15. Telat

3.8K 362 61
                                    

Jazziel hanya bisa mengangguk pelan, menerima perhatian yang diberikan Lingga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jazziel hanya bisa mengangguk pelan, menerima perhatian yang diberikan Lingga. Dengan langkah ringan, ia berjalan masuk ke rumahnya, sesekali melirik ke belakang untuk memastikan Lingga masih menunggu di sana.

Lingga berdiri di depan rumah, menatap Jazziel yang mulai menghilang di balik pintu. Ketika pintu tertutup rapat, Lingga akhirnya menyalakan motornya dan mulai melaju menuju rumahnya sendiri, dengan senyum kecil yang tak bisa disembunyikan.

Ada rasa puas di hatinya karena tahu, ia berhasil membuat hari Jazziel sedikit lebih manis dengan kejutan kecil itu.

SKIP

Setelah perjalanan yang cukup singkat, Lingga tiba di rumahnya sendiri. Perasaan bahagia masih menyelimuti dirinya, dan untuk sesaat, ia tak memikirkan lagi soal kejadian tadi dengan Abizar dan Delvin.

"Adek pulang!" seru Lingga saat melangkah masuk ke ruang tengah. Suaranya bergema di ruangan yang sedikit sepi, hanya ada abangnya, Lucian, yang sedang rebahan di sofa dengan santai sambil menonton televisi.

"Bang, nggak mandi dari tadi?" tanya Lingga sambil berjalan mendekat, kemudian tanpa sungkan duduk di kaki abangnya, tepat di bagian betis.

"Astaga, berat banget dek! Jangan duduk di situ dong!" keluh Lucian sambil menggerutu, meskipun senyum jahil tersungging di wajahnya.

Lingga mendengus pelan, menepuk perut Lucian yang kekar. "Ah, bohong aja. Badan abang kekar kayak gini, masa iya gue duduk sebentar aja udah berat?" balas Lingga dengan nada menggoda, menambah sedikit sentuhan ejekan yang akrab.

Lucian terkekeh mendengar ucapan adiknya. "Iya deh, iya, cuma bercanda. Gimana kerkom tadi? Lancar?"

Lingga langsung teringat kejadian di kafe dan tak butuh waktu lama baginya untuk meluapkan semua kekesalannya pada Abizar dan Delvin.

0"Dua-duanya nggak ada otak, Bang! Gue sama Jazziel ribet banget nyari bahan tugas, mereka malah pacaran entah di mana!" keluh Lingga dengan suara yang semakin meninggi.

Tangannya bergerak spontan, menendang udara seolah sedang memukul Abizar dan Delvin yang ada dalam pikirannya.

Lucian yang mendengarkan cerita Lingga hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. "Buset, nggak tahu diri banget itu si Delvin. Kalau gue jadi lo, udah gue maki-maki tuh dua bocah," ucap Lucian, setuju dengan kekesalan Lingga.

Mereka memang sering kali sefrekuensi dalam urusan 'mengghibah' orang yang tidak mereka suka.

Lingga hanya bisa menghela napas panjang, sedikit merasa lega setelah berbagi cerita dengan Lucian. Meskipun begitu, kemarahannya masih belum sepenuhnya hilang.

Sambil melirik ke sekeliling rumah, Lingga bertanya, "Mommy sama Daddy mana, Bang? Biasanya kan mereka udah kumpul kalau jam segini."

Lucian mendengus pelan sebelum menjawab, "Ngedate. Nggak tahu deh pulang jam berapa," ucapnya dengan nada malas, menunjukkan bahwa dia sudah terbiasa dengan kebiasaan orangtua mereka yang selalu tampak seperti pasangan remaja SMA yang baru jatuh cinta.

Lingga mengangguk, sedikit terkekeh membayangkan orangtuanya yang masih sangat romantis di usia mereka sekarang.

"Yaudah, gue mau ke kamar dulu. Capek banget mental sama fisik gue," ucap Lingga sambil memijat kepalanya yang terasa berat.

Lucian mengangguk tanpa berpaling dari layar televisi. "Jangan begadang ya. Istirahat yang cukup."

"Siap, Bang," jawab Lingga sebelum berjalan menuju kamarnya.

---

Setibanya di kamar, Lingga langsung merebahkan dirinya di atas kasur yang empuk. Rasa lelah menjalar di seluruh tubuhnya, membuatnya enggan melakukan apa pun, termasuk mandi.

"Males banget mau mandi," keluhnya sambil memejamkan mata. Badannya masih dipenuhi debu dan keringat setelah seharian beraktivitas, tapi rasa kantuk yang berat membuatnya tak bisa bergerak.

"Aduh, nanti aja deh..." gumamnya pelan. Niatnya hanya ingin menutup mata sejenak, tapi kantuk yang menyerang begitu kuat, membuat matanya tak mau terbuka lagi.

Akhirnya, tanpa sadar, Lingga pun tertidur dengan pakaian yang masih lengkap, membiarkan tubuhnya yang lelah terlelap tanpa sempat membersihkan diri.

SKIP

Pagi itu, di salah satu kamar yang masih diselimuti suasana subuh, terdengar suara berisik yang tak lain berasal dari Lingga. Siapa lagi kalau bukan dia yang membuat kamar menjadi ramai.

Rupanya, gara-gara semalam Lingga ketiduran sebelum membersihkan diri, tubuhnya merasa tidak nyaman hingga ia terbangun di tengah malam.

Setelah itu, bukannya tidur kembali, Lingga malah memilih bermain game sampai larut malam—tepatnya hingga pukul setengah tiga pagi. Tentu saja, akibat begadang, pagi ini Lingga terbangun terlambat, lebih dari waktu yang seharusnya.

"Sial! Gue telat ini!" gerutu Lingga dengan nada penuh kekesalan, tangannya sibuk menyiapkan tasnya dengan tergesa-gesa.

Ia belum sempat mengemas buku-buku untuk pelajaran hari ini semalam, dan sekarang, Lingga sudah tidak lagi peduli apakah ada PR atau tidak. Yang terpenting, ia harus berangkat ke sekolah secepat mungkin, walaupun dalam keadaan yang serba terburu-buru.

Setelah selesai dengan persiapannya yang seadanya, Lingga langsung keluar dari kamarnya dan berlari menuruni tangga menuju lantai bawah. Suara langkah kakinya menggema di sepanjang rumah.

"Mom! Dad! Abang! Adek nggak sarapan ya! Udah telat banget!" teriak Lingga sambil berlari menuju pintu keluar, tanpa mengurangi kecepatannya menuju garasi untuk mengambil motor kesayangannya.

Ibunya, Vivian, yang mendengar teriakan anak bungsunya itu hanya bisa menghela napas panjang.

"Padahal Mommy udah bilang sama wali kelasnya kalau dia bakal telat datang hari ini," ucapnya sambil menggelengkan kepala, sedikit merasa gemas dengan kelakuan Lingga.

Lucian yang sedang duduk di meja makan, asyik menyantap sarapannya, ikut tersenyum kecil mendengar perkataan ibunya.

"Biasa, Ma. Anak itu kan mana pernah mau datang telat. Sekalinya telat ya begini, panik nggak karuan," ujar Lucian sambil melanjutkan kunyahannya, sesekali menatap ke arah jendela, melihat adiknya yang sudah melaju dengan motornya.

Sementara itu, ayah Lingga hanya diam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tangan kirinya masih memegang cangkir teh, sementara tangan kanannya memegang beberapa lembar dokumen yang harus dibawa ke kantor.

Ia sudah terbiasa dengan kebiasaan terburu-buru anak-anaknya, terutama Lingga. Tanpa banyak bicara, ia kembali fokus pada bacaan dokumennya sambil menyeruput teh hangatnya pelan-pelan, menikmati pagi yang tenang di antara kesibukan keluarganya.

Second Change Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang