Davian berdiri tegak dengan napas memburu, kepalan tangannya masih terasa berdenyut akibat pukulan yang baru saja dilayangkan. Di depannya, pria itu—Galen—terhuyung sebelum jatuh ke tanah dengan keras. Bibir Galen terbuka, darah segar segera membasahi permukaan kulitnya. Wajahnya memucat, tapi mata hitamnya tak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sebaliknya, mata itu malah memancarkan tatapan menantang, seolah-olah dia sengaja membiarkan dirinya jatuh hanya untuk memprovokasi Davian lebih lanjut.
Sebelum Davian sempat bergerak, Jena berlari ke sisi Galen, wajahnya penuh kekhawatiran. "Galen, kamu gak apa-apa?" suaranya terdengar panik saat ia berlutut di sebelah pria itu. Tangannya dengan lembut menyentuh wajah Galen, membersihkan darah yang mengalir di bibirnya. Davian menatap pemandangan itu dengan rahang mengatup rapat, amarah membara di dadanya.
"Jen..." suara Davian rendah, memperingatkan. Tetapi Jena tampaknya tidak mendengarnya, terlalu sibuk memastikan bahwa Galen tidak terluka parah. Davian merasa dadanya bergemuruh. Mengapa Jena begitu peduli pada pria itu?
Galen, meski terluka, malah tersenyum sinis ke arah Davian, senyuman kemenangan. Dengan bantuan Jena, dia perlahan bangkit. Tubuhnya sedikit goyah, tapi tangannya tetap mantap menggenggam tangan Jena, membuat Davian semakin panas. Jena, tanpa sadar, masih memegang tangan Galenerat-erat, tanpa melepaskannya.
Mereka berdua berjalan mendekati Davian, Galen dengan sikap tenang yang membuat Davian semakin ingin menghajarnya. Wajah Galen menunjukkan kepercayaan diri yang tidak tergoyahkan, seolah apa yang baru saja terjadi hanyalah permainan baginya.
Davian mengepalkan tangannya, siap melayangkan pukulan lagi. Dia ingin menghapus senyuman di wajah pria itu, menghancurkan kepuasan yang Galen tunjukkan tanpa rasa malu. Tetapi sebelum dia bisa bergerak, Galen melakukan sesuatu yang tidak terduga. Dengan gerakan yang lambat namun pasti, Galen mengambil tangan Jena dan meletakkannya di tangan Davian. Davian terkejut. Matanya menatap tajam ke arah Galen, mencari maksud tersembunyi di balik tindakannya.
Galen kemudian tersenyum, kali ini lebih tulus, dan matanya beralih ke Davian. "Gue bakal dukung lo sama Jena." ucapnya dengan suara rendah namun jelas. "Tapi lo harus inget satu hal Dav," lanjutnya dengan tatapan tajam. "Kalau lo berani nyakitin Jena, gue gak akan ragu buat merebut dia dari lo."
Seketika Davian merasa darahnya mendidih. "Diem lo! Gue nggak butuh lo buat ngasih tahu apa yang harus gue lakuin!" jawabnya dengan suara keras, penuh kemarahan. Siapa Galen berpikir dia bisa mengancamnya seperti itu?
Namun, Galen tidak tampak terpengaruh sedikit pun oleh ledakan Davian. Pria itu hanya menatap Davian sejenak sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke Jena, dan kali ini, tatapannya lembut, penuh perasaan yang sulit dijelaskan. Melihat bagaimana Galen menatap Jena dengan tatapan seperti itu membuat Davian semakin terbakar amarah. Dia ingin sekali memukul pria itu sekali lagi, hanya untuk menghentikan cara Galen melihat Jena seolah dia yang memiliki hati gadis itu.
Namun, Davian tahu dia harus menahan diri. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa Jena tidak akan menyukai lebih banyak kekerasan. Jadi, dengan susah payah, Davian mengatur napasnya, berusaha menekan keinginannya untuk bertindak gegabah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] Afterglow
Fanfiction[Taennie Short Story] Ketika takdir menggiring mereka bersama, melalui perjodohan yang tak terduga, Davian dan Jenara harus menjalani sebuah kisah yang tak terhindarkan. ⚠️WARNING⚠️ [Better for 17+] [Lokal fanfic/au] [Baku non baku] [Cringe, chees...