Terhitung sudah satu bulan sejak Jena keluar dari rumah sakit. Hari-hari setelah kepulangannya terasa lambat namun penuh perubahan. Dalam sebulan terakhir, Jena perlahan-lahan mulai membuka diri kepada Davian. Awalnya, masih ada ketakutan yang tersisa—ketakutan yang datang dari pengalaman-pengalaman masa lalunya yang menyakitkan, tapi sekarang rasa takut itu mulai memudar.
Davian, yang kadang terlihat dingin dan tegas, mulai memperlihatkan sisi lembutnya. Ia mulai menyadari bahwa kemarahan pria itu tidak lagi membuat dirinya gemetar ketakutan.Tapi, Jena masih sering merasa malu di depannya, seperti ada jarak tak terlihat yang memisahkan mereka, meskipun Davian selalu berusaha mendekat. Dan Davian bisa melihat itu — rasa malu dan canggung yang masih tersisa, yang ia tanggapi dengan sabar dan perhatian.
Pada suatu hari, Jena memutuskan untuk mengunjungi Arum yang sekarang berada di penjara, berharap bisa memperbaiki hubungan mereka yang telah lama rusak. Meski hatinya penuh dengan keraguan, Jena merasa bahwa ini adalah langkah yang perlu ia ambil. Ia merasa perlu memberi kesempatan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk bibinya, guna meraih sedikit kedamaian atas luka-luka yang pernah terjadi.
Saat Jena tiba di penjara, ia menunggu dengan gelisah di ruang kunjungan, tangannya menggenggam erat-erat jari-jarinya sendiri. Dalam hatinya, ada perasaan bercampur antara gugup dan harapan. Ia berharap bisa melihat ibunya, meski tahu betapa sulitnya keadaan ini.
Namun, setelah menunggu beberapa waktu, seorang petugas menghampirinya. Dengan suara datar, petugas itu berkata, "Maaf, tapi dia menolak untuk bertemu dengan Anda."
Jena merasakan hantaman keras di hatinya. Penolakan itu, meski tidak disampaikan langsung oleh bibinya, terasa begitu dingin dan menyakitkan. Seketika, dunia di sekitarnya terasa runtuh. Tatapan mata Jena mulai kosong, dan air mata yang sejak tadi ditahannya mulai mengalir. Ia tak mampu berkata-kata, hanya bisa berdiri terpaku di tempatnya. Rasanya seperti luka lama yang terbuka kembali, perih dan menyesakkan.
Jena berdiri diam, tak yakin apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Namun, beberapa menit kemudian, Davian datang menghampirinya, wajahnya penuh perhatian. Tanpa bertanya apa pun, ia merengkuh Jena dalam pelukannya, memberikan dukungan yang sangat dibutuhkan Jena saat itu. Tangannya yang kuat namun lembut mengusap punggung Jena dengan gerakan menenangkan.
Dengan suara tenang dan penuh pengertian, Davian berbisik di dekat telinganya, Aku di sini, Jena. Kamu gak sendiri lagi." Kata-kata itu, sederhana namun penuh makna, membuat Jena merasa sedikit lebih ringan. Meskipun rasa sedih itu masih menghantui, kehadiran Davian memberinya rasa nyaman. Perlahan-lahan, Jena mulai merasakan beban di hatinya sedikit berkurang, meski luka yang tertinggal belum sepenuhnya sembuh.
Sementara itu, hubungan antara Davian dan Galen mulai membaik-selalu seperti itu sejak awal. Meski masih ada momen-momen canggung, suasana tegang mulai menghilang ketika Davian memperkenalkan Galen kepada teman-temannya. Jena juga jadi tahu kalau sahabat dekat Davian adalah Jemian, yang selalu menyambut dirinya dengan senyum lebar hingga matanya menyipit. Setiap kali Jemian ada, Jena selalu merasa lebih nyaman, seolah ia adalah seseorang yang dapat dipercaya. Jemian selalu memastikan Jena merasa diterima di tengah-tengah mereka, membuat Jena sedikit lebih tenang di lingkaran baru ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] Afterglow
Fanfiction[Taennie Short Story] Ketika takdir menggiring mereka bersama, melalui perjodohan yang tak terduga, Davian dan Jenara harus menjalani sebuah kisah yang tak terhindarkan. ⚠️WARNING⚠️ [Better for 17+] [Lokal fanfic/au] [Baku non baku] [Cringe, chees...