﴾7﴿ Seorang van der Aart?

70 8 4
                                    

"We suffer more often in imagination than in reality."
∽ Seneca ∽

₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪


Terlelap Mahawira di tikar bambu dalam gubuknya setelah memikirkan di mana keberadaan sang kakak yang tak kunjung kembali hingga matahari nyaris terbenam. Memang sungguh mengkhawatirkan. Tak ada yang dapat Mahawira lakukan selain berdo'a agar kakaknya dalam lindungan Tuhan.

Terbenam dirinya dalam mimpi indah, namun tak lama. Sontak Mahawira terbangun saat mendengar ada suara tembakan. Tentu hal tersebut cukup membangunkannya, baik mendengar ocehan Arunika untuk membangunkan dirinya dari pada suara tembakan.

"Ada apa itu," Mahawira berjalan mendekati jendela, menyingkap sedikit tirai putih jendelanya. Melihat ada seorang pria tua yang ditembak mati oleh tentara Belanda, entah atas dasar apa penembakan itu, Mahawira tak tahu. Namun, terlihat bahwa pria itu seorang kepala keluarga, istri serta anak-anaknya merengkuh tubuh tak berdaya itu dengan tangis, "Memang Belanda bedebah ... Terlalu mudah menarik pelatuk. Kelak, neraka pun akan mudah menarik mereka," Celetuk Mahawira.

Mahawira melangkahkan kakinya ke meja kayu di gubuknya, mengambil singkong bakar yang tersisa di meja, dan melahapnya.

Tak ada lagi suara tangisan dan tembakan seperti sebelumnya. Namun, tentu hal seperti itu pasti akan terdengar kembali.

"Kemana kak Runi ... Belum kembali juga dia sampai malam hampir tiba," Gumamnya dengan rasa khawatir pada sang kakak.

Kesunyian menemani Mahawira yang sedang terduduk sembari melahap singkong di tangannya. Menghela nafas karena rasa bosan, namun tak mampu mengeluh karena mau berharap apa dirinya pada kehidupan?

Tak sampai beberapa menit berlalu, ketukan pintu terdengar. Dengan terburu-buru Mahawira pergi untuk membuka pintu, tentu ia berharap orang yang berada di balik pintu adalah sang kakak.

Memang benar itu sang kakak, namun ada orang lain yang berdiri di depan Mahawira selain Arunika.

"Kak Runi ...." Mengalihkan tatapannya yang lembut menjadi tajam saat menatap pria asing memiliki perawakan penjajah.

Arunika menyadari bagaimana adiknya menatap Marcus dengan tidak ramah, mencari cara untuk mengalihkan perhatian Mahawira, "Mahawira, kak Runi tadi pergi ke sungai sebentar usai bekerja," Arunika melemparkan senyuman pada Mahawira.

"Bersama pria ini?" Ditatapnya Marcus dari ujung kepala hingga sepatunya oleh Mahawira.

"Dia Marcus, Marcus van der Aart, mungkin ... Teman ku," Ucap Arunika dengan ragu pada Mahawira, sebelum Marcus berbisik padanya, "Apa maksud mu 'mungkin' Aruni?"

Arunika merasa gugup sendiri karena hawa canggung di antara dua lelaki di sekitarnya. Mahawira mengangguk, masih dengan tatapannya yang tidak ramah, "Kau dari salah satu keluarga penting di Buitenzorg? Berkepentingan apa dengan kakak ku?"

"Saya hanya ingin berteman dengan kakak mu, tidak salah 'kan?" Jawab Marcus yang tak ingin kalah ketus.

"Tidak salah jika kau bukan Belanda. Tidak bermaksud buruk, hanya saja, kau pasti menginginkan sesuatu dari kakak ku. Tak ada orang dari bangsa mu yang melakukan suatu hal tanpa tujuan penting," Ucap Mahawira, berhenti sejenak untuk berfikir apa yang ingin ia katakan lagi agar dapat membungkam Marcus, "Leluhur mu saja datang ke negeri ini dengan tujuan yang matang untuk mencuri kepemilikan orang lain, tak mungkin kau mendekati kakak ku tanpa tujuan."

Marcus membelak menatap Mahawira dan Arunika secara bergantian dengan tidak percaya, "Maksud mu apa? Lagi pula dalam hal apa dari kakak mu yang dapat aku manfaat kan, kakak mu ini-"

CANDRAMAWA TANAH HINDIA BELANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang