BAB II, Aku Tanpamu

7 3 0
                                    

Pagi itu matahari belum lama menyingsing dari ufuk barat. Jarum kecil dari jam hitam metal yang melingkar di pergelangan tangan Freya yang rampinghhghskjs menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Terlalu pagi untuknya datang ke studio setelah malam panjang di kelab semalam. Sudah menjadi kebiasaan Freya untuk datang lebih awal jika ia yakin bahwa ia akan terlambat pada hari itu. Meski tampak lembut, Miss Evelyn bukanlah orang yang menganggap enteng keterlambatan. Yang jelas bukan pula seseorang yang ingin ia cari perkara dengannya.

Langkah lunglainya membawanya menuju studio utama dengan lambat. Ia sudah membayangkan sofa kusam di sudut ruangan disana untuknya berbaring sembari menunggu yang lain datang. Mata merah dan berairnya seolah tidak sanggup lagi menunggu studio sepi dan sejuk karena AC yang sengaja ia nyalakan semalaman. Tanpa sepengetahuan Miss Evelyn tentu saja. Ia bahkan sudah membawa selimutnya sendiri dari rumah.

Sepatu kets yang memijak lantai dua di mana studio utama berada, namun gema langkah dari heels yang memijak pada lantai secara berirama telah mengalihkan rasa kantuknya.

Seseorang sudah di sini?
Pikir Freya keheranan karna ini pertama kalinya ia di dahului jika ia sudah berniat datang awal.

Freya memeriksa kembali jam tangan di pergelangan tangannya dan jam masih belum beranjak jauh dari terakhir ia memeriksanya.

Freya berjalan mengikuti suara langkah kaki yang bergema itu hingga membawanya ke studio utama, tempat awal tujuannya.

Dengan sigap Freya menggeser pintu di hadapannya, khawatir itu mungkin bukan bagian dari agensinya karena semua orang di sini tahu bahwa studio ini tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Tapi ekspresinya berubah begitu melihat Gracia di sana, sudah berlatih berjalan di atas mini catwalk yang sudah terpasang di sana sejak tiga hari lalu.

"Grace?" pekik Freya nyaris berteriak, "ini masih jam setengah tujuh."

Menyadari kehadiran Freya, Grace menghentikan aktivitasnya. Nafasnya sedikit terengah. Entah sudah berapa lama ia ada di sini, "Morning, Frey."

"Morning my ...," Freya menghentikan dirinya sebelum ia mengatakan sesuatu yang akan ia sesali kelak dan bergegas menghampiri Gracia, "ada apa? Lo gak tidur di sini semalaman, kan?"

Gracia berjalan menjauh dari Freya, berharap ia akan berhenti mengoceh, namun alih-alih berhenti, Freya justru terus mengikuti langkahnya yang tidak berarah. Menyerah dengan omelan Freya, Gracia menempatkan dirinya di sofa merah yang warnanya mulai pudar di sudut ruangan, melepas heels-nya yang super tinggi dan runcing. Menunjukan goresan-goresan lecet akibat terlalu lama memakainya.

"Grace!" Freya berlari kecil menghampirinya, berlutut di hadapannya untuk memeriksa luka-luka itu dari dekat. Freya sadar bahwa ada hal tidak beres dengan sahabatnya itu, namun ia memutuskan untuk berhenti mengoceh dan fokus mengobati luka tersebut.

Selama mereka mengobati luka itu, suasana menjadi hening. Hanya bunyi nafas yang lolos dari bibir mereka masing-masing dan bunyi detik jam dinding yang tergantung tidak jauh dari mereka berada.

Gracia sendiri tidak tahu sejak kapan kakinya menjadi seperti ini. Sejauh yang ia ingat, ia tidak bisa tenang berada di apartemennya. Perasaan kecewa, sedih dan lelah berkumpul menjadi satu, namun matanya sama sekali tidak bisa terpejam. Bayang-bayang Demian selalu terlintas di benaknya setiap kali ia memejamkan mata.

Gracia berharap dengan menyibukan dirinya dengan sesuatu yang ia sukai dan lelah karenanya, bisa membuatnya tidur lelap tanpa perlu memikirkan Demian. Tapi kelihatannya itu semua sia-sia.

"Gue putus sama Demian." ungkap Gracia pada akhirnya, menyerah dengan keheningan yang menyesakkan dada dan sedikit demi sedikit membunuhnya.

Tangan Freya yang saat itu masih berada di kaki Gracia tiba-tiba membeku. Wajahnya perlahan menatap ke arah wajah Gracia, di sana Freya hanya mendapat wajah seorang gadis yang lelah dan putus asa. Matanya memerah dan membendung air mata yang bisa saja bergulir kapan saja.

Freya mendesah iba dan menarik Gracia ke dalam pelukannya. Meski banyak yang ingin ia tahu, namun ia menahannya untuk sementara. Saat ini yang Gracia butuhkan bukanlah caci maki atau sumpah serapah untuk Demian. Tidak. Gracia bukan wanita seperti itu.

Freya tahu seberapa dalam cinta Gracia untuk Demian. Ia di sana saat mereka berdua bahkan belum mengenal satu sama lain hingga akhirnya memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih di tahun terakhir Demian di universitas.

Betapa sulit bagi Gracia yang hanya memperdulikan karirnya yang sudah ia bangun sejak usia muda, untuk bisa sekedar melihat Demian sebagai seseorang yang mencintainya. Dan bagaimana Demian harus menurunkan ego-nya yang tinggi untuk sekedar bicara dengan Gracia. Untuknya bisa mengambil keputusan seperti ini, pasti bukanlah karena hal sepele.

Wajah Gracia terbenam sepenuhnya pada bahu Freya. Ia bisa melihat punggung Gracia bergetar menahan tangis. Hanya usapan lembut padanya mampu membuat Gracia terisak tidak karuan. Kesedihan yang sejak malam tadi tertahan akhirnya keluar dalam pelukan Freya. Jari lentiknya meremas kaos hitam berbalut jaket parasuit Freya.

Setelah setengah jam penuh air mata, Gracia akhirnya mampu menceritakan kejadian yang ia alami sejak malam tadi. Tentang pesan dari nomor misterius dan bekas kecupan dari wanita yang Gracia temukan di tengkuk dan tubuh Demian. Tentang bibir manis Demian yang tidak lagi mampu menutupi kebusukan yang telah ia sembunyikan darinya selama ini. Tentang beratnya jam-jam yang ia lalui sejak perpisahan mereka.

Gracia bisa merasakan matanya mulai panas hanya dengan menceritakan kembali pengalaman itu, dan di sisi lain Freya hanya diam, mendengarkan.

"Sekarang apa rencana lo?" Tanya Freya setelah berpikir beberapa saat, memilah kata dengan hati-hati karena melihat kondisi Gracia yang terlihat bisa pingsan kapan saja karena kelelahan dan kurang tidur. Khawatir sedikit ucapannya yang meleset, bisa membuat Gracia semakin hancur.

Gracia terdiam memandang lantai dengan kosong. Matanya yang bengkak dan merah membuat Freya kesulitan memandang langsung ke matanya.

Setelah beberapa saat keheningan itu berakhir jua. Gracia mengangkat pandangannya ke langit-langit, pertanda ia mulai bisa menata pikirannya dan merencanakan masa depannya.

"Gue bakal ikut casting Miss Evelyn tiga bulan lagi." Gracia memutuskan.

Freya memeriksa jadwal casting dari agensi mereka di ponselnya, mencari tahu project apa yang Gracia maksud. Keheranan, adalah reaksi Freya yang Gracia tangkap sebelum mata mereka akhirnya bertemu, "Paris Fashion Week?" Freya memastikan, "Bukannya lo bilang gak akan ambil itu?"

"Dulu gue gak mau ambil karena Demian gak setuju," ucap Gracia memainkan ujung rambutnya, gelisah, "tapi sekarang keadaannya sudah berubah." Gracia menatap mata Freya mantap. Meski senyum kelu tergambar jelas di bibirnya, Freya hanya bisa memberi senyuman terbaiknya dan tepukan semangat di punggung.

"You can do it!"


To be continue...

Fall from GRACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang