- 25

648 91 76
                                    

Ying, wanita berkacamata biru di sampingnya, mendaratkan tangannya di pundak (Name) songong tamak biadap nan brengsek itu.

"Jangan menggodanya, (Nama)." Kata Ying, memperingatkan.

(Nama) Biadap tampak terkekeh pelan, dan ia menatapku dengan penuh roman meremehkan. Sebetulnya aku berhak marah. Tapi aku tidak marah karena aku sadar, aku selalu memandang orang dengan cara itu; begitulah aku. Bahkan (Nama) Dunia Lain juga sering kali memandang enteng orang-orang di sekelilingnya, dan aku memakluminya karena (Nama) Dunia Lain masih bisa diajak kompromi, meskipun agak sulit memintanya menurunkan egonya.

Aku melihat refleksi diriku sendiri dalam (Nama) Biadap ini. Dia benar-benar aku! Tapi dia lebih terlihat dewasa, lebih congkak, lebih tidak tahu diri, dan lebih menyebalkan. Aku kini tahu bagaimana rasanya ditatap dengan caraku memandang orang lain.

"Kenapa kamu ..." Aku mengernyit. Aku tak bisa melepaskan pandanganku dari mata indah milik (Nama) Biadap. Mata itu umum. Hampir semua orang memilikinya. Tapi, dia berbeda. Kepercayaan dirinya membubuhkan kilau cemerlang dalam pupilnya. Bulu matanya juga lentik, panjang-panjang, dan bengkok, dia begitu menawan. Wajahnya bulat dan proporsional. Alisnya tegas, tak terlalu tebal, namun menyuguhkan nuansa wajah-wajah orang galak tak bersahabat. Dia memiliki fitur biologis kecantikan Asia Tenggara dari ibunya, dan mewarisi betapa maskulinnya ayahnya. Dia paduan sempurna dari gen orang terpandang.

"Kenapa ..." Saking terpukaunya, aku sampai kehilangan kata-kata. "Kenapa ... kenapa kamu bisa ... mencapai ... tahap tiga?"

"Karena aku kaya." Jawabnya. Aku tahu dia sinting. Tapi aku tak berpikir dia benar-benar tidak punya otak.

Ying menyepak pergelangan kaki (Nama) Biadap. Dan (Nama) biadap tersungkur jatuh dari posisi jongkok.

"Iya, iya!" (Nama) Biadap mendesah tak nyaman, lalu ia bangkit berdiri.

Lalu, (Nama) Biadap tersenyum dengan penuh narsisme. "Aku bergabung ke TAPOPS bertahun-tahun lebih awal darimu. Kamu tahu? Karena aku masuk bahkan saat sebelum aku masuk perguruan tinggi, aku ... menjadi bagian dari Kokotiam."

(Nama) Biadap lalu melirik Ying. "Aku menyaksikan kenangan-kenangan itu. Saat dimana Solar yang naif dan bodoh dicekik Retak'ka, kala Halilintar dikutuk jadi golok. Atau bahkan, aku ikut ke setiap perjalanan-perjalanan Kokotiam. Artinya, aku juga turut andil melawan Nebula. Fakta menariknya, keberadaan satu personil tambahan di Kokotiam mencegah kematian regu Kokotiam. Dan bagian terbaiknya ialah—"

(Nama) Biadap menyeringai. Ia mencondongkan meriam berupa rocket launcher buatan Mecahabot itu ke arah stupa candi Borobudur, dan ia menembakkan cahaya laser warna kuning keemasan ke sana. Lasernya bermuatan fusi nuklir, sehingga ledakkannya mampu menyebabkan raibnya Nebula paling kecil di lapisan terendah stupa.

"—Aku sungguh terlatih." Dia berucap dengan angkuh, suaranya murip desisan ular. Dagunya membusung, dan senyumnya melebar ketika ia memergoki aku hampir jantungan karena terkejut. Dia menghancurkan konstruksi lapisan penyangga Borobudur, sehingga candi itu rasa-rasanya terlihat mirip seperti reruntuhan prasasti raksasa peninggalan suku Aztec. Dia memang biadap, dia meluluhlantakkan cagar budaya peninggalan Dinasti Syailendra tanpa sejumput pun rasa enggak enakkan. Gimana kalo abis ini, dia dimarahi UNESCO habis-habisan dan didenda ratusan triliun?

Ying membalikkan badan, dan ia menjentikkan jari. Ia membereskan kekacauan yang dibuat (Nama) Biadap dengan mengendalikan waktu, memanipulasinya, menjadikan balok-balok batu besar Borobudur kembali berdiri tegap seutuh-utuhnya.

Nebula lain mengerang karena terancam, mereka memperbaharui lapisan kulit mereka dengan gas racun mirip sampah radioaktif buangan Jepang. Baunya seperti kaos kaki yang lama tak dicuci dan dibiarkan lembab di kolong kasur. Bau pocong.

Boboiboy x Reader | Alternate Route of SupeheroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang