Monolog

1.1K 410 236
                                    

"Hanya aku yang tahu rasanya, sakit hatiku.."

Pernah aku ditanya sebuah pertanyaan -pertanyaan mungkin olehmu.

"Aku telah mengenalmu jauh sebelum ini. Dari semua ceritamu. Dari caramu memperlakukannya. Dan caranya memperlakukanmu. Dari bagaimana "takdir" dengan cantik mempertemukan aku dan kamu. Dan dari bagaimana akhirnya aku jatuh hati. Sejauh ini, aku hanya memberimu dua pilihan : bertahan atau pergi. Bertahan dengan semua rasa sakit yang lebih yang akan aku rasakan. Atau pergi, melepaskan semua kenangan yang telah lama ada lalu untuk maju ke depan."

Kata-kata itu menohok, menusuk ke dalam ulu hati hingga menimbulkan nyeri yang rasanya sulit untuk kujabarkan. Tak berdarah, tapi terasa sangat sakit?! Mungkin kata-kata itu yang sedikit menggambarkan perasaanku waktu itu. Semula aku tidak menghiraukan, tetapi caramu menyampaikan kepadaku. Nadamu mengejek. Tatapanmu yang meremehkan dan juga dingin padaku, seakan kamu tahu dengan pasti pilihan apa yang telah kamu pilih.

Dan aku kalah. Kamu benar. Kamu selalu benar. 
Ataukah aku yang sangat mudah ditebak?

Seperti dugaanmu, aku memilih pilihan itu. Pilihan yang sudah susah payah aku jelaskan kepadamu. Pilihan yang mungkin manusia berhati emas pun tidak berani mengambilnya. Dan kamu nyatanya tetap memilih pilihan itu.

Dulu aku memilih pilihan pertama. Aku memilih untuk tetap bertahan.
Dan kamu tertawa. Tawa kemenangan.

***

Saat itu aku berpikir, aku sudah sekian lama bertahan menahan semua rasa yang ada, bahagia maupun sedih, terlalu sayang bukan untuk melepaskan? Menyerah? Bukan pribadiku. Aku yang selama ini bertahan untuknya, menjadi tumpuan dikala dirimu terjatuh, atau hanya jadi sandaran hatinya ketika dirimu lelah, bukankah semua sudah aku lakukan? Harus aku tetap menyerah? Tidak akan. Aku lebih memilih bertahan.

Kamu munafik. Ungkapkan semua!

Tidak. Aku tidak munafik. Semuanya sudah aku jabarkan. Tidakkah kamu mengerti? Sangat sulit mencapai posisi ini. Mencapai posisi dimana aku membutuhkanmu. Mencapai posisi dimana hari-hariku dihiasi oleh dirimu seorang saja. Dan kamu tidak tahu apa-apa! Jangan berkomentar!

Masih ingin berbohong?!

Maksud kamu?

Bagaimana rasanya?

Apa?

Bagaimana rasanya tidak dianggap?

Pertanyaan ini langsung menembakku tepat di dalam dada lalu mematikan syaraf-syaraf otakku. Aku tidak bisa menyangkal. Perihnya, Sakitnya. Masih sangat membekas. Hingga kini aku pun tetap memilih jawaban yang diplomatis. 

Aku tidak ingin semuanya sia-sia. Semua yang kulakukan itu.

Lanjutkan!

Rasa perih itu, aku akan membiasakan nya. Mendarah-daging. Mati rasa. Aku percaya, apapun yang akan ada di depan jalan ini nantinya, aku akan tetap bergeming. Nyerinya, atau perasaan pengabaian sebesar apapun akan aku taklukkan!

Kamu egois. Kasihani hatimu. Dia sudah lelah menunggu. Dan kamu masih ingin aku Menyerah? Bukan begitukan?

Ya. Masih. Bukankah ego yang selalu menang?

Aku berusaha menyangkal semua situasi saat itu. Kata-katanya benar. Aku saja yang masih tidak terima. Aku buta, melihat sikap tidak acuhnya. Aku tuli terhadap semua kisah-kisahnya tentang orang lain, orang yang dia cintai. Ahh seperti yang sudah aku bilang. Aku mati rasa ketika dia dengan lembut mengiris-iris hatiku-.

Kamu seperti anak kecil. Berusaha merebut mainan orang lain hanya karena ingin diakui? Sudahlah, aku tidak ingin melihatmu "sok" seperti itu. Ceritakan semuanya. Ceritakan perjalanan hidupmu dengannya. Perjalanan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini!

Apa yang harus aku ceritakan, hah? Bukankah kamu tahu segalanya. Bukankah kamu juga merasakan? Untuk apa semua percakapan ini jika kamu tidak tahu rasanya seperti apa? Dan yang paling penting, bukankah kamu yang paling merasa tersiksa?

Aku hanya ingin mendengarkan. Kamu butuh didengarkan. Aku tahu itu.

Baik, baik. Kamu selalu menang. Seperti yang sudah kamu tahu, aku sudah sekuat tenaga untuk bertahan, bertahan, dan bertahan. Tetapi dia semakin jauh, jauh, jauh. Dan kamu tahu? Aku jatuh, jatuh, dan jatuh.

Rasanya?

Kamu masih ingin tanya bagaimana rasanya?!

Baiklah. Akan aku jelaskan rasanya.

Semakin sering aku terjatuh, maka kamu pikir aku akan semakin gagah berdiri. Sebetulnya tidak. Aku hanya berpura-pura tegar. Setiap dia semakin jauh, keping hatiku tercecer di jalan saat menujunya. Tetapi keyakinan itu, untuknya, selalu jadi kekuatan untukku. Aku bangkit. Namun apa yang aku dapat? Setiap aku tegak, dia semakin jauh, Semakin jauh, dan semakin jauh. Sedang aku? Semakin jatuh dalam, Semakin dalam, dan Semakin dalam. Semula, dia berjalan di sampingku. Meniti jalan yang terikat bersama, berdua. Namun, setiap kali aku terjatuh, dia selangkah lebih maju dari hadapanku. Setapak, dua tapak, tiga tapak, hingga dia berjalan di samping orang lain. Meninggalkanku? Ah tidak mungkin.

Kamu selalu begitu. Tidak yakin terhadap apa yang jelas-jelas nyata di hadapanmu.

Diam! Bukan begitu. Aku... Aku berusaha mengejar bayangannya. Berlari menembus mega. Bertahan, demi dirinya, agar kau tahu bahwa begitu besar rasa sayangku terhadapnya. Hingga aku tiba di sebuah persimpangan.

Masih ingin mengejar?

Untuknya? Tidak perlu kamu tanyakan. Iya. Selalu.

Masih sanggupkah kamu berlari?

Berlari? Iya. Aku sanggup. Aku akan mengejar ketertinggalanku.

Tidakkah kamu lelah mengejar?

Lelah? Sedikit. Aku akan tetap menyusulnya. Itu bukan rintangan, kau tahu?

Hmm.. Sebegitu berartikah dia bagimu?

Sangat berarti bagiku. Dia adalah mataku ketika kegelapan menggerogoti. Dialah yang terpenting. Tidak ada yang lain.

Jika memang begitu, pertanyaannya adalah..

Sebegitu tidak berartikah kamu untuknya sehingga dia lari darimu?

Sebegitu tidak diabaikannya kamu sehingga dia tidak rela menunggu?

Sebegitu tidak berhargakah kamu sehingga dia enggan mengambil kepingan hatimu yang pecah berserakan?

Dan sebegitu tidak lelahkah dia untuk pergi jauh darimu, hingga enggan bersamamu?

Jawab pertanyaan itu!

Aku tidak bisa menjawab. Bukan urusanmu!

Selalu. Kamu selalu begitu. Kamu harus tahu. Kadang banyak hal yang memang semestinya direlakan. Kamu terlalu berharga untuk mengejar. Lepaskan! Relakan! Jika kamu tidak ingin melakukannya untuk dirimu, setidaknya untukku?

Aku tidak mau. Aku akan bertahan. Kamu siapa berani memerintahku?

Sudahlah. Kamu akan tahu.

***

Semenjak saat itu aku terus berlari, bertahan mengejar bayangnya. Hingga aku lihat tembok besar dengan semen keabuan yang masih basah. Aku tahu, dia yang membangunnya. Dan di tembok itu, tertulis tiga kata bercat merah muda :

"MASIHKAH KAMU MAMPU?"

Dan aku mulai meragukan nya...

~~ To Be Continue ~~

Haii,, haiii......
Annyeong Yeorobun~~~
Bagaimana kabar kalian my sweet reading All Gaza?
Kabar bahagia buat kalian para readers yang sudah sangat setia untuk menunggu kelanjutan cerita dari Friendzone? In Childhood Memories Season I.
Aku ga nyangka banget bisa melanjutkan cerita dari Friendzone? ICM Season I~~~
Thx sangat buat kalian yang sudah setia menunggu kelanjutan ceritanya Friendzone? ICM Season II.

Friendzone? In Childhood Memories S2 『ON GOING』Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang