You are the universe, expressing itself as a human for a little while
~ Eckhart Tolle ~₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪
Arunika menatap pria itu setelah ia menyebutkan namanya, "Senang bertemu dengan mu, tuan Heisenberg."
"Senang bertemu dengan mu kembali, nona ....?"
"Arunika, nama saya Arunika."
"Baiklah, Arunika. Sedang apa kau berada di sini? Mencari stok makanan? Atau hanya untuk hiburan?" Tanya Samuel pada Arunika, hanya basa-basi untuk menyapu ketegangan di antaranya.
Arunika tersenyum kecil, "Hanya untuk hiburan, bosan sekali rasanya terus berada di rumah."
Samuel mengangguk, menyetujui apa yang Arunika katakan. Sebab, manusia mana yang tak bosan terus berada di rumah? Belum lagi jika hanya menetap sendiri, hanya kesunyian yang menemani.
"Kau, suka baca buku, Arunika?"
Mendengar apa yang Samuel tanyakan, Arunika menghela nafas, "Tidak, saya tidak bisa membaca buku. Saya pikir itu hal yang wajar, sering terjadi pada para pribumi yang lain."
"Jangan jadikan penurunan sebagai hal yang wajar, Arunika. Setiap manusia masih memiliki hak untuk mendapatkan pengetahuan yang cukup. Pengetahuan adalah hal yang kekal dalam hidup, terlebih jika kau membantu orang lain dengan hal itu."
"Toh faktanya, bangsa mu memang tak memberikan hak yang kau sebut itu. Belum lagi, wanita-wanita pribumi rasanya hanya hidup untuk melayani nafsu lelaki. Mereka tidak akan seperti itu jika mendapatkan pendidikan yang cukup," Ucap Arunika dengan lantang, tanpa rasa gentar sedikit pun dengan pria di sampingnya.
Terkatup mulut Samuel mendengar pernyataan lantang Arunika. Perempuan ini sungguh berani, "Ya ... Itu kesalahan mereka. Kau tahu, beberapa pria khawatir jika melihat perempuan cerdas. Mungkin itu salah satu penyebab mereka memperkecil kesempatan perempuan untuk berpendidikan."
"Tetapi pemimpin mu adalah wanita."
"Ratu Wilhelmina terlahir di keluarga Kerajaan, wajar saja mendapatkan pendidikan yang cukup. Tak ada yang dapat menghentikan dan membantahnya."
Menghela nafas, hanya itu yang dapat Arunika lakukan. Ia merapihkan beberapa helai rambutnya yang tertiup angin malam, serta bangkit dari duduknya, "Saya pikir saya akan beranjak pergi, Samuel. Selamat malam."
Samuel mengangguk dan memberikan senyuman pada Arunika, "Selamat malam, Arunika."
Arunika melangkahkan kakinya menjauhi Samuel dan keramaian sekitarnya. Ia kembali ke pijakan awal di mana sebelumnya ia dan adiknya berada. Selang beberapa waktu, Mahawira datang dengan senyuman terpatri di wajah manisnya, entah sebab apa.
"Aneh kau, Wira. Datang-datang tersenyum seperti orang gila," Cetus Arunika dengan tajam. Lagi pula sudah tak heran Mahawira dengan perilaku sang kakak.
"Yeh! Tadi Wira habis bercengkrama sama teman. Masa iya nda boleh senyum, kakak tuh yang aneh. Marah saja terus!" Mahawira berjalan mendahului kakaknya.
"Halah kamu itu memang aneh, bukan hanya saat ini, sering kamu seperti itu."
"Toh senyum itu ibadah. Nanti kalo Wira nangis, marah-marah, salah lagi," Mahawira berdecih.
Matanya yang indah menatap netra sang adik dengan rasa tak suka, namun ia hanya terdiam dan mengacuhkannya.
Sepanjang perjalanan kembali, banyak sekali kendaraan maupun insan yang berlalu-lalang. Tak jarang Arunika melihat beberapa pekerja pribumi bahkan anak-anak yang berdagang, mengangkat berat beban dagangannya hanya untuk bertahan hidup. Padahal hari itu sudah gelap, meski rembulan masih setia menemani.
Saat mereka berdua berjalan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, tak ada angin ataupun hujan tiba-tiba Mahawira mengatakan suatu hal yang membuat hati Arunika terenyuh, "Kalau saja semesta mengizinkan kita untuk memiliki harta yang cukup, Wira akan memberikan sebagian harta Wira kepada yang lebih membutuhkan."
Tak ada hal yang dapat Arunika bantah dari kata yang Mahawira ucapkan. Sungguh betul, andai saja mereka memiliki harta yang cukup banyak untuk disumbangkan, mereka tak segan berbagi dengan pribumi lainnya. Sangat disayangkan mereka salah satu pribumi yang membutuhkan itu.
Arunika memperhatikan beberapa pekerja pribumi yang masih saja lanjut bekerja tanpa henti meski langit sudah gelap, "Ya, Mahawira. Kau berdo'a saja agar Tuhan melindungi dan memberikan kecukupan untuk kita semua. Sebab, Tuhan tak pernah tidur, ia akan selalu mendengar do'a kita. Meski do'a itu akan terwujud seribu tahun lamanya."
Pandangan Mahawira masih belum terlepas dari para pekerja pribumi itu, sebelum ia kembali menatap kakaknya, "Ibu pernah bilang ... Bahwa Tuhan selalu tahu yang terbaik."
Seolah kalimat itu memancing senyuman di bibir Arunika, senyuman tulus terlihat jelas di wajahnya. Arunika mengangguk, sembari kembali mengingat kenangan ia bersama sang Ibu.
"Bagaimana ya kira-kira keadaan Ibu dan bapak sekarang, Wira?" Bukan pertanyaan yang seharusnya Arunika tanyakan, namun, kesepian saat mereka melangkahkan kaki untuk kembali ke rumah sangat kuat. Sedikit percakapan terdengar tak masalah.
"Wira tak berharap lebih mengenai itu. Jika memang mereka masih hidup, Wira berharap mereka baik baik saja."
"Ya ... Aku yakin pada Tuhan. Mereka akan baik-baik saja," Arunika memberikan senyuman kecil pada adiknya.
Sorak ramai di tempat yang beberapa waktu lalu mereka kunjungi sudah tak terdengar. Hanya tersisa hening dan hembusan angin malam yang sejuk.
"Sebenarnya, siapa pria asing itu, kak Runi?" Tatapan Mahawira penuh rasa penasaran pada Arunika.
"Pria asing? Siapa?" Arunika mengernyitkan dahinya.
"Yang sore tadi berkunjung, mengantar kakak pulang."
"Oh, Marcus? Hanya seseorang yang aku kenal, sepertinya. Kami belum terlihat seperti teman," Arunika sedikit terkekeh.
Mahawira menghembuskan nafas, setidaknya ia sudah tidak begitu risau mengenai kakaknya dan pria itu, "Bagus jika memang betulan."
"Memang betul, sejak kapan aku berbohong."
"Iya, iya ... Kak Runi besok kembali bekerja?"
"Sepertinya iya, kau?"
"Wira juga, kalau memang keadaan Wira baik-baik saja. Selama Wira mampu, kenapa tidak?" Ucap Mahawira dengan sedikit intonasi bangga.
"Tak sia-sia rupanya aku selalu mengajari mu untuk pantang mundur," Arunika menyeringai pada Mahawira.
"Faktanya bukan hanya karena kak Runi. Wira memang sudah seperti ini sejak kecil."
"Terserah apa kata mu. Ayo kita harus cepat kembali sebelum terlalu larut malam."
"Iyaa kak Runii!"
Mereka berdua lanjut berjalan menuju tempat tinggal mereka, tempat di mana mereka dapat merasakan sedikit rasa nyaman. Tentang keamanan, belum dapat mereka pastikan. Setidaknya 'gubuk' mereka masih terasa hangat, sebab rasa kasih sayang di antaranya masih tetap kuat meski bapak dan ibu sudah tak ada bersama mereka.
₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪₪
© Bernostoice, 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
CANDRAMAWA TANAH HINDIA BELANDA
Ficción histórica"jika memang semesta dan tuhan tak sudi mempersatukan kita, lalu mengapa mempertemukan kita?" "Terkadang kehidupan memberikan rasa sakit pada hati dan juga pikiran hanya untuk dijadikan pelajaran hidup." Candramawa tanah Hindia Belanda: Romance amid...