BAB IV, Akhir Bahagia yang Diimpikan

7 3 1
                                    

Demian terdiam di hadapan Gracia, mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Gracia tanpa memancing emosinya.

Beberapa kali ia tampak ingin mengatakan sesuatu namun kembali menelannya, enggan untuk menatap Gracia langsung ke mata.

Hanya melalui gelagatnya, Gracia tahu betul apa yang Demian coba sampaikan, dan ia membenci itu. Itu membuatnya hubungannya dengan Demian tidak akan pernah selesai jika ia terus mencoba mengingat semua tentang Demian. Kenyataannya, meski ia mencoba, Demian tidak pernah pergi dari kepalanya, membuatnya lelah secara mental.

Demian datang dengan baju kasual. Jaket baseball hitam dan jeans kusut yang kelihatannya ia ambil secara acak dari atas sofa, entah sudah berapa lama mereka di sana. Gracia bertanya-tanya, kenapa ia kembali dengan style saat mereka masih kuliah? Sudah sangat lama Demian berhenti memakai pakaian terlalu kasual saat mereka bertemu di luar.

Lalu ia teringat tentang Freya yang tidak bisa menyelesaikan ucapannya siang tadi. Bisa Gracia tebak alasan Demian datang menemuinya setelah sekian lama mereka putus kabar.

Gracia mengepalkan tangannya, mengumpulkan semua tekad yang ia bangun selama mereka tidak bertemu sebelum akhirnya berjalan mendekatinya, berniat masuk ke dalam apartemennya dengan mengabaikannya. Tentu saja Demian tidak membiarkannya lewat begitu Gracia mengeluarkan ID smart lock-nya.

"Pergi Demian. Gak ada lagi yang bisa kita omongin." Terdengar dari suaranya bawa Gracia mencoba menahan emosinya.

"Kamu salah, Grace. Sejak terakhir kita bicara, kamu bahkan gak mau mendengar penjelasan apapun dari aku." Demian pun ikut menahan suaranya, tidak ingin menimbulkan keributan tak diinginkan.

"Karena semuanya sudah jelas," Grace menatap tajam mata Demian, "apa lagi yang harus dijelasin?"

Melihat Gracia yang, sekali lagi, hampir hancur dengan bendungan air mata yang tertahan di matanya, Demian melunak. "Grace, please?" mohon Demian.

Gracia mencoba mengeraskan kembali hatinya. Demian sangat tahu bagaimana menghadapi Gracia, dan ia tidak mau itu terulang lagi. Tidak lagi. Meski hatinya menjerit, memohon untuk setidaknya mendengarkan apa yang ingin Demian katakan, namun Gracia menepis itu semua. Ia tidak ingin semua usahanya, runtuh hanya dalam beberapa menit bicara dengannya.

Gracia menyingkirkan Demian dari hadapan pintunya dan menggesek ID di pintunya, namun kembali tertahan karena Demian menggenggam tangannya, mencegahnya untuk masuk.

"Demian Carlos!" tegas Gracia mulai kehilangan kesabaran.

"Maafin aku!" ujar Demian, berhasil membuat Gracia bungkam, "aku tahu aku salah. Tapi Grace, please, dengerin aku dulu."

"Aku maafin kamu." jawab Grace singkat, "karena itu, berhenti muncul dihadapanku lagi."

"No, Grace!" Gracia kembali melenggang pergi, namun sebelum Demian menghentikannya sekali lagi, Gracia menoleh padanya.

"Aku gak tahu apa yang Freya bilang ke kamu, tapi aku baik-baik saja," Gracia menatap mata Demian yakin, "ada atau tidak adanya kamu."

"Tapi nggak untuk aku." balas Demian cepat.

Gracia memalingkan tubuhnya, menyembunyikan kenyataan bahwa ia mulai gentar. Sebisa mungkin Gracia menahan bibirnya untuk mengatakan hal yang tidak ingin diketahui oleh Demian. Menggigit bibirnya hingga kelu. "Aku gak peduli."

Getaran di suara Gracia cukup membuat Demian lega. Setidaknya ia tahu bahwa Gracia tidak meninggalkannya sepenuhnya. Atau setidaknya belum.

"Ku kira aku bisa tanpa kamu," Suara lembut Demian terdengar semakin mendekat dengannya hingga titik Gracia bisa merasakan nafasnya di belakang kepalanya, "tapi selama aku jauh dari kamu, selama itu pula aku merasa ada yang hilang."

Gracia bisa merasakan jari-jari tangan yang dingin merayap dengan perlahan, menghampiri tangan Gracia yang tergantung di udara. Gracia tidak bisa mengelak. Sejujurnya ia bahkan tidak membencinya. Ia sangat merindukan jemari Demian yang dulu selalu bertemu dengan jemarinya. Seolah kembali bertemu dengan pasangannya, ia merasa kembali ke rumah yang ia kenal. Perasaan rindu yang selalu ia coba benam di dalam hatinya kini menyembur bagai lahar yang sudah jutaan tahun tertimbun di bawah permukaan bumi.

Ia merasa sangat menyedihkan namun kehangatan itu seolah sangat tepat. Matanya kembali memanas. Ia tahu ia bisa menangis dan memeluk Demian saat itu juga, namun tidak ia lakukan.

Tangan besar Demian menangkup tangan Gracia sepenuhnya, membawanya menuju wajahnya dan memberi kecupan lembut di pergelangan tangan Gracia, membuatnya tersentak kaget namun tidak menarik kembali tangannya. Jantungnya berpacu cepat seperti saat pertama kali Demian melakukan hal manis padanya dulu. Perutnya terasa tergelitik seperti pertama kali ia jatuh cinta pada Demian.

"Maafin aku...," Demian berbisik selagi bibirnya masih menempel pada pergelangan tangan Gracia, "aku cuma pingin jaga kamu."

Gracia terdiam dan menarik kembali tangannya, "Apa maksud kamu?" tanya Gracia ketus. "Jaga aku dari apa?"

Demian sama sekali tidak terlihat marah atau kecewa seolah ia tahu reaksi Gracia tidak akan baik. Demian memandang Gracia kosong, matanya menerawang jauh ke dalam mata Gracia, enggan untuk menjawab. Tapi pada akhirnya ia tahu sudah saatnya ia bicara pada Gracia tentang ini.

"Dari aku." jawab Demian singkat.

Gracia tertegun. Bukan karena tersentuh, lebih tepatnya ia tidak percaya Demian akan mengeluarkan statement yang tidak masuk akal. "Seriously, Demian? Kamu pikir aku akan percaya omong kosong begitu?" dengus Gracia mengejek.

Gracia membalikkan badannya, hendak pergi meninggalkan Demian ketika suara Demian kembali menggapainya. "Aku gak berharap kamu percaya aku, tapi aku berharap kamu mau dengar penjelasan aku." ucap Demian, kali ini tak berusaha untuk menghentikan Gracia.

Gracia melirik ke arah Demian melalui bahunya. Dengan mata yang penuh harap, Demian hanya berdiri di sana, menunggu Gracia siap mendengarkannya.

Gracia membalikan kembali tubuhnya dan menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya, menunggu Demian melanjutkan apapun omong kosongnya.

Demian tersenyum kecil atas persetujuan Gracia. "Aku gak akan buang banyak waktu kamu, aku janji." Demian memulai, "Kamu mungkin sudah menduga, tapi aku cuma mau jujur bahwa dugaan kamu benar. Aku selingkuh. Aku tidur dengan banyak perempuan."

Meski Gracia tahu, meski Gracia sudah membayangkan semua kemungkinan buruk, namun mendengarnya langsung dari mulut Demian adalah dua hal yang berbeda. Hatinya yang belum lama ini mulai berdegup lagi, kini kembali hancur berkeping-keping. Menolak untuk menunjukan sisi lemahnya, Gracia memalingkan wajahnya dari Demian. Tangannya yang bertumpu di depan dadanya, tanpa sadar membenamkan jarinya pada tangannya yang lain.

"Kamu tahu berapa banyak perempuan yang selalu berusaha menarik perhatianku...," lanjut Demian, tidak memberi ruang untuk Gracia bernafas, "aku yang lemah. Maaf Grace."

Tentu saja Gracia tahu. Hal sama terjadi juga padanya, tapi apa selingkuh adalah jawaban? Gracia tidak bisa menerima pengakuan Demian dan Demian sadar betul akan hal itu.

"Ada titik di mana aku membutuhkan mereka, karena..."

"Karena kamu gak bisa dapat itu dari aku?" ejek Gracia.

Demian hanya tertunduk, tidak mampu mampu menjawab jawaban yang sudah jelas.

Pada akhirnya mata Gracia tidak bisa lagi menampung air matanya yang sudah membendung tinggi. Gracia tertawa pilu. Menertawakan dirinya yang bersedia mendengar alasan bodoh Demian dan kini ia menyesalinya. Seharusnya ia pergi begitu ia melihat Demian di depan apartemennya.

"Klasik." balas Gracia dengan nada mencemooh, "Terus apa? Kamu mau aku tidur sama kamu supaya kamu gak selingkuh lagi?"

Sejenak Demian terdiam sebelum memulai kembali, "Semua cowok ingin perempuan terbaik untuk jadi pasangan hidup mereka yang kekal," Mata Demian tertuju dalam pada mata Gracia yang berair, "dan bagiku wanita itu kamu."


To be continue...

Fall from GRACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang