"Uang itu alat transaksi. Misalnya kamu mau membeli saddle bagnya Dior yang cantik jelita itu, kamu mesti punya uang. Uang bisa kamu digitalisasi." Aku merogoh kartu tipis dari card saver dengan lanyard Coach di bagian depan jahitannya, dan mengibas-ngibaskannya di udara. "Bentuknya begini. Ai banyak uang—I mean, uang ai kebanyakan. Kalau ditumpuk-tumpuk, bakalan ngehabisin storage brangkasnya Papi. Ai jadi repot. Minggu kemarin aja, ai konsul ke psikiater gara-gara ai pusing, soalnya duit ai kebanyakan, sampe petugas pajak dateng ke rumah ai karena mereka curiga Papi ai korupsi. Padahal sih, enggak. Ai juga bingung gimana caranya mengurangi duit di brangkas Papi ai."
Aku melirik alien jamur yang namanya Cendaqif. Ia memerhatikan aku selayaknya murid teladan. Kemudian aku melanjutkan kiprah politik-keuanganku, "ai lihat, Rimbara masih betah dengan sistem barter. Its actually nggak banget! You guys have to move forward, kayak bumi. Dengan terciptanya sistem uang, kamu bisa membeli dan menjual. Membeli dan menjual itu konsep dasar ekonomi. Kalau you you semua mau dengerin ai, dosen keuangan terbaik di galaksi, ai yakin you bisa sukses kayak ai."
Cendamad mengacungkan tangan.
"Ya, Candamad?"
"Apa untungnya punya uang banyak?" Tanyanya.
Padahal sudah kujelaskan sebelumnya, salah satu manfaat menjadi kaya ialah saddle bagnya Dior. Aku menepuk jidat, merasa gagal sebagai dosen keuangan anak-anak alien jamur ini. Tapi aku lekas sadar, mereka mana ngerti saddle bag punyanya Dior.
Aku menghela napas, menyabarkan diri. Aku merotasikan arah ke samping, pada pemandangan hijau di luar balai. Aku memikirkan jawaban, "kamu bisa beli apapun. Kamu bisa memperbuda—"
"Laksamana." Arumugam datang dari arah tangga, masih dengan tongkatnya.
"How strange." Aku bergumam. Arumugam tampak mengenakan baju tanpa lengan. Matanya oranye. Kupikir ini Arumugam versi lainnya. Sesungguhnya berapa banyak power sphera yang digunakannya, sih? Dan kenapa akamsi—anak kampung sini—seperti Arumugam bisa mengklaim power sphera power sphera itu?
Arumugam mendekat.
"Kamu bukan Solar. Bukan pula Glacier." Aku menyilang tangan. Aku memandangnya penuh intimidasi. Aku perlu tahu darimana Arumugam memperoleh kuasa-kuasanya.
"Aku Blaze." Ia memperkenalkan diri. Blaze lebih ceria dari Glacier, dan cenderung murah senyum, tidak seperti Solar. "Laksamana. Kamu dipanggil Tuan Guru Gaharum di kediamannya. Dia ingin berkenalan. Maaf ya, Laksamana. Soalnya Tuan Guru Gaharum dituakan di Rimbara. Makanya ketika aku membawamu kemari, aku perlu bicara dengannya, supaya kamu diizinkan tinggal."
"Izin tinggal." Aku mendesis, lalu menoleh pada anak-anak alien jamur yang menonton percakapanku. "Aku akan tinggal di sini?"
Di Rimbara? Memangnya ada yang lebih baik dari Rimbara? Mengungsi di Gur'latan? Gur'latan belum disentuh Nebula—tapi justru itu inti permasalahannya. Aku perlu menjauhi next targetnya Nebula, supaya tidak berpapasan di jalan dan berakhir disemprot karbon monoksida.
"Jika kamu berkenan." Katanya. Matanya menatap lurus padaku.
Aku melamun sejenak. Arumugam—baik Solar, Glacier, atau Blaze—gampang sekali terpleset. Sesuai pengakuannya, ia buta belum lama. Ia belum terbiasa meraba-raba permukaan tanah dengan tongkat, dan meyakinkan diri untuk melangkah tanpa menabrak. Ia ceroboh.
"Apa yang sesungguhnya kamu lihat? Apakah kegelapan yang sempurna? Atau ... cahaya bias nan kabur?" Aku menyipitkan mata. Aku tak berusaha menumbuhkan empati. Aku hanya ingin tahu grade kebutaannya. Aku penasaran seperti apa karakter kebutaannya. Apabila pengelihatannya kabur—tapi pupilnya masih dapat membaca impuls rangsangan cahaya, aku yakin ia bisa melihat siluetku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy x Reader | Alternate Route of Supehero
FanficAku terjebak dalam putaran waktu melawan Nebula. Aku mengulagi dan mengulangi. Tapi aku tidak kunjung menang. Di pengulangan waktu yang ke seratus tujuh kali, Loopbot menyarankan aku untuk berhenti, dan mencoba strategi lain; mundur sejenak. Aku men...