ahada 'asyaro

1 0 0
                                    

Ghaisan mengulurkan tangannya untuk Nuraini.
"Kamu mau sungkeman dulu?" ujar Ghaisan dengan nada lembut dan menggunakan kata 'kamu'.

Nuraini mengangguk dan menerima ukuran tangan dari Ghaisan. Kemudian Ghaisan menarik tangannya pelan dan menyalami tangan Ibu Bapak serta mertua-mertuanya juga.

Ahmad mengelus puncak kepala anaknya itu. "Sakinah mawaddah warrahmah ya anak ganteng Abi."

Anak yang di sebut sebagai muazin itu, seketika menangis dan meneteskan air matanya. Walaupun sebentar, kemudian ia merapihkan jas dan juga kemejanya kembali seperti awal.

"Na'am Abi, Syukron." Tatapannya seketika berubah menjadi sendu.

Acara di lanjutkan hingga makan-makan juga beberapa acara lainnya. Berdoa, bagi-bagi hadiah dan acara adat daerahnya. Ghaisan juga Nuraini menikmati semua itu.
Tiba-tiba Rauza datang dengan raut wajahnya yang senang sekali.

Ia memeluk Nuraini dengan erat layaknya anak kecil. "Kak Nuuurrr, barakallah ya. Aaaaa akhirnya Rauza punya kakak perempuan. Selamat Kak Nuurr."

Nuraini membalas pelukan itu tak kalah eratnya juga tak kalah lembut nada tutur katanya. "Sama-sama Sayang. Panggil Aini aja yah? Jangan Nur hehe."

"Teh Aini yah? Biar sama kayak Aa Ihsan." Melirik ke arah Ghaisan yang sedang pura-pura tidak mendengar ucapan Rauza. Namun, Rauza meninggikan volume suaranya walaupun kakaknya ini terkadang sedikit menyebalkan.
"A Ihsan!" teriak Rauza.

Ghaisan terkejut, lalu menoleh ke arah Rauza dan berkata, "Hm."

"Ih, dia emang gitu Teh, kadang sok cool kalau di depan Teteh."

Tentunya ia mendadak menarik sudut bibirnya perlahan dan memperlihatkan senyumannya yang manis seperti gula susu.

"Uzza ini loh, sok tahu banget." Ia mencubit hidung adiknya yang pesek itu hingga adiknya meringis kesakitan.

•••••

Malam pun tiba, saat mereka untuk beristirahat dari ramainya tamu undangan tadi.

"Ihsan?" panggil Nuraini.

"Na'am ya humairaku?" sahut Ghaisan sembari menyentuh pipi merah Nuraini.
Lalu mengelus puncak hijabnya yang terbelit sedikit.

"Aku, -eh. Aini, mau ke kamar mandi sebentar ya, mau lepas hijab."

Ghaisan terkekeh.
"Iya, jangan lama-lama ya. Abis ini kita ibadah," teriaknya.

Pipi Nuraini semakin merah dibuatnya, badannya bahkan sampai gemetar mendengar ucapan Ghaisan yang seperti itu. Ternyata Ghaisan jauh lebih romantis dari yang ia pikirkan selama ini. Nuraini menuju kamar mandi dan membuka satu persatu jarum yang tersemat di dalam hijabnya.

•••••••

Satu minggu telah berlalu, sekarang bahkan mereka tak memanggil menggunakan nama biasa.
Ghaisan, memanggil Nuraini dengan sebutan 'humaira' yang memiliki arti dia yang pipinya kemerah-merahan. Dan juga Nuraini yang memanggil Ghaisan dengan sebutan 'hubby' yang artinya suami. Sangat harmonis bukan? Tentu saja, tak pernah ada pertengkaran di rumah itu.

"Humairaku, hari ini masak apa?" panggil Ghaisan dengan suara lembut seperti ayahnya. Ghaisan memeluk Nuraini dari belakang dan juga menjahilinya sedikit-sedikit.

Ia menoleh. "Simple, rendang sapi pakai bumbu spesial hubbyku."

Senyuman di bibir Ghaisan kemudian merekah. Terlihat bahagia dari matanya tentu saja. Dengan orang yang menjadi cinta pertama dirinya.

"Masaknya yang enak ya humayra. Anna uhibbuka."

"Anna uhibbuka," sahutnya, "pasti enak masakan istri sendiri hubby."
Nuraini menyentuh hidung Ghaisan yang sedikit mancung ala keturunan Arab itu. Ghaisan menjahili istrinya lagi dan lagi. Walaupun jengkel, tapi Nuraini tetap sabar dengan sifat suami tercinta.

"Nih, ayok hubby wasim, kita makan dulu ya," ujarnya sembari menaruh makanannya.
.

.
.
TBC

Salam hangat dari rerileymttw

Kamu Muadzinku ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang