Jena masih berdiri terpaku, jantungnya berdegup tak karuan karena terkejut dan bingung yang melanda dirinya. Detik-detik terasa lambat ketika seorang Davian yang selama ini begitu dingin dan berjarak, tiba-tiba melontarkan pengakuan yang sama sekali tidak pernah ia pikirkan atau dirinya duga.
"Aku... cinta kamu, Jena."
Kata-kata itu seperti gema di kepalanya, berputar berulang kali, menggetarkan hatinya. Jena terdiam, mulutnya terbuka sedikit, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menatap Davian dengan mata yang masih terbuka lebar, terkejut dan tidak tahu harus bagaimana. Lalu, sebelum sempat mencerna apa yang sebenarnya terjadi, Davian mencondongkan tubuhnya dan dalam sekejap, bibirnya bertemu dengan bibir Jena.
Ciumannya lembut dan singkat, tapi cukup untuk membuat Jena tersentak. Jantungnya seakan melompat dari dadanya, napasnya terhenti sejenak, dan seluruh tubuhnya menegang dalam rasa ketidakpercayaan. Bibir Davian yang hangat menempel di bibirnya hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat dunia di sekelilingnya seakan berhenti.
Davian melepaskan ciumannya dan melihat ke arah Jena, yang masih terdiam mematung. Matanya memandang tajam, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan itu—sesuatu yang tidak pernah Jena lihat sebelumnya, sebuah ketulusan yang selama ini tersimpan rapat di balik sikapnya yang dingin.
Sebelum Jena bisa berkata apa-apa, Davian menarik tangannya, menggenggamnya erat, dan tanpa sepatah kata pun, ia membimbing Jena menuju mobilnya. Jemarinya yang kuat menggenggam pergelangan tangan sang gadis, seolah takut kehilangan momen yang baru saja terjadi di antara mereka. Tubuh Jena mengikuti langkah Davian secara otomatis, meskipun pikirannya masih berkecamuk, berusaha memahami semua yang baru saja terjadi.
Setelah mereka sampai di mobil, Davian melepaskan genggamannya dan menatap Jena sejenak sebelum berkata dengan suara rendah, tapi tegas, "Ayo masuk."
Jena, yang masih dalam keadaan linglung, terdiam sejenak, mencoba mengatur napasnya yang tak beraturan. Setelah beberapa detik, ia pun akhirnya mampu berbicara. Suaranya terdengar lirih dan gemetar, mencerminkan kebingungan yang meliputi dirinya.
"Tapi... kamu pernah kalo kita akan menjalani hidup masing-masing..." Jena menundukkan kepalanya, tidak berani menatap pria di sampingnya. Suaranya nyaris berbisik, takut melanjutkan karena merasakan matanya mulai memanas, tanda bahwa air mata akan segera mengalir.
Mendengar itu, Davian menghela napas panjang, lalu perlahan mendekatkan diri ke arah Jena. Tangannya yang besar dengan lembut mengangkat dagu sang gadis, memaksanya untuk kembali menatap matanya. Tatapannya lebih lembut dari sebelumnya, namun tetap tegas.
"Ya dulu..." ujarnya perlahan, suara Davian rendah namun penuh penyesalan. "Dulu aku bilang gitu karena aku lagi nyoba buat nahan perasaanku sendiri. Aku dipaksa buat terima pernikahan ini, dan aku pikir kalau aku menjauh, semuanya bakal lebih mudah."
Jena menatap Davian dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia tidak pernah menduga bahwa Davian, yang selalu tampak begitu tegar dan tidak peduli, ternyata memendam itu semua selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] Afterglow
Fanfic[Taennie Short Story] Ketika takdir menggiring mereka bersama, melalui perjodohan yang tak terduga, Davian dan Jenara harus menjalani sebuah kisah yang tak terhindarkan. ⚠️WARNING⚠️ [Better for 17+] [Lokal fanfic/au] [Baku non baku] [Cringe, chees...