Satu bantal persegi yang empuk dilempar Billy mengenai Keenan yang sedang asik bermain video game sendiri. Dengan jarak dua puluh senti meter, Keenan fokus menatap layar itu dengan tangannya yang sibuk memencet dan menggerakan stick.
"Woi, tidur. Udah malem gini. Besok harus sekolah." kata Billy dengan wajah yang sangat memelas dengan mata yang tidak terlihat seperti terbuka.
Lemparan itu Keenan hiraukan dengan tatapan mata fokus ke layar kaca yang menyala sangat terang di tengah kegelapan kamar. "Sekolah itu enggak menjamin kesuksesan lo di masa depan. Itu bergantung sama diri lo sendiri dan takdir Tuhan."
"Tapi tetep aja Nan, kalau lo enggak sekolah, lo dapet ilmu darimana? Kan kita makhluk sosial, enggak bisa bergantung sama internet aja. Lo juga harus belajar dari lingkungan dan oranglain. Makanya ada prasarana yang namanya sekolah." jelas Ronald berusaha menanggapi ucapan Keenan.
Kemudian Billy bangkit dan duduk bersandar pada tembok, "Seengaknya kalo lo kecilin suara dan rendahin cahayanya, gue sama Billy gak akan protes lagi deh, Nan."
Keenan masih menikmati adegan melawan zombie di tengah hutan dengan suara tembakan yang sangat keras, membuat kedua temannya geram. Selama bertahun – tahun belakangan ini, hobi menyebalkan Keenan terus menerus ditekuninya. Dan sebagai sahabat yang sudah berusaha selalu menasehatinya, bukan seorang Keenan namanya kalau tidak ingin mendengarkan pendapat oranglain.
"Keras kepala banget sih." resah Billy yang akhirnya pasrah mencoba tidur ditutupi selimut dengan telinga yang disumbatnya dengan kedua jari telunjuk.
Tipikal Keenan, setiap ada kaset video game baru telah rilis, harinya hanya akan diperuntukkan di depan televisi dengan stick dan susu vanilla. Ronald yakin jika Keenan memiliki pacar, pacarnya akan selalu protes jika ditinggal main game.
Tetapi mau bagaimanapun seorang Keenan Samudra, Billy dan Ronald akan selalu menerima ia jadi sahabatnya dengan apa adanya. Buktinya sekarang, mereka berdua sedang menginap di rumah Keenan, hal yang hampir saja dijadikan rutinitas keduanya setiap kali Keenan meminta keduanya.
Ronald memegang bahu Keenan. "Lo udah main tujuh jam, Nan. Besok tanding basket lo pusing gimana?"
Merasa telinganya panas karena mendengar ocehan dari kedua teman nya, Keenan mendecak. "Lo berdua kenapa jadi makin mirip sama Owen, deh?"
Sebenarnya Keenan risih dengan orang yang selalu banyak berkomentar dengan apa yang ia lakukan. Tetapi tetap saja, hanya mereka yang Keenan percayai dan miliki. Mau tidak mau, Keenan harus selalu sabar berteman dengan mereka, terlebih lagi pada saat tidur bersama pada satu ranjang.
"Gue sebagai teman harus perhatian, karena gue sayang sama lo." ucap Ronald lembut.
Mendengar jawaban Ronald yang terdengar sangat janggal dan ambigu, Keenan memberhetikan sejenak game-nya dan menoleh ke Ronald. "Ron, tidur gih. Ngeri gue sama lo."
Belum sempat Ronald menjawab, Keenan sudah kembali dengan dunianya. Keenan yang keras kepala dan susah diatur tetap akan selalu ada. Sifat anak itu sepertinya susah sekali untuk diubah oleh siapapun itu. Ronald pribadi berharap, suatu saat akan ada seseorang yang dapat mengatur hidup Keenan agar lebih tertata lagi. Dan sepertinya Billy juga menyetujui itu.
Tiba - tiba sebersit ide terlintas di benak Ronald. "Lo mau tidur atau..."
Kata - kata Ronald menggantung membuat Keenan mengernyitkan dahi. "Berani lo ngan—"
Tepat sebelum Keenan melanjutkan kalimatnya, Ronald sudah berdiri dengan kantung plastik besar berisi berkardus - kardus susu vanila dengan merk yang sama kesukaan Keenan. Bahkan rasanya sangat memalukan jika satu sekolah mengetahui tentang rahasia lucu Keenan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Helter Skelter
Teen Fiction(SUDAH DITERBITKAN OLEH PENERBIT BINTANG MEDIA DAN TELAH TERSEDIA DI TOKO BUKU) Sudah bukan hal yang perlu diragukan lagi jika seantero SMA Pancasila mengenal seorang Keenan Samudra yang merupakan cucu semata wayang dari sang pemilik sekolah. Mempun...