan lupa votement💚

[✔️] AfterglowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang