itsnaa 'asyaro

1 0 0
                                    

Tentu, saja Ghaisan senang dengan hal itu. Makanan yang di masak oleh Nur pun enak. Ralat, Aini maksudnya.

"Masakannya enak Humairaku. Mirip sama masakan umma waktu Anna kecil. Waktu Abi masih baru jadi Gus," tanggap Ghaisan. Senyuman di bibirnya tidak pudar-pudar sampai saat ini.

"Hem, nanti aku masakin lagi ya hubby. Makan yang banyak, abis ini, aku mau ngaji bareng sama Umma. Hubby ikutan ngaji juga ya?" ajak Nuraini sembari memeluk tubuh tegap milik Ghaisan, tentu saja Ghaisan membalas pelukan itu tak kalah tulusnya. Kemudian Ghaisan mengambil alquran yang berisi arti juga tajwid lengkap. Dan menggandeng tangan istri cantiknya.

Sesampainya di tempat Ahmad dan Ghina. Perlahan, Ghaisan mengetuk pintu rumah Ahmad. "Assalamu'alaikum Abi."

"Waalaikumsalam Nak, tunggu, Abi lag-" Terdengar suara ayah Ahmad yang sedang sibuk di dalam asrama miliknya. Tentu Ghaisan menunggu bersama istrinya di depan asrama. Ahmad berjalan menuju pintu dan membukakan pintu asrama untuk anak lelakinya.

"Abi," sapa Ghaisan sembari menyalami tangan Ahmad.
"Ihsan mau ngaji di masjid dulu ngajarin anak-anak yang pada gabut di hari minggu, tolong titip Aini ke Umma ya. Dia pengen minta ajarin ngaji ke Umma."

Ahmad terkekeh pelan lalu berbisik, "Kamu minta ajarin Ghaisan aja. Ngajinya gak kalah bagus loh, apalagi kalau pakai microphone."

Ghaisan tersipu malu, wajahnya perlahan memerah bagai blush on.
"Ah Abi, bisa aja. Ghaisan juga masih belajar."

"Ghaisan bohong itu, padahal dia udah ngajarin anak orang, jangan percaya, udah minta ajarin Ghaisan aja," timpal Ahmad sembari meledek Ghaisan yang kini semakin malu dibuatnya. Memang cocok ayah anak satu ini.

Tak pakai lama Ghaisan pergi dari sana sembari berdecak sebal. Ia melangkah jauh hingga ujung pintu mushola untuk mengajari anak-anak.
Sama seperti ayahnya dahulu kala ketika di umur Ghaisan suka mengajari anak orang lain. Walaupun dirinya masih butuh belajar secara otodidak. Tapi ia mampu berbagi ilmu dengan orang lain.

•••••••

10 bulan kemudian.

Seusai  belajar dengan Ghina, Nuraini membantu Ghina di dapur. Namun, ada hal aneh kali ini.

"Hey, jantung, jantung, plis jangan sakit dulu, tahan, tahan. Jangan sakit, ini lagi bareng sama Umma, nanti kalau Umma curiga bisa brabe. Tolong jantung, kerjasama dengan baik di butuhkan di sini. Aku mohon," batinnya menahan rasa sakit di dadanya yang sedikit menjalar ke arah bahu.
"Nah, gini dong. Mereda, sakitnya nanti aja ya, kalau udah sendirian. Youre doing great Aini," gumamnya dalam hati ia membantu ibu Ghaisan memasa makanan kesukaan Ghaisan.

"Dulu waktu Ghaisan kecil, pas ada wangi rendang gini dia langsung lari ke dapur," celetuk Ghina dengan nada bercanda gurau di ruang dapur.

"Serius? Tadi aja baru loh Aini masakin rendang resep Umma, dan emang Ihsan suka banget sama rendangnya," ttimpa Nuraini sembari mengiris bawang merah juga bawang putih lalu menumis kangkung.

"Assalamu'alaikum, Umma, Ghaisan pulang," panggilnya dari ambang pintu masuk asrama Ghina dan Ahmad.
Dari depan Ahmad menyambut anak yang kini terlihat seperti ustadz.

Ghaisan menyalami kedua tangan orangtuanya satu persatu, dan memberikan salamannya kepada istrinya yang cantik.

"Hubby," panggil Nuraini dengan kegirangan lalu memeluk tubuh Ghaisan dengan sigap nan lembutnya.

"Na'am Humaira?" sahutnya dengan nada yang lembut. "Ada apa sayang? Kenapa hm?" Ia mengelus pelan hijab istrinya.

"Jangan, jangan sakit," batinnya, namun apalah daya ia sudah tak kuat.

"Aku capek, mau istirahat sebentar aja." Suara Nuraini bergetar seketika.

Brugh

Ia terjatuh dalam pelukan Ghaisan.

"Humaira? Sayang." Ghaisan memapah istrinya yang kini jatuh lemas dalam pelukannya.
Ia menepuk pelan pipi istrinya namun tak kunjung sadar.

Akhirnya, Ahmad juga Ghina membawa Nuraini ke rumah sakit.
.
.
.
.
TBC

Kamu Muadzinku ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang