19. Pembahasan

3K 347 268
                                    

Abizar yang mendengar ucapan itu tersenyum kecil, tapi bukan karena setuju

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Abizar yang mendengar ucapan itu tersenyum kecil, tapi bukan karena setuju. "Kenapa kita yang harus pergi? Kenapa bukan kamu aja yang pergi?" tanyanya dengan nada yang terdengar polos, meskipun maksud sebenarnya jelas-ia ingin mengusir Jazziel dari situ.

Namun Lingga, yang sejak tadi sudah kesal dengan semua ini, langsung memotong. "Kenapa Jazziel yang pergi? Dia dibutuhin di sini, lo pada yang mau ngomong sama gue kan tadi? Jadi, buruan ngomong, gue nggak punya banyak waktu buat drama kayak gini," ucap Lingga malas, matanya menyipit ke arah Abizar dan Delvin yang masih terlihat kaku.

Abizar menelan ludahnya dengan kasar, rasa canggung mulai menggelayuti dirinya. Ia melirik Delvin di sampingnya dan dengan halus menyenggol lengan sahabatnya itu, memberi isyarat agar segera membuka percakapan. Delvin, yang cukup peka dengan isyarat itu, mendesah pelan sebelum akhirnya berdehem malas.

"Masalah kelompok, nama kita beneran nggak bakal dimasukin?" tanya Delvin dengan nada datar, meski ada sedikit kekhawatiran tersirat di baliknya. Tatapannya lurus pada Lingga yang duduk di sebelahnya.

Lingga mendengus pelan sebelum balas menatap Delvin. Wajahnya terlihat sedikit kesal, "Menurut lo? Apa kontribusi lo sama Abizar di kelompok itu? Ada?" tanyanya balik dengan nada julid, seolah menantang Delvin untuk memberikan jawaban yang masuk akal.

Delvin menghela napas panjang, berusaha menghindari tatapan Lingga yang jelas-jelas penuh sindiran. "Kenapa nggak hubungin gue? Telpon atau spam chat kan bisa," balas Delvin dengan nada malas, meski dia tahu alasan Lingga sebenarnya.

Lingga mendengus, menatap Delvin dengan tatapan tak percaya. "Dihubungin pun kalau niat lo buat nge-date, bukan ngerjain kerkom, buat apa? Buang-buang waktu aja," ucap Lingga dengan nada tak peduli, memperjelas rasa kecewanya pada Delvin.

Abizar, yang dari tadi memperhatikan, mencoba mencairkan suasana yang mulai memanas. Dengan lembut, ia memegang lengan Delvin dan berkata,

"Nggak ada kesempatan kah buat lo ngerjain? Emang tugasnya beneran udah selesai semua?" tanyanya dengan nada hati-hati, seolah berharap masih ada ruang untuk perbaikan.

Jazziel, yang sejak tadi duduk diam sambil memainkan jari-jari Lingga, ikut menjawab dengan santai.

"Udah selesai semua. Bahkan udah nambahin foto dan segala macamnya. Mau ngerjain apalagi kalian?" katanya sambil mengangkat bahu, menunjukkan bahwa mereka sudah menyelesaikan tugas tanpa bantuan Delvin dan Abizar.

Keduanya terdiam, tak ada yang berani menjawab. Tapi di dalam hati, Abizar dan Delvin punya pemikiran yang berbeda.

Abizar masih mencoba mencari cara agar percakapan ini terus berlanjut, sementara Delvin? Dia justru mulai menyerah dengan situasi ini. Dengan perlahan, Delvin menyenderkan tubuhnya yang tadinya duduk tegak. Gerakannya pelan, hingga akhirnya bahunya bertemu dengan bahu Lingga.

Delvin menarik napas pelan-pelan, mencoba menghirup aroma khas Lingga yang selalu membuatnya merasa lebih tenang. Dan benar saja, wangi Lingga yang familiar langsung menyeruak di hidungnya. Tanpa sadar, matanya terpejam sejenak, menikmati momen kecil itu.

Lingga, yang menyadari gerakan Delvin, melirik ke arahnya. "Ada lagi yang mau dibahas?" tanyanya dengan nada malas, jelas terlihat kalau dia tidak ingin berlama-lama di situ.

Abizar, yang masih mencoba untuk mencari celah agar diskusi ini tetap berlanjut, akhirnya memberanikan diri bertanya lagi.

"Uh, emangnya nggak masalah kalau kelompoknya cuma dua orang kayak gini? Bukannya guru bilang harus empat orang ya?" tanyanya, berharap masih ada ruang untuk negosiasi.

Lingga menghela napas panjang, merasa lelah dengan pertanyaan yang terus berulang.

"Biar gue yang ngomong nanti sama gurunya. Lo berdua tinggal bikin tugasnya aja," jawab Lingga malas, tak ingin lagi membahas hal-hal yang menurutnya sudah selesai.

Jazziel, yang duduk di sebelahnya, mengangguk setuju dan menambahkan, "Guru paling marah karena kelompoknya misah, bukan karena nggak bikin tugas. Yang penting, tugasnya selesai. Jadi kalian bikin aja, masalah selesai," ucapnya santai, ikut mendukung keputusan Lingga.

Abizar ingin berbicara lagi, tapi ucapannya terpotong oleh genggaman tangan Delvin di lengannya.

Delvin menatap Abizar dengan ekspresi tenang, "Udahlah, Abizar. Nggak apa-apa kita bikin tugasnya berdua aja. Gampang kok, nggak susah juga tugasnya," ucap Delvin yang sepertinya sudah lelah dengan perdebatan ini.

Abizar menatap Delvin dengan pasrah. Meski hatinya masih ingin berbicara lebih banyak dengan Lingga, mengingat Lingga yang dulu lebih ceria dan terbuka, ia tahu percakapan ini tak akan menghasil kan apa-apa lagi.

"Ya udah," gumamnya pelan, merasa kecewa tapi tak punya pilihan lain.

Tak lama setelah itu, suara bel pengumuman terdengar nyaring di seluruh penjuru sekolah, menandakan bahwa para siswa sudah diperbolehkan pulang lebih awal.

Spontan, suasana sekolah yang tadinya tenang berubah menjadi riuh rendah, semua murid bergegas mengemasi barang-barang mereka, tak ingin ketinggalan kesempatan untuk pulang cepat.

Lingga menatap Jazziel yang masih duduk di sebelahnya, sebelum berdiri dan berkata dengan santai, "Yuk, pulang."

Jazziel hanya mengangguk dengan senyum kecil, langsung berdiri mengikuti Lingga. Mereka berdua kemudian melangkah keluar dari rooftop, sambil terus berbincang ringan dan tertawa, seakan masalah yang barusan mereka bicarakan tak pernah mengganggu hidup mereka.

Wajah Lingga yang tadinya serius kini kembali ceria, seolah beban itu menguap begitu saja.

Abizar yang masih berdiri di tempatnya, memandangi kepergian mereka dari kejauhan. Entah pada siapa, ia bergumam pelan, "Mereka deket banget, ya..." Suaranya terdengar samar, namun penuh makna, seakan ia tengah memikirkan sesuatu yang lebih dalam.

Delvin yang berdiri di sampingnya, mendengus pelan, matanya juga mengikuti langkah Lingga dan Jazziel yang semakin jauh. "Paling lagi PDKT itu, biarin aja," jawabnya dengan nada acuh tak acuh, meski jelas terlihat dari ekspresinya kalau ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman.

Meski begitu, Delvin berusaha menutupinya, tidak ingin memperlihatkan perasaan sesungguhnya.

Abizar hanya mengangguk pelan, menerima jawaban Delvin tanpa banyak berkata. Keduanya kemudian berjalan meninggalkan rooftop, bergandengan tangan sambil melangkah menuju kelas, dengan perasaan yang entah kenapa masih terasa berat di hati mereka masing-masing.

 Keduanya kemudian berjalan meninggalkan rooftop, bergandengan tangan sambil melangkah menuju kelas, dengan perasaan yang entah kenapa masih terasa berat di hati mereka masing-masing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Second Change Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang