- 13

599 114 44
                                    

"Jadi," Kokoci berdeham, memulai pidatonya. "Dimana Kapten Kaizo?"

Setelah mengabsen satu persatu personil rapat, Komander Kokoci bertanya demikian. Aku menengok ke kursinya. Dia enggak ada. Padahal Kaizo disiplin sekali orangnya. Biasanya justru akulah yang langganan terlambat karena bangun kesorean.

"Di sini." Suara Kapten Kaizo datang dari pintu masuk. Pakaiannya kotor, berselimutkan tanah kering. Pakaiannya sobek sedikit di bagian pundak. Kalau diliat-liat, dari hari ke harinya, Kaizo makin ganteng. Aku bersiul menggoda keterlambatannya, sambil menyilang tangan. Shielda yang telah mengetahui tabiat kurang ajarku, segera menyenggol siku tanganku.

"Apa?" Aku mendelik pada Shielda. Aku membela diri. "Aku cuma menyapanya."

Shielda mendecak tak senang, sedangkan aku menyengir.

"Senyummu cerah sekali." Shielda berbisik-bisik setelah memastikan orang-orang lebih berkonsentrasi pada kehadiran Kaizo. "Setelah membabakbeluri anak orang, senyummu masih bisa merekah secerah itu."

Aku agak menundukkan kepala, agar volume suaraku terminimalisir dari radar pendengaran Laksamana Tarung, orang di sebelah kananku, "Boboiboy tahap satu itu bukan tandinganku. Aku nggak bermaksud menjadikannya begitu. Dia terlalu lembek."

Mataku tak sengaja menangkap pemandangan bagus. Kapten Kaizo duduk di sebrangku dan bicara, "aku dicegat lanun. Sisa-sisa tentaranya Kapten Separo."

"Mereka tidak bisa disebut tentara, loh." Aku angkat bicara. Mulutku bawaannya enggak sopan, sulit mengendalikannya agar tetap tidak mengacau. "Mereka cuma berandal kampungan."

"Lebih penting daripada itu, kenapa kamu bisa ketemu lanun di lajur yang ramai dilalui pesawat dari galaksi JADES? Mereka kan suka bolak-balik dari sana ke Andromeda. Urusan bisnis, katanya." Shielda justru memerhatikan aspek lain. Jujur, aku enggak kepikiran kenapa Kaizo bisa-bisanya ketemu organisasi begal kapal di jalur yang lalu lintasnya ramai. Angkasa itu mengerikan.

"Lanun-lanun itu tidak sedang dalam operasi perampokan power sphera. Setalah diamankan, mereka baru mengaku mereka hendak mengungsi, tapi sialnya malah bertemu aku di tengah jalan." Kaizo melebarkan perkamen yang ditemukannya di atas meja. Aku cukup terkejut seseorang masih mempergunakan media papirus untuk menggambarkan peta wilayah. Oh ya, aku ingat. Mereka bajak laut. Mereka memburu benda begituan dan berkelana mencari harta karun setua peradaban suku Maya biarpun harus menempuh jarak lima puluh lima tahun cahaya. Barangkali salah satu lokasinya ialah Rimbara.

Dan—mengungsi? Para bajak laut itu menyelamatkan diri? Dari apa? Kejaran polisi antariksa? Jeratan pinjol?

"Mereka mengungsi. Karena markas mereka berada di dekat kawasan H-II, daerah dimana Nebula lahir." Kaizo melanjutkan.

"Oh. Masuk akal." Aku menjawab cepat-cepat. Semua orang takut pada Nebula.

"Kita akan bahas itu nanti." Kokoci mengalihkan pembicaraan. Kukira aku dan para marsekal lapangan lain dikumpulkan hanya karena kami disuruh apel pagi. Nyatanya tidak. Komander Kokoci terlihat buru-buru mengubah haluan topik, sebab ia memiliki kepentingan mendesak lainnya.

"Sai baru kembali dari puing-puing markas TAPOPS A." Kata Kokoci. Sai duduk tepat di sebelah Shielda, wajahnya tak terlihat khawatir. Posisi duduk aku dan Sai dipisahkan oleh Shielda. Aku melirik Sai. Informasi apa yang dibawahnya kemari, sehingga Kokoci repot-repot memanggilku? Kokoci jarang melibatkan aku di misi bercanda-bercandaan.

"Dan dia bertemu dengan Nebula." Kokoci menyambung.

Oh well. Aku membuang pandangan pada Laksamana Tarung. Dia sama bingungnya denganku. Baiklah, oke! Sai bertemu Nebula. Anggaplah benar, itu Nebula. Lantas, jika ada Nebula, mengapa? Nebula memang berkeliaran seperti pengangguran lontang-lantung di semesta, dan sehari lalu ia dikabarkan kentut sembarangan hingga menyebabkan redupnya luminositas bintang-bintang. Enggak aneh.

Boboiboy x Reader | Alternate Route of SupeheroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang