Pagi di pertengahan bulan Juli sangat cerah ditandai dengan langit terang berwarna biru muda ditemani dengan awan putih yang bergumpal seperti gulali. Burung berkicau bersautan terbang dari satu tempat ke tempat lainnya. Matahari bersinar sangat terik sehingga pancaran cahayanya membuat silau Keenan yang sedang tertidur pulas di kasurnya.
"Woi tutup dong jendela nya!" teriak Keenan dengan suara keras yang malas - malasan.
Perlahan, pintu terbuka. Dan masuklah seorang perempuan mengenakan seragam pelayan yang berjalan dengan sedikit menundukan kepala untuk menutup tirai jendela. Lalu, perempuan itu berhenti dan berdiri di sebrang tempat tidur Keenan.
"Kalo enggak ada hal penting yang mau dikasih tau, lo boleh keluar." perintah Keenan yang masih menenggelamkan kepalanya di bawah selimut.
Perempuan dengan nama Aminah yang terjahit di seragamnya itu melangkahkan kaki sedikit mendekat. "Sudah pukul sembilan pagi, Den. Kata Tuan Ow—"
Keenan mendongakan kepalanya. "Yang mau sekolah itu siapa? Gue atau dia? Sana selesaiin kerjaan lo aja." tambah Keenan dengan nada yang sangat tidak sopan.
Aminah pun hanya bisa selalu mengangguk menanggapi apapun perintah yang keluar dari mulut Keenan. Kemudian dengan langkahnya yang takut, ia keluar dari kamar Keenan.
Tidak lama kemudian, ponsel di atas nakasnya bergetar. Membuat Keenan menjulurkan tangannya mencoba untuk menggapai. Setelah tergenggam, Keenan membaca nama sang penelfon yang terpampang dengan jelas.
Owen.
Tanpa berfikir lebih lama lagi, Keenan langsung mematikan ponselnya dan melempar ke kolong kasur. Langkah selanjutnya, tentu melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu. Semalaman Keenan bermain game sampai larut malam, tentu jadwal bangun dirinya lebih siang dari ini.
Tepat di saat Keenan sudah masuk kembali ke alam mimpi, tiba – tiba pintu kamarnya kembali diketuk berkali – kali. Keenan menggeram kesal dan menutup kepalanya dengan kedua bantal di tempat tidurnya.
Ketika sudah merasa tidak akan terganggu, tiba – tiba terdengar suara decitan pintu yang terbuka.
Sialan, dia punya kunci kamar gue, rutuk Keenan dalam hati.
"Besok kamu harus masuk sekolah, Keenan. Kakek enggak mau tahu alesan kamu. Kalau masih mengelak dan mencoba melawan, ATM kamu kakek blokir." Ancam Owen dari ambang pintu.
Keenan langsung melempar kedua bantalnya ke segala arah dan menoleh ke Owen. "Kalau Keenan dipaksa sekolah tapi Keenan enggak ada niat juga percuma."
Owen mengibaskan tangannya. "It's up to you. Tapi, kakek ulangi, kalau kamu enggak mau sekolah, ATM kamu kakek blokir. Atau mau skateboard itu kakek hancurin?"
Nyali Keenan ciut hanya karena skateboard miliknya diancam untuk dihancurkan. Katakan itu berlebihan, tetapi skateboard ini adalah salah satu barang peninggalan yang diberikan papa-nya saat ia tepat berulang tahun yang ke lima tahun.
Keenan mengacungkan ibu jari tangan kanannya. "Deal. Tapi hari ini transfer uang ke ATM Keenan buat beli gitar listrik baru."
Owen akhirnya tersenyum. "Deal."
Ketika dirinya siap untuk tidur lagi, Owen melemparnya dengan salah satu techdeck—skateboard kecil mainan—yang ada di dalam lemari Keenan. Tepat mengenai kepalanya, Keenan mengaduh kesakitan dan bersumpah serapah dalam hati.
"Mandi!" perintah Owen yang siap melempar yang lain untuk kedua kalinya.
Keenan menatap Owen nyalang, akhirnya ia mengambil kembali mainan kesayangannya itu dan berdiri. "Demi gitar listrik baru."
Akhirnya Owen tersenyum dan menutup pintu kamar Keenan. Kali ini, Keenan dapat mendengar pijakan santainya menuruni tangga. Diiringi imajinasinya tentang uang yang akan dikirimkan oleh Owen untuk gitar listrik barunya.
Keenan semalaman begadang sampai pagi hanya untuk memainkan kaset baru dari video game nya. Dengan langkah malas dan wajah yang memang sangat tidak manusiawi untuk bangun, Keenan mengambil handuk yang tergantung di depan pintu kamar mandi dan masuk ke dalam. Beginilah Keenan, baru bergerak ketika sudah diancam.
Setelah dua puluh menit di kamar mandi, Keenan keluar hanya menggunakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Ia langsung menyambar kaus polos berwarna hitam dan jeans pendek berwarna putih. Tenang, Keenan tentu saja menggunakan pakaian dalam.
Seperti yang biasa dilakukan semua orang sehabis mandi ialah sarapan. Karena tubuhnya sudah segar karena mandi dengan air dingin tadi, kebiasaan Keenan ketika malas, meluncur dari atas dengan duduk di pegangan tangga.
Dan sampai bawah, siap disambut dengan Owen beserta pelayan yang melihat tingkah Keenan dengan menggeleng dan mengelus dada.
Begitu, setiap harinya.
"Keenan, tolong ambilkan map di ruang kerja kakek sebentar." pinta Owen yang sudah rapih ingin pergi ke kantor dengan balutan tuxedo hitam dan dasi biru garis - garis.
Keenan melirik Owen dengan sinis. "Apa gunanya ngegaji banyak pelayan kalo ujungnya Keenan juga yang disuruh?"
Jika sudah mulai terjadi perdebatan antara Owen dan Keenan, pelayan yang lain merasa sadar dan langsung pergi dari tempat kejadian. Keenan dengan perkataan dan sikapnya selalu tidak sopan kepada kakeknya sendiri. Itulah yang semua pelayan tahu tentang Keenan.
Setidaknya, setelah kejadian disaat Keenan berumur lima tahun itu terjadi.
Lalu dengan santainya, Keenan berjalan ke arah dapur dan membuka kulkas, membiarkan Owen yang menggelengkan kepalanya karena perilaku Keenan yang selalu tidak bisa ditebak. Salah satuya seperti Keenan yang tidak pernah mau duduk di meja makan.
Owen menghembuskan nafas berat. "Kamu udah remaja, Keenan. Kamu harus nentuin tujuan hidup kamu. Jangan males – malesan. Walaupun kamu berhak mengatur hidup kamu sendiri, kakek sebagai pengganti orangtua kamu itu masih punya tanggung jawab penuh terhadap kamu."
Keenan mengambil cangkir dan menuangkan susu putih dari dalam kulkas. "Anda bahkan tau kalo Keenan enggak akan perduliin perkataan Anda mau gimanapun dan sepanjang apapun itu."
Perdebatan disaat keduanya memutuskan untuk mengadakan percakapan akan selalu terjadi. Dan dari semuanya, Owen sudah pasti mengalah dengan sifat keras kepala Keenan yang selalu tidak ingin mendengarkan apapun yang diucapkan orang di sekelilingnya. Keenan selalu egois dengan hidupnya sendiri. Selalu mau mengatur semuanya sendiri. Bahkan dirinya pun tahu bahwa ia tidak sehebat itu untuk tidak membutuhkan siapa – siapa di dalam hidupnya.
Apapun yang ada difikiran dan hatinya, Keenan selalu memutuskan untuk menyimpan semuanya sendiri. Walaupun ada beberapa hal yang ia ceritakan kepada Ronald dan Billy yang notabene-nya adalah sahabatnya, tetapi ia pasti memiliki rahasia sendiri dalam hidupnya. Ia tidak akan membiarkan oranglain masuk terlalu dalam ke dalam hidupnya untuk menghancurkan dinding pertahanan yang telah ia bangun selama ini. Itulah Keenan.
Dengan satu tangan yang berada di dalam kantung celananya, Keenan berjalan melewati Owen dengan sesekali menyesap susu vanilla dingin di cangkirnya.
"Keenan, kakek mau ngomong sama kamu." ujar Owen dengan nada yang lebih tegas.
Jika Keenan merasa bahwa dirinya sedang tidak ingin bicara dengan siapapun, Keenan memilih untuk diam. Keenan mengabaikan panggilan Owen dan kembali berjalan santai ke kamarnya seperti tidak ada beban yang memberatinya.
Sampai di kamar, Keenan menghempaskan diri ke sofa dan menyalakan televisi. Dengan secangkir susu vanilla dan semangkuk sereal, lengkaplah sudah temannya untuk pagi hari ini.
Tidak ada orang yang benar – benar mengerti apa isi di dalam kepala seorang Keenan Samudra.
Ia seperti batu. Diam, keras, dan kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Helter Skelter
Teen Fiction(SUDAH DITERBITKAN OLEH PENERBIT BINTANG MEDIA DAN TELAH TERSEDIA DI TOKO BUKU) Sudah bukan hal yang perlu diragukan lagi jika seantero SMA Pancasila mengenal seorang Keenan Samudra yang merupakan cucu semata wayang dari sang pemilik sekolah. Mempun...