PROLOGUE

19 4 0
                                    

Seperti sedang mencemoohku, malam ini terasa lebih cerah dari biasanya. Malam yang biasanya kelam tak bersuara, kini dihiasi dengan cahaya dari bulan purnama kelabu yang indah.

Angin yang bersemilir menepuk pipiku halus, sedikit menggelitik, namun aku tak kuasa untuk tertawa. Pada saat itu, duniaku tampak tak berwarna meski cahaya lampu ibu kota yang tak pernah tidur, menghiasi jalanan yang berada 40 lantai di bawah kakiku.

Aku hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bersandar pada pagar rooftop dari apartemen yang sedang aku huni, di temani nada dering di earphone yang tak kunjung terhubung.

Aku yang menghabiskan masa kecilku di apartemen ini, sudah menemukan banyak celah menuju tempat yang tak umum. Termasuk rooftop ini. Tempat yang kujadikan kawasan pribadi karena tak seorangpun yang cukup waras untuk datang kesini tanpa alasan.

Lamunanku terputus setelah bunyi klik pada sambungan telefon yang terus ku lakukan sejak seminggu yang lalu.

Dari ujung sana, aku bisa mendengar suara desahan putus asa dari seorang wanita yang ku kenal baik suaranya.

"Seriously, lo ga ngerti kata nyerah, ya?" gerutu wanita yang ada di ujung sana.

"Di mana dia? Gue mau ngomong." balasku datar, tak punya cukup tenaga untuk memulai perdebatan yang tidak berarti.

Wanita itu tertawa sinis, sedikit mengejek, "Lo nelpon dia, dan gue yang angkat. Paham kan artinya apa?" dengus wanita itu, "memang benar, ya? Kalau cewek udah gak punya harga diri itu, mau nelpon tunangan orang pun gak akan malu."

Alisku berkedut hanya dengan mendengar ucapan tidak tahu malunya. Emosi mulai meluap dari dadaku, mengingat ketidakadilan yang selama ini ku dapat, "Semua itu ulah lo, kan?" ucapku mencoba terdengar tenang, namun sepertinya gagal, "Sejak awal, sejak pertama kali gue putus dengan Demian, lalu Austin dan semua foto itu. Semua itu ulah lo!" teriakku tak terkendali. Setelah sekian lama mengering, air mataku akhirnya menetes kembali.

Wanita itu terkekeh, "Sekarang lo menyalahkan semua perbuatan lo ke gue?"

"Lo gak perlu munafik lagi. Gue udah punya buktinya." tekanku seraya melirik hasil tracking nomor yang baru ku dapatkan beberapa saat yang lalu.

Sejenak suasana menjadi hening. Yang bisa ia dengan hanya bunyi angin yang meniup microphone-nya.

"Ya, semuanya rencana gue." balas wanita itu singkat, tanpa nada penyesalan sedikitpun, "terus kenapa? Semua yang gue lakukan cuma menaruh umpan. Dan siapa yang makan umpan itu?"

Aku terdiam, tak bisa menemukan pembelaan.

"Ya, Grace. Lo yang makan. Lo yang melakukan. So, take your time and enjoy what you sow." lagunya dan mengakhiri panggilan tanpa menunggu responku.

Tapi siapa peduli?

Apa yang ia katakan memang menyakitkan, namun itulah kenyataannya. Aku terlalu sibuk menyalahkan keadaan dan orang lain tanpa sempat berkaca.

Orang-orang tidak akan bertanya apa yang sudah kulakukan untuk menghindari itu. Tidak peduli meski aku sudah melakukan yang terbaik, mereka hanya tahu bahwa aku gagal. Gagal dalam mengendalikan perasaanku.

Sekarang tidak ada lagi yang tersisa. Semua orang sudah membuangku. Tidak ada lagi tempat untuk pulang. Tidak ada lagi masa depan. Tidak ada lagi teman untuk mendengarkan.

Semuanya menghilang di hempas keegoisanku.

Aku melangkah dengan kaki yang berat, melewati pagar pembatas. Menengok ke bawah pada manusia-manusia yang mencemoohku, kini tampak kecil dan tak berarti.

Aku sedikit terkekeh, tapi bukan karena aku senang. Para manusia yang bahkan tak bisa ku lihat wajahnya itu, mampu mendorongku sampai sejauh ini. Mungkin di mata mereka, aku pun sama kecil dan tak berartinya.

Tapi apa benar semua ini salahku?

Bayang-bayang dari mereka yang mendorongku hingga sejauh ini, menghentikan langkahku. Mereka yang tak memberiku pilihan, yang memanfaatkan kebodohanku, memanfaatkan perasaanku. Apa aku rela menyebut mereka 'tak bersalah'?

"Jika kamu ingin melompat, lakukan sekarang." ucap sebuah suara dari belakangku yang tak ku tahu ada di sana sejak kapan.

Aku menoleh untuk menemukan seorang lelaki dalam celana training abu-abu kusam dan kaos hitam longgar dan melar di bagian kerah. Ia berdiri beberapa langkah di belakangku, dengan sebatang rokok yang masih panjang, bersandar pada tiang besi. Kacamata tebalnya membuatku tak bisa melihat wajahnya di tempat yang minim cahaya seperti ini.

"Siapa kamu?" tanyaku penasaran.

Ia menghisap rokoknya panjang dan meniupnya santai, tak terganggu dengan kepulan asap yang tersapu angin di wajahnya, "Kenapa aku harus memberitahu namaku pada orang yang ingin mati?"

Caranya berbicara mengingatkan aku dengan mesin translate otomatis dari internet. Aku memutar tubuhku menghadapnya, berharap bisa melihatnya lebih jelas, "Apa yang kamu lakukan di tempat seperti ini?"

"Sama sepertimu. Mungkin." balasnya tidak yakin, "Sayangnya aku tidak sebodoh itu. Mungkin setelah melihatmu, aku bisa melakukannya juga. Atau justru mengurungkan niatku?"

Ucapannya tajam dan menyebalkan disaat yang sama, namun dari apa yang ia katakan, mungkin ia memiliki nasib yang tidak jauh berbeda denganku.

"Aku tidak bodoh, dan kenapa aku harus melompat? Apa yang kudapat?" sahutku, melompat dari pembatas, menjauh dari tepi bangunan, "Ketika aku memutuskan untuk melompat, apa yang terjadi dengan mereka yang telah mendorongku? Mereka hanya akan berkata 'oh, dia sudah mati' dan akan kembali pada kehidupan mereka masing-masing seolah aku tidak pernah ada. Dunia tetap berputar dan waktu terus berjalan. Setidaknya, mereka harus merasakan sedikit yang kurasakan sebelum aku mati, dengan begitu semuanya impas, bukan begitu?"

Dengan menutup sedikit jarak kami, aku bisa melihat seringai kecil di balik tangannya yang memegang rokok dengan elegan, "Mau sebatang?"

"Aku tidak merokok." sahutku cepat seraya melangkah mendekatinya, "Namaku Gracia."

Ia menatapku dengan seksama. Mungkin ia juga baru bisa melihat wajahku dengan jelas sekarang. Di jarak ini, aku bisa melihat kantung mata tebal dan hitam di balik kacamata tebal itu.

"Sejak tadi aku bertanya-tanya 'kenapa wajahnya terlihat tidak asing?'." Ia menunjukku dengan ujung rokok yang terbakar menghadapku, "Kau model yang dirumorkan itu."

Aku menurunkan tangannya yang tidak sopan itu dengan tenang, "Lalu?" tanyaku seraya menatapnya tajam, mencoba membaca wajahnya.

Ia hanya menatapku tanpa banyak ekspresi yang berubah. Masih dengan mata malas yang mengantuk, "Tidak ada. Aku tidak peduli." timpalnya sambil menghisap rokoknya kembali, "Terkadang media bisa jadi sangat mengerikan." gumamnya.

Aku terdiam sejenak. Entah bagaimana sebuah kalimat bisa menjadi terdengar begitu menenangkan, seolah ia berada di pihakku meski ia tidak mengenal siapa aku. Mungkin sama sepertiku. Lelaki ini melihat dirinya dalam diriku.

"Jadi, kau skandal itu benar?" tanya lelaki itu penasaran.

"Kau biang, kau tidak peduli?"

"Siapa yang tidak mau tahu berita panas kalau ada narasumbernya di depan matanya?" Ia terkekeh.

Meski cara bicaranya menyebalkan, namun ia bisa menularkan tawa bodohnya padaku. Aku menghapus sedikit air mata pada sudut mataku sebelum bertanya, "Kau mau mendengar ceritaku?"


To be continue...


Hallo! Selamat datang di novel pertamaku.

Novel ini mencaritakan seputar gadis bernama Gracia yang mengalami titik terpuruknya setelah mengorbankan masa kecilnya untuk memanjat karirnya.
Seperti judulnya 'Fall from GRACE' yang artinya 'Turun Daun' atau 'Tidak lagi disukai', novel ini menggambarkan kejatuhan karir, pertemana, sosial dan percintaannya secara bersamaan dan bagaimana Gracia akan kembali bangkit dari titik terendahnya.
Dengan Demian, Austin dan Axelle sebagai pioneer dari hidup Gracia.

Like dan komen, sangat di hargai.
Bisa juga kritik dan saran yang membangun.

Selamat menikmati! 

Fall from GRACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang