﴾5﴿ Tertulis nama sang atma, Arunika

70 10 3
                                    


"On the train we swapped seats, you wanted the window and i wanted to look at you."
Mahmoud Darwish

₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪


"Siapa nama mu?"

Arunika mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia menghembuskan nafas dengan bingung sembari berfikir untuk mencari pembahasan lain dengan pria di depannya yang belakangan ini ia selalu melihat kehadiran dirinya di kebun ini.

"Kenapa kamu terus berada di sini?" tanya Arunika, selalu menatap dengan tatapan tajamnya yang mampu membuat orang lain terpukau.

Marcus mengernyit, "Saya tidak menyuruh mu untuk bertanya balik, saya bertanya. Siapa nama mu?" ucapnya dengan sedikit nada tegas.

"Tentu saya tidak akan memberi tahu mu," tekan Arunika, tak ingin kalah tegas dengannya.

"Hanya nama? Apa yang kau mau? Saya bisa memberikan apapun."

Arunika menatapnya lagi, "Tidak perlu, nama saya Arunika."

"Hanya Arunika?" tanya Marcus dengan penasarannya.

"Arunika Pratistha"

Mendengar nama perempuan di depannya, Marcus tersenyum. Perhatian Marcus sedikit melenceng ke bibir Arunika, namun ia dengan cepat kembali mempertemukan tatapannya dengan milik Arunika.

"Nama yang indah, seperti ... Uhm saya Marcus, Marcus van der Aart."

Arunika menatapnya sejenak sebelum mengangguk dan kembali berjalan meninggalkan Marcus di belakangnya seolah-olah ia tidak memiliki rasa penasaran atau memperdulikan Marcus sedikit pun. Namun, Marcus mengikutinya dari belakang dan senyuman terpintas di bibirnya saat dia menyadari bahwa Arunika hanya setinggi dadanya, membuatnya semakin gemas, meskipun Arunika selalu terkesan tidak ramah dengannya.

"Jadi, kau sudah lama bekerja di sini atau baru? Saya hanya bertanya, bukan bermaksud lain," Marcus bertanya dengan sedikit nada sarkastik, karena ia bisa melihat bahwa Arunika adalah perempuan yang keras kepala. Mungkin saja Arunika akan mengira hal-hal lain. Sebenarnya Marcus memang penasaran, hanya saja tidak ingin mengaku.

Nampak teriknya matahari masih ada sampai sore hari ini, membuat Arunika sedikit menundukkan kepalanya untuk menghindari cahaya matahari. Jujur saja, ia sangat malas menjawab setiap pertanyaan atau bahkan menanggapi pria di depannya, masih terasa asing, tentu saja, "Tidak terlalu lama, dan tidak baru juga. Sejak kedua orang tua ku menghilang, aku mau tak mau harus bekerja, bukan hanya aku, adik ku juga. Memang seharusnya."

Marcus menatapnya dengan tatapan yang semakin penasaran, "Adik? Kau punya adik?" lelaki itu menghela nafas sebelum melanjutkan apa yang ia ingin ucapkan, "Maaf soal orang tua mu. Saya sebenarnya ingin bertanya tapi, sepertinya kamu tidak akan menjawab."

Merasa bahwa pria di depannya seperti mulai mengenal karakter dirinya, Arunika sedikit menyeringai, namun tidak lama. Arunika menatapnya lagi, "Ya, saya punya adik, laki-laki. Soal kedua orang tua saya ... Saya juga tidak tahu kemana mereka menghilang, yang saya dan adik saya tahu mereka hanya keluar di sore hari, dan sampai matahari terbenam mereka tak kunjung kembali, bahkan hingga detik ini. Hanya dapat berharap Tuhan melindungi mereka. Saya tak dapat menentukan nasib yang sudah Tuhan berikan," jelas Arunika kepada Marcus.

Marcus mencerna setiap penjelasan Arunika dengan baik, tentu ia berfikir bagaimana cara arunika dan adiknya bertahan hidup tanpa orang tua, sedangkan terlihat Arunika masih cukup muda atau mungkin umurnya masih di bawah 20 Tahun. Selain tertarik akan ketegasan Arunika, Marcus juga tertarik bagaimana dia berfikir mengenai kehidupan. Mungkin lain waktu ia akan berbicara dengan Arunika dalam waktu lama, semoga saja kesempatan itu ada.

Marcus menemani Arunika menyelesaikan pekerjaannya. Beberapa kali ia menawarkan bantuan pada Arunika agar perempuan itu tidak terlalu kelelahan, namun Arunika selalu menolak bantuannya. Marcus bisa saja membantah Arunika, tetapi ia tahu bagaimana cara menghargai wanita. Akan ada waktunya Arunika membutuhkan bantuannya.

Sampai matahari mulai terbenam, semua pekerja kebun berhenti bekerja dan kembali ke rumah untuk rehat dari hari yang berat serta melelahkan. Arunika menyimpan beberapa gulden yang ia dapatkan dari hasil kerjanya, ia berjalan meninggalkan tempat itu, namun Marcus tiba-tiba memanggilnya.

"Arunika! Tunggu ...." Marcus berjalan ke arah Arunika, "Saya akan mengantar mu pulang."

Arunika berdiam sejenak, mencari kata yang akan dia gunakan untuk menjawab Marcus, "Tidak perlu, saya bisa jalan."

"Tidak, saya tidak memberikan pilihan atau pertanyaan. Ayo," Marcus memegang tangan Arunika dan menuntunnya ke tempat di mana mobil Marcus berada. Sejujurnya Arunika tidak terlalu keberatan, tetapi ia tidak mau menjadi dekat dengan pria Belanda bernama Marcus ini.

"Kau tidak bisa memaksa, saya tidak mau, Tuan Marcus."

"Arunika ... Saya tidak akan menculik mu, ok? Lagi pula matahari sudah terbenam dan langit sudah gelap, tidak baik untuk perempuan muda seperti mu berada di luar sendirian. Kau mau digoda dengan tentara Belanda?" jelas Marcus dengan sedikit menakuti Arunika mengenai tentara belanda.

Arunika menatapnya tajam, "Kau kan juga tentara Belanda ...."

"Itu kenapa kamu harus pulang bersama saya, Arunika. Mereka akan segan kalau ada saya bersama mu," Marcus menatap Arunika balik, ia bisa saja jatuh hati pada perempuan di depannya hanya karena tatapannya, "Naik lah ke mobil, atau aku yang akan mengangkat mu ke mobil ...."

"Tidak, aku tetap tidak mau. Kamu-" belum sempat Arunika menyelesaikan kalimatnya, Marcus sudah mengangkat tubuhnya ke mobil, "Beraninya kamu!"

Marcus tertawa dan menyeringai, Arunika sangat lucu ketika marah, "Siapa suruh masih mengoceh, aku bilang naik ke mobil bukan mengoceh, nona."

"Itu sangat tidak sopan! Dasar Londo aneh!" ucap Arunika dengan kesal pada Marcus yang masih menyeringai.

"Oh ja nona?" Marcus bergerak mendekat ke Arunika, jarak wajah mereka sangat dekat. Tentu saja hanya untuk menggoda Arunika, tidak sungguhan ingin melakukan sesuatu.

Arunika dengan cepat mendorongnya menjauh dan hanya misuh-misuh sendiri, sementara itu Marcus yang masih menyeringai kepada Arunika sudah naik ke mobil dan mulai menyalakan mesin mobil untuk menuju tempat tinggal Arunika.

"Di mana tempat tinggal mu, Aruni?" tanya Marcus.

"Saya tidak mau langsung ke rumah" jawab Arunika, masih dengan mimik muka merajuk dengan Marcus.

Marcus menghembuskan nafas berat. "Kau jelek saat merajuk, Aruni ... Lalu kalau tidak ke rumah, kamu mau ke mana?"

"Kau juga jelek saat menyeringai" cetus Arunika, "Saya mau ke sungai."

Mendengar Arunika bilang bahwa Marcus jelek saat menyeringai, lelaki itu sedikit tersinggung namun tidak mempedulikannya, "Baik lah, kita akan cari sungai terdekat."

₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪

₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

© Bernostoice, 2024

CANDRAMAWA TANAH HINDIA BELANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang