Prologue

174K 7.2K 158
                                    

"Keenan, tahun ajaran kedua sudah mulai tiga hari yang lalu. Sampai kapan kamu enggak mau sekolah?"

Suara Owen dari luar membuat Keenan yang sedang tidur langsung menutup kepalanya dengan bantal. Masih jengkel karena tidur pulasnya diganggu, ia mengerang kesal dan melempar sebelah sepatunya ke pintu kamar. Suara yang begitu keras dan mengagetkan membuat Owen tersentak dengan melangkahkan kakinya ke belakang sambil mengelus dada.

"Keenan! Mau jadi apa kamu sekarang?!?" teriak Owen dari luar dengan jengkel.

Lelah dengan kakeknya yang selalu menekankan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya, Keenan akhirnya mendongak dan mengucek kedua matanya. "Yaelah jaman sekarang kalau punya uang banyak juga bisa jadi pengusaha."

"Kamu ngomong seenaknya aja, ya! Buka pintunya! Kakek mau ngomong sama kamu." ujar Owen dari balik pintu sambil mengetuk pintu dengan keras dan berkali – kali.

Keenan terdiam sejenak untuk menyatukan nyawanya, lalu dengan langkah lunglai, ia membuka pintu dengan muka bantalnya di jam sepuluh pagi hari sekolah ini.

Merasa puas ketika Keenan akhirnya membuka pintu kamar, Owen melipat kedua tangan nya. "Kapan kamu mau sekolah?"

Akhirnya Keenan memasang wajah serius dan menghembuskan nafas berat. "Kan udah dibilang, Keenan enggak mau SMA di sekolah umum. Keenan lebih milih homeschooling."

Sontak Owen menggeleng cepat. "Sekali enggak tetep enggak! Kamu harus belajar bersosialisasi, Keenan. Kakek enggak mau teman kamu hanya Ronald dan Billy. Itu memalukan."

Mendengar Owen mengatakan bahwa dirinya memalukan, Keenan langsung terkekeh pelan. "Di sini hidup siapa yang menjadi beban Anda? Keenan berhak mengatur hidup Keenan mau gimana jalannya. Anda enggak perlu menghabiskan waktu Anda yang sangat sibuk itu hanya untuk Keenan."

"Kakek sudah cukup kehilangan papa kamu, Keenan. Kakek tidak mau kehilangan seseorang yang kakek sayang untuk kedua kalinya." lirih Owen dengan air mukanya yang berubah menjadi pilu.

Dengan tatapan Keenan yang melihat ekspresi Owen seperti lelucon, ia pun terkekeh pelan. "Enggak usah bawa – bawa papa. Itu malah bikin Keenan ingat yang lalu dan semuanya enggak akan berubah. Mungkin sikap dan sifat Keenan sangat bertolak belakang sama papa waktu kecil. Tapi itu karena siapa? Karena Anda."

"Itu sebuah kesalahan fatal, Keenan. Penyesalan memang selalu datang terakhir, 'kan?" kata Owen, "Kamu enggak akan ngerti, sebelum kamu benar – benar menjalani hidup."

Tanpa meminta persetujuan kepada Owen, Keenan langsung membalikan tubuhnya dan menutup pintu kamarnya dengan satu gertakan kecil. Bentakan tersirat itu membuat Owen terdiam dengan mengelus dada. Mau bagaimanapun, Keenan selalu berpegang teguh dengan pilihannya. Jadi, Owen memilih untuk pergi dengan hatinya yang terasa sangat berat, terlebih lagi ketika Keenan kembali mengingatkannya tentang kesalahan di masa lalu.

Setelah Keenan mendengar langkah kaki Owen yang menjauh, Keenan langsung menghempaskan dirinya ke atas kasur. Ia melipat kedua tangannya di belakang kepala, memejamkan kedua matanya, dan berusaha melupakan segala yang telah terjadi selama hidupnya. Untuk beberapa orang, mungkin justru lebih memilih untuk tetap mengingat kenangan, tetapi tidak untuk seorang Keenan. Menurut Keenan, segala yang telah terjadi, lebih baik dilupakan. Karena kenangan, sekarang sudah menjadi sekedar angan.

Saat ini yang harus ia lakukan adalah menerima semua kenyataan yang telah terjadi. Jika diri kita sendiri sudah menerima dan memaafkan semua itu, perlahan kenangan itu pun akan pergi dan terlupakan sendiri. Meskipun nanti kenangan akan datang kembali dengan caranya sendiri, setidaknya, kita harus sudah biasa menanggapi semua itu.

Helter SkelterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang