UW - 4. PAK... TEDDY?!

498 45 2
                                    

Bagian empat ⎯  Pak... Teddy?!

"Entah rayuan seperti apa yang kamu lakukan untuk menaklukkanku melalui Tuhan yang menciptakanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Entah rayuan seperti apa yang kamu lakukan untuk menaklukkanku melalui Tuhan yang menciptakanku. Hingga Tuhan melembutkan hatiku untuk luluh terhadapmu."

⎯  Lyvia Elaila Azlan⎯

Malam ini akan menjadi malam terakhir bagi Teddy di tanah kelahirannya, Manado. Namun, hubungannya dengan Gian tak kunjung membaik. Selalu saja ada celah bagi Gian untuk menghindarinya, mungkin tidak terlalu dini bagi Teddy untuk menyimpulkan bahwa Papanya itu tengah merajuk. Ia memakluminya, benar kata Gian bahwa pria paruh baya itu baru meminta satu hal padanya.

Dan ia merasa diberatkan atas permintaan Gian kemarin, seharusnya ia bisa melihat kemungkinan baik yang coba Gian arahkan untuknya. Beruntung ajaran dari Gian dan Patria selalu mengingatkannya, bahwa hadirnya satu beban yang terasa berat itu karena Tuhan percaya akan kemampuannya untuk melewati itu.

Ketukan pada pintu kamarnya membuat Teddy tersadar dari lamunannya, ia segera menyimpan kembali backpack miliknya yang tengah dirapikan ketempat semula. Daun pintu kamarnya terbuka dan menampilkan Patria disana dengan senyum manisnya. Teddy mempersilakan Mamanya itu untuk masuk, meyakini bahwa akan ada obrolan dari Patria untuknya.

"Nak, sudah mau tidur ya?" tanya Patria.

Teddy menggeleng. "Belum Ma, tadi habis ngerapihin barang yang mau dibawa pulang ke Jakarta."

"Oh begitu, jadi kedatangan Mama kesini nggak ganggu kamu 'kan, Nak?" kembali Patria bertanya pada Teddy, wanita paruh baya itu mendudukkan dirinya diatas kasur.

"Nggak dong, Ma." Teddy menjawabnya dengan senyum merekah. Ikut serta duduk disebelah Patria.

"Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk berkunjung menemui Mama dan Papa." Tangan Patria terulur untuk mengelus pundak Teddy saat keduanya terduduk diatas kasur, seraya menatap dalam pada anak laki-lakinya itu. "Tolong maafkan Papa ya, tidak bisa menahan keinginannya untuk melihat kamu menikah. Tolong jangan marah atau bahkan membenci Papa karena keinginannya itu, kamu tahu sendiri seberapa besar rasa sayang Papa untuk kamu," sambungnya.

Teddy mengangguk mengerti, ia membawa tangan milik Patria dalam genggamannya. Mengelus dengan lembut tangan yang membesarkannya selama ini. "Sama sekali tidak ada rasa seperti itu, meskipun Teddy sempat merasa marah dan kesal tapi tidak sampai menumbuhkan rasa kebencian di dalam sini." Tunjuk Teddy pada dadanya. "Sebelum Papa istirahat, rencananya Teddy mau menemui Papa untuk membicarakan obrolan kemarin. Ma, apapun keputusan yang akan Teddy ambil nantinya, tolong ridhoi selalu ya, Ma. Karena ridho Mama juga ridho Allah."

"Selalu sayang, Mama selalu mendoakan anak-anak Mama. Meridhoi setiap langkah baik yang akan kalian ambil, jangan terlalu memaksakan diri, Nak. Biarlah yang sudah digariskan oleh Allah untuk kamu datang dengan sendirinya setelah melihat usaha yang kamu lakukan, Mama selalu percaya bahwa setiap hari adalah hari yang baik. Kapanpun ia datang itu pasti karena usaha kamu selama ini." Patria menangkup wajah Teddy, bagi seorang Ibu berapapun usia anaknya dalam pandangan mereka anaknya itu masih sangat kecil.

Unexpected Wedding Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang