𝆹𝅥𝆺𝅥‌ ᳝ ֹ 🌱 ⊱ ִ 𝟏𝟏 ݊

592 101 4
                                    

𓄹 ۪ ∿ ˟ 𓄹 ۪ ∿ ˟ 𓄹 ۪ ∿ ˟

Seorang remaja laki-laki berdiri di depan sebuah pintu dengan ragu. Tangannya terangkat hendak mengetuk pintu tersebut, tapi di satu sisi dirinya merasa tak enak.

Jam sudah menunjukkan pukul dini hari tepat. Gempa takut jika orang yang berada di balik pintu di depannya itu sudah pergi menjelajah alam mimpi.

Yang pada akhirnya Gempa memberanikan diri untuk mengetuk pintu di depannya. Satu ketukan pertama tak ada jawaban dari dalam kamar. Lalu Gempa dua kali lagi mengetuk pintu kamar itu, dan masih sama saja, tak ada jawaban.

Saat dirinya sudah balik badan untuk kembali ke kamarnya, terdengar suara pintu dibuka yang membuat dirinya kembali menatap pintu tersebut.

Pemilik kamar keluar dengan rambut berantakannya, dapat Gempa tebak bahwa kakaknya itu hendak untuk beristirahat. "Belum tidur, Gem?" tanya Halilintar dengan matanya yang sudah terlihat mengantuk.

Gempa mengangguk sebagai jawaban pertamanya. "Ada hal yang mau aku bicarain sama Kakak," ucapnya. Nada suaranya dapat Halilintar dengar ragu-ragu.

Halilintar mengangguk lalu mempersilahkan Gempa untuk masuk ke kamarnya. Kamar Halilintar terlihat remang, sampai sang pemilik kamar menekan tombol lampu yang membuat suasana kamar menjadi lebih baik.

"Gue kira lo udah tidur, Gempa." Suara seseorang yang sedang berbaring di kasur milik Halilintar terdengar menyapa Gempa dan membuat Gempa menoleh ke arahnya.

"Bang Fan?"

Taufan Adrian Devandra, kakak keduanya. Dirinya sedang berbaring sembari membaca buku milik Halilintar. Gempa tentu saja bingung, apa yang dilakukan kakak keduanya itu di dalam kamar sang sulung malam-malam?

"Nggak usah bingung. Gue cuman lagi bahas hal yang gue alamin hari ini," jelas Taufan. Dia membangkitkan tubuhnya untuk duduk, menatap Gempa yang masih kaku berdiri kaku di belakang pintu yang baru saja ditutup oleh Halilintar.

Halilintar menyuruh Gempa duduk di sebelah Taufan, sedangkan dirinya duduk di kursi belajar miliknya yang terletak di sisi ruangan paling pojok.

"Mulai dari siapa dulu?" tanya Halilintar yang sudah mendaratkan pantatnya di kursi belajarnya.

Taufan mengangkat tangannya. Gempa menoleh ke arah Taufan, sedangkan Halilintar mengangguk, mempersilahkan Taufan untuk memulai ceritanya terlebih dahulu.

Taufan membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman. "Kalian inget tadi siang di sekolah saat jam istirahat kedua?" Halilintar dan Gempa kompak mengangguk.

꒷꒦꒷꒦꒷

Sudut pandang Taufan:

Hujan deras mengguyur tanpa henti disertai dengan gemuruh petir yang membelah langit dengan suara yang memekakkan telinga. Alangkah derasnya hujan siang ini, seolah-olah awan tak lagi sanggup menahan beban air yang telah lama mereka kumpulkan. Setiap tetes air jatuh dengan kecepatan tinggi, menghantam bumi dan menciptakan genangan-genangan kecil di mana-mana. Suasana begitu kelam, dengan langit yang dipenuhi awan hitam pekat, membuat siang hari terasa seperti senja yang muram.

Aku berjalan menuruni tangga yang licin, langkah kakiku sedikit cepat namun penuh dengan kehati-hatian. Setiap pijakan harus kukontrol dengan baik, takut jika lantai yang basah akan membuatku terpeleset. Rasa khawatir terus menghantuiku, apalagi dengan suara petir yang semakin dekat. Di antara deru hujan dan gelegar petir, aku berusaha menjaga keseimbanganku, memperhatikan setiap langkah, meski kakiku mulai terasa dingin oleh udara lembab yang menyelimuti sekeliling.

7 Permintaan Maaf :: [OG] - BBBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang