BAB III, Hati Tak Bertuan

6 3 1
                                    

Setelah melanjutkan hari yang terasa lebih panjang dari biasanya, Gracia akhirnya kembali lagi ke apartemen kosongnya. Apartemennya memang selalu kosong, tapi malam ini terasa lebih kosong. Sama seperti hatinya.

Ia melempar tas jinjing dan jaketnya sembarang di atas sofa yang ia berada di tengah ruangan yang nyaris kosong, minim perabot karena Gracia jarang berada di apartemen. Kakinya membawanya menuju kamar yang hanya berjarak beberapa langkah dari pintu masuk dan melempar tubuhnya lunglai ke atas tumpukan baju yang masih tergeletak di sisi kasur.

Kepalanya mengatakan bahwa ia harus bangkit, mandi, makan dan tidur seperti biasa, tapi juga tidak seperti biasa karena ia harus melewatkan rutinitasnya untuk menelefon Demian sebelum tidur.

Lagi-lagi dadanya tertusuk sesuatu yang tak kasat mata. Matanya mulai panas lagi hanya dengan memikirkan lelaki bodoh yang bahkan mungkin sedang bersenang-senang dengan perempuan-perempuan lain di luar sana.

Ia membenamkan wajahnya ke dalam tumpukan baju bersih itu, berharap air matanya tidak keluar dengan sia-sia. Ia sudah lelah menangis dan ia sudah muak menangisi lelaki tidak tahu diri itu. Namun di sudut hatinya ia tahu, tiga tahun bukanlah waktu yang lama, tapi tidak pula sebentar. Waktu yang mereka habiskan untuk saling mengenal dan menerima satu sama lain bukanlah khayalan. Mereka nyata dan ia sudah melalui itu semua. Siapa yang menyangka orang yang menemani ia melewati itu semua justru menjadi orang pertama yang mengkhianatinya?

Memang terdengar aneh. Di umurnya yang sudah bukan lagi remaja, di lingkungan kerjanya yang glamour, Demian adalah cinta pertama Gracia. Selain karena cinta bukanlah prioritas utamanya, karirnya lebih bisa menarik perhatiannya dibanding percintaan. Tapi Demian berbeda. Ia datang dalam kehidupan Gracia seperti angin segar di musim semi. Ia tidak membencinya, namun tidak juga tertarik padanya. Hubungan mereka terasa sangat natural hingga mereka melupakan tembok masing-masing.

Gracia tidak pernah menyadari bahwa Demian sudah memasuki hatinya sedalam ini. Terkadang ia merasa takut akan perasaan yang baru ia rasakan, tapi tidak jarang juga ia menikmati roller coaster perasaan itu.

Dan yang ia rasakan saat ini adalah bagian dari roller coaster itu. Ia akan terbiasa. Lukanya akan sembuh dan ia bisa menjadi Garcia yang lebih baik lagi. Ia harus menjadi lebih baik sehingga pria brengsek itu menyesal, berlutut dan memohon maaf padanya. Atau setidaknya itu yang ia harapkan.

Sehari seperti seminggu, seminggu terasa sebulan. Hal yang Gracia kira akan membaik seiring berjalannya waktu justru sedikit demi sedikit membunuhnya. Dalam hatinya ia selalu bertanya 'Kapan rasa sakit ini menghilang? Kenapa begitu lama?'.

Tidak peduli seberapa keras ia mencoba melupakannya, menyibukkan diri dengan pekerjaan hingga Miss Evelyn harus memohon padanya untuk beristirahat, tapi Demian tidak kunjung pergi dari kepalanya. Luka di hatinya bahkan masih terbuka lebar. Ia pikir tujuannya sudah jelas, tapi kenapa dirinya merasa orang yang akan memohon untuk mereka kembali bersama justru dirinya sendiri?

'Aku akan membuatnya menyesal'
'Aku akan membuatnya berlutut memohon maaf dariku.'
'Aku akan membuatnya berlutut, memohon untuk kembali padaku.'
'Aku akan membuatnya ingin kembali padaku.'
'Aku ingin dia kembali padaku.'
'Kembalilah padaku...'

Sebulan setelah mereka berpisah, Gracia tidak lagi membuat dirinya bekerja seperti orang gila. Justru ia hanya diam di sudut ruangan dengan tatapan kosong, membuat Freya khawatir setengah mati hingga harus menelponnya tengah malam untuk memastikan ia tidak melakukan tindakan bodoh.

"Grace." Suara Freya menarik paksa kesadarannya untuk kembali pada tubuh Gracia.

Gracia menatap wajah khawatir Freya, mengerti betul apa yang ingin ia katakan. Ia mengembalikan gestur tubuhnya selayaknya orang normal sebelum menjawab Freya, "Gue gak apa-apa."

"No, you're not," Nada bicara Freya terdengar sedikit emosi namun ia mencoba menahannya, "lo tau lo udah kaya mannequin, bengong, diam di pojok, kaya gak punya jiwa."

Gracia hanya terdiam, memalingkan wajahnya dari Freya tanpa bisa menjawabnya karena ia tahu Freya benar.

"Cerita Grace," Freya mendorong sedikit bahu Gracia, berharap ia mau menatapnya, "bukan apa yang lo alami, tapi apa yang lo rasain!"

Gracia akhirnya memberanikan diri untuk menatap Freya. Bisa ia lihat kekhawatiran dan rasa kecewa di matanya. Mungkin ini pertama kalinya Freya melihat sosok Gracia yang begitu menyedihkan. Gracia yang ia tahu bukanlah orang yang pesimis. Dia pekerja keras dan mencintai pekerjaannya lebih dari apapun. Kenapa ia begini? Sejak kapan ia menjadi seperti ini? Hanya karena lelaki brengsek, ia kehilangan dirinya?

Meski ragu, Gracia membuka mulutnya untuk bicara. Mungkin Freya benar, yang ia butuhkan adalah mengakui bahwa dirinya tidak baik-baik saja alih-alih memberi sugesti untuk dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja. Sayangnya ia harus mengurungkan niatnya ketika seseorang memanggil Freya pergi.

Freya menatap Gracia, enggan untuk meninggalkannya disaat Gracia akhirnya mau untuk membuka dirinya sekali lagi. Gracia tersenyum sebaik mungkin, berharap bisa mengurangi sedikit saja rasa bersalah Freya.

"Kita lanjut nanti, ok?" ucap Freya sebelum melenggang pergi dari studio bersama orang yang mencarinya tadi.

Begitu ia sudah tidak bisa lagi melihat punggung Freya, ia mendesah lega. Mungkin ada sisi darinya yang menolak untuk mengakuinya bahwa Demian sudah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya, bahwa ia terluka sangat dalam, bahwa dia satu-satunya yang mungkin kesulitan melewati hari.

Seperti hari-hari sebelumnya, Gracia pulang lebih larut dari jadwal seharusnya. Ia bahkan menawarkan diri untuk melatih junior secara cuma-cuma untuk menyibukan dirinya. Entah bagaimana, apartemennya menjadi tempat yang paling ia hindari belakangan ini.

Tidak ada lagi kabar dari Freya sejak sore tadi. Kelihatannya rapat itu berlangsung lebih lama dari perkiraannya, tapi ia sama sekali tidak kecewa. Sebaliknya, ia merasa lega. Untuk beberapa alasan, mengakui perasaannya menjadi sesuatu yang menakutkan baginya.

Demi membuang-buang waktu menuju ke kamar apartemennya, Gracia rela menaiki tangga darurat untuk sampai ke kamarnya yang ada di lantai tujuh, menikmati setiap langkah di tangga tak berujung dengan penerangan minim. Gracia melakukan itu hampir setiap hari.

Hingga akhirnya ia tiba di lantai yang ia tuju, berharap rasa lelahnya bisa membawanya segera masuk ke dalam alam mimpi, langkahnya justru mematung tepat di ujung koridor di mana kamarnya berada.

Di sana, sosok yang sangat ia kenal lebih dari apapun, berdiri, bersandar pada punggungnya tepat di depan pintu kamarnya. Sosok itu terlihat menyadari kedatangan Gracia dan menoleh ke arahnya. Senyumannya menunjukkan kerinduan yang teramat sangat, namun ia tahu itu semua palsu. Dia sudah tahu.

Gracia melangkah dengan yakin menghampiri sosok itu dengan tekad kuat di hatinya. Mata tajamnya tidak melepaskan sosok itu sedetikpun. Tapi seiring jarak diantara mereka tertutup, semakin jelas ia melihat wajah yang masih terukir jelas di benaknya, semakin lemah pula langkah dan tekadnya. Begitu mereka sudah berhadapan satu sama lain, tekad kuat yang sebelumnya menggebu-gebu di hatinya kini berganti dengan rasa rindu, sedih dan kecewa.

Sosok itu tersenyum pilu menatap Gracia, "I miss you."

Gracia menatapnya tajam, berusaha sebaik mungkin menyembunyikan perasaannya tanpa berniat untuk menjawabnya, "Kenapa kamu di sini, Demian?"


To be continue...

Fall from GRACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang