﴾3﴿ Binar Matahari menyibak kegelapan

139 13 3
                                    


First principle: never to let one's self be beaten down by persons or by events. ∽Marie Curie

₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪

[Hindia-Belanda, Buitenzorg 1914]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


[Hindia-Belanda, Buitenzorg 1914]

Terbitnya matahari dari ufuk barat dengan cahayanya yang menembus setiap celah yang ada di tempat gadis ini tinggal, sudah cukup membangunkannya dari mimpi indah dengan sejuta harapan yang selalu ia inginkan.

Arunika perlahan membuka kelopak matanya, membiarkan pengelihatannya kembali melihat pahitnya kehidupan. Ia bangkit dari tidurnya dan membangunkan adiknya, Mahawira.

"Mahawira, bangunlah ... apa yang bisa kita makan pagi ini? Kita tak punya makanan sedikit pun untuk dimakan," ucap Arunika dengan suara yang nyaris tidak terdengar dan mimik wajah yang tampak gundah. Arunika tetap berusaha menahan rasa gundah dalam sanubari yang kian hari kian tumbuh. Arunika tahu bahwa bersedih tak dapat menyelesaikan masalah.

Mahawira terbangun karena mendengar suara sang kakak dengan kalimat yang terdengar miris baginya, "Tidak perlu khawatir kak, Wira akan mencari singkong untuk kita makan pagi ini," balas Mahawira dengan tenang.

Arunika menatapnya beberapa detik lalu mengangguk sebelum sang adik beranjak dari duduknya dan pergi keluar dari gubuk untuk mencari beberapa buah singkong sebagai makanan pagi mereka.

Saat adiknya pergi mencari singkong, Arunika sibuk membakar beberapa kayu untuk membakar singkong yang nanti akan dibawa oleh Mahawira. Selain itu, ia juga secara tiba-tiba memikirkan tentang fakta bahwa setelah ini ia akan lanjut bekerja di perkebunan teh milik tuan Hendriek van der Aart. Tentu Arunika hanya dapat termenung serta meratapi nasibnya, bahkan rasa lelah yang dirasakan tubuhnya pun sudah tak terbendung.

Suara deritan pintu membangunkan Arunika dari lamunannya, ia melihat adiknya datang membawa singkong dengan jumlah banyak, "Banyak sekali singkong yang kau bawa ... Ingin kau habiskan semuanya sekarang juga?" Sang kakak menatapnya dengan seringai di wajah.

"Tentu saja tidak! Orang macam apa yang menghabiskan sepuluh singkong di waktu berdekatan," Mahadewa terkekeh atas perkataan kakaknya. Ia jalan mendekat ke tempat di mana kayu yang sudah di bakar oleh kakaknya siap untuk membakar singkong.

Mereka menghabiskan waktu pagi berdua dengan memakan singkong sembari tertawa dan saling tukar cerita. Selesainya mereka makan dan bercengkrama, Mahadewa dan Arunika pergi untuk memulai pekerjaan mereka. Mereka bekerja di tempat yang berbeda, namun hal tersebut tidak mengikis rasa semangat dan sifat pekerja keras dalam diri mereka.

Sesampainya Arunika di kebun teh, ia segera bergabung dengan para pekerja pribumi lainnya yang sedang mengangkut beberapa karung yang akan dibawa ke daerah perkotaan. Arunika ikut mengangkut beberapa karung tersebut yang terbilang cukup banyak dan berat.

Saat waktu istirahat siang tiba, Arunika pergi mencari tempat duduk kosong yang berada di sekitar tempat tersebut dan duduk di sana. Ia kehausan, sudah pasti, namun, ia memiliki sepeser gulden¹ pun tidak. Ia hanya terdiam dan menenangkan nafasnya sembari melihat-lihat sekitar.

Arunika merasakan nafasnya berhenti sejenak saat pengelihatannya mendapati seorang tuan muda yang tampaknya berkebangsaan Eropa menatap Arunika dengan mata birunya dalam kurun waktu yang sangat lama. Setelah menyadari akan hal itu, Arunika segera mengalihkan perhatiannya ke arah lain, mengingat bahwa dirinya sangat tidak menyukai para penjajah negerinya.

Namun, tidak lama setelah kejadian itu, Arunika menyadari bahwa tuan muda itu berjalan mendekatinya dengan sebotol air yang mengisi kekosongan tangannya. Arunika hanya berpura-pura tidak menyadarinya.

Pria itu sudah berada di depannya, lalu menyodorkan botol minum itu kepada Arunika. Arunika memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan menatap pria tersebut dengan tatapan bingung.

"Untuk ... Ku?" Arunika bertanya dengan gundah.

Nampaknya sosok di depan Arunika terpanah dengan tatapannya, namun tidak lama ia pun menjawab Arunika.

"Ya, untuk mu," Jawabnya

Arunika menerima air pemberiannya, tetapi setelah itu Arunika melihat botol yang ada di tangannya dan tuan muda itu secara bergantian sebelum ia berkata lagi.

"Imbalan apa yang kamu harapkan? Saya tidak memiliki apa-apa, bahkan sepeser gulden pun tak ada."

Pria di depannya mencoba untuk bersikap lebih tenang dan lebih percaya diri, meski ia tidak bisa menghindari perasaan gelisahnya jika berada dekat dengan gadis di depannya

"Tidak ada imbalan yang diharapkan. Ini hanya hadiah dari saya karena kerja keras mu. Kamu akan menerima minuman ini atau tidak?"

"Kau ... Tidak meracuni ku 'kan?"

Pria itu terlihat sedikit kaget saat gadis di depannya mengira bahwa minuman yang ia berikan mengandung racun. Hal itu hanya membuat pria tersebut semakin penasaran dengan lawan bicaranya.

"Tidak ada racun dalam botolnya. Cukup air yang menyegarkan untuk memacu tenaga. Saya tidak mungkin meracuni kamu. Ini hanya air." Jawabnya seolah-olah acuh.

Arunika hanya menatap pria itu dalam diam sebelum ia meminum air yang diberikan untuknya.

"Terima kasih banyak," Jawab Arunika tak kalah acuh.

"Geen probleem, mooi meisje²," Jawab pria itu dengan senyuman dan semburat merah di pipinya, lalu ia pergi begitu saja meninggalkan Arunika dan botol berisi air yang dia berikan.

"Benar-benar londo³ aneh."

₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪

Gulden¹: Gulden atau Guilder adalah mata uang Belanda sebelum di ganti oleh Euro. Gulden di gunakan sejak abad ke-17 hingga tahun 2002.

Geen probleem, mooi meisje²
Tidak masalah, gadis cantik

Londo³: Londo berasal dari kata "Walondo" yang merupakan bahasa Jawa. Panggilan ditujukan untuk orang-orang Belanda.

Ada saran?

© Bernostoice, 2024

CANDRAMAWA TANAH HINDIA BELANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang