AP 1: Like I've Lost Everything

399 50 9
                                    

Aku berproses dalam banyak hal selama satu tahun belakangan ini. Jika ditanya berproses dalam hal apa? Mungkin dalam banyak hal, baik berproses untuk sembuh, berkembang, dan juga meningkatkan kualitas kesehatan fisik serta mentalku. Wisuda yang awalnya kupikir tidak bisa kukejar karena kata bunda aku terlalu asyik jualan brownies dan jadi tukang foto panggilan mendadak untuk acara-acara kecil, ternyata bisa kuraih tepat waktu. Tidak ada jeda yang kuberikan untuk diriku sendiri sejak bu Riscki memberikan persetujuan untuk melakukan seminar proposal. Keberangkatan ke Simalem bersama Pradipa dan yang lainnya di bulan Februari merupakan liburan terakhirku. Karena setelahnya, aku sibuk.

Iya, sibuk revisi, mengejar bu Riscki yang nan jauh di mato alias di Belawan sana. Kadang aku kejar dengan naik kereta (sepeda motor), kadang juga pakai Palisade kesayangannya Wijaya yang lebih sering teronggok di garasi, menunggu sang empunya yang tidak tahu kapan pulang ke Medan. Tapi, aku lebih sering pakai Palisade kesayangannya Wijaya, mengingat cuaca yang kadang panas kadang hujan tiba-tiba.

Ketika hari raya idul fitri kedua, Wijaya pulang ke Medan. Bunda mengajak kami untuk bersilaturahmi ke tempat keluarga besar ayah di Labura (Labuhan Batu Utara). Di malam lebaran ketiga, kami bertolak ke sana dengan Wijaya yang sempat mengeluh padaku bahwa dia sangat enggan kemana-mana. Tujuannya pulang kali ini adalah untuk istirahat seharian di rumah dan tidak pergi jauh setelah silaturahmi rumah ke rumah dari keluarga bunda.

"Aku males kalilah, Nda, ke sana. Sampe sana yang ditanyain selalu kapan Bunda ngundang segala macem. Kek apa kali urgensinya." Wijaya masih juga mengeluh ketika mobil yang dikendarainya sudah memasuki jalan tol menuju tebing tinggi.

"Yaa nanti bakal ngundang, Jay. Bentar lagi Ayi wisuda. Bunda ngundang itu."

Gantian aku yang protes ketika bunda menyinggung akan mengambil arisan untuk merayakan wisudaku dan mengundang sanak-saudara baik dari keluarga bunda ataupun ayah. Aku tentu saja tidak mau. Itu hanya wisuda dan aku tidak ingin ada acara yang lebih besar dari bunda mengadakan syukuran di rumah. Memang terkadang ide ibu-ibu out of the box yang tidak kusangka-sangka sebelumnya.

Pulang dari Labura, aku tidak pergi kemana-mana lagi. Aktivitasku hanya membantu bunda jualan—karena kebetulan sedang tidak ada pesanan brownies—, setelah itu aku menemani si mbak untuk belanja keperluan jualan bunda, kemudian istirahat sebentar agar aku bisa lanjut mengerjakan tugas akhir serta aplikasiku, dan di malam hari aku lanjut kuliah untuk mata kuliah semester akhir. Repeat.

Aktivitasku baru akan sedikit berbeda di hari Sabtu, karena biasanya aku minta izin untuk off bantu bunda dan mau di rumah seharian atau mencari tempat tenang untuk revisian. Tidak ada waktu untuk dekat dengan siapapun atau berusaha memperbaiki persahabatanku dengan Echa yang masih renggang.

"Adek pake mobil Abang aja. Bunda mau wirid nanti siang," ujar bunda sambil menukar kunci kereta yang sudah ada di tanganku dengan kunci mobil Palisade kesayangannya Wijaya.

"Bunda mau wirid ke mana?" Karena memang tidak biasanya bunda suka naik kereta. Keseringan kuantar atau pergi dengan teman satu perwirid-an.

"Ke Tembung. Hari ini tempat ketua."

Aku hanya ber-oh ria, kemudian pamit dengan kunci mobil Wijaya dalam genggaman. Tidak berbeda dengan hari biasanya, hari ini aku berencana untuk nongkrong sendiri di kafe, pelepas penat. Pintu gerbang sudah kubuka dan aku bermaksud untuk segera masuk ke dalam mobil ketika tak sengaja, kulihat Echa keluar dari area rumahnya dengan tas ransel sambil membawa botol minum. Sebenarnya aku ingin menyapanya dan berbincang seperti biasanya, sebelum aku dekat dengan Rishi atau ketika hubunganku dengan Rishi masih baik-baik aja. Namun, sadar bahwa cara putusku dengan Rishi tidak baik, aku hanya menunggu sampai Echa lewat di depan rumah, berharap dia menyapaku.

Dirayakan 1.900kmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang