"Perlengkapan MOS kamu udah semua dibawa, Dek?"
Gadis dengan kunciran duanya itu menoleh, tersenyum pada sang Ibu. "Udah, Mah."
"Berangkat bareng Kakak?"
"Gak bisa." Bukan sang Adik yang menjawab, melainkan sang Kakak yang baru saja keluar dari kamarnya sambil membenarkan sepatu sekolahnya.
Ketiganya saling bertatapan. Bila diperhatikan wajah ketiga perempuan itu sangatlah mirip, yang membedakan hanyalah pakaian yang mereka kenakan. Sang adik masih mengenakan seragam lamanya saat SMP, dan sang kakak sudah mengenakan seragam SMA. Jika sang Ibu mengenakan seragam sekolah, mungkin tak ada yang sadar bahwa ia adalah Ibu dari kedua anak itu.
Kasian sekali sang Suami, hanya mendapatkan rasa cape dan hikmahnya saja.
"Kamu berangkat sama siapa, Kak?"
"Ashel. Kaya biasa."
"Marsha, kamu gak sarapan dulu?"
"Gak keburu."
"Yaudah, kalau gitu kamu hati-hati, Kak." Gadis itu hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Salam buat Ashel."
Sang kakak lalu mendekati Ibunya untuk bersaliman. Matanya sempat melirik ke arah sang adik. Walau sejenak, kita bisa menangkap sinyal kekhawatiran dari pandangan tersebut. Apa yang dikhawatirkan?
Sayangnya sang adik tidak mengerti dan salah mengartikannya sebagai pandangan tak suka. Jika memang ada sesuatu, kenapa gadis yang lebih tua itu malah hanya diam saja?
Tin-tin!
Suara klakson mobil terdengar. Pandangan mereka pun teralihkan.
"Aku berangkat."
Setelah Marsha pamit, Ayahnya keluar dari kamar utama. Ia menatap anak sulungnya lalu menatap sang istri.
"Loh? Gak bareng aku sama Gracie?"
Sang Istri menggeleng. "Bareng Ashel. Mungkin urusan OSIS. Hari ini kan, hari terakhir MOS."
Sang suami mengangguk. Lalu ketiganya memperhatikan sang anak pertama yang keluar dari rumah, berjalan menuju mobil silver milik temannya di depan rumah.
Kaca samping mobil turun setengah, Ashel tersenyum menyapa kedua orang tua temannya itu. "Berangkat dulu, Om, Tante."
"Hati-hati, Shel."
Pandangan Ashel tertutup karena gadis yang ia jemput membuka pintu mobil dan duduk di sampingnya.
"Dah, Gracieee." Pamit Ashel kembali sambil melambaikan tangan. Lambaian tangan itu sempat dibalas sebelum kaca mobil tertutup sepenuhnya.
"Ayo, jalan." Ucap Marsha sambil mengenakan sabuk pengaman.
"Gracie gak mau diajak bareng, Sha?" Ashel bertanya sambil bersiap menjalankan mobilnya.
Gadis itu melirik Ashel sejenak, ia lalu menyandarkan kepalanya ke samping. "Gak perlu. Dia gak boleh keliatan bareng aku."
Ashel menghela nafasnya. "Gue masih gak ngerti." Ia lalu memperhatikan Marsha, menatap wajah pucat gadis di sampingnya. "Lo... Baik-baik aja kan, Sha?"
"Jalan, Shel."
"O-Oke..."
Ashel tak lagi berbicara. Ia menurut dan mulai menjalankan mobilnya, menjauhi rumah sederhana keluarga Marsha.
Gracie masih menatap mobil tersebut yang sudah melaju pergi sebelum lamunannya buyar oleh suara lembut Ayahnya.
"Kita sarapan dulu abis itu baru jalan. Gak apa kan, Dek?"