~Happy Reading~
***
Riuh langkah bersahutan memecah hening yang semula menyelimuti lorong sebuah rumah sakit. Beberapa orang menyingkir untuk memberi ruang lebih pada para petugas kesehatan yang sedang berjalan cepat sambil berusaha menjaga kondisi pasien di atas brankar dengan luka parah tetap stabil.
Langkah lain yang tak kalah riuh mengekor di belakang. Disertai isak tangis panik yang membuat orang lain menatapnya iba. Adi merangkul erat bahu wanitanya, sedangkan Shaka berjalan lebih cepat di depan keduanya.
Semua orang cemas, semuanya kalut dan tidak bisa berpikir panjang. Bahkan fokus kecemasan mereka yang semula berpusat pada Sekala, kini beralih pada Dylan yang tengah berjuang untuk tetap hidup setelah kecelakaan tragis yang dialaminya.
Ruang IGD menegangkan. Beberapa dokter turut andil untuk mempertahankan Dylan yang kian melemah. Lalu, beberapa dokter ahli lainnya ikut berlari panik menerobos pintu IGD yang semula tertutup rapat.
Hal itu tentu saja membuat ketakutan dalam diri Adi dan Aya kian pekat. Shaka menunduk dalam dan beberapa kali menarik napas panjang guna mengusir sesak yang kini terasa mencekik. Ada rasa menyesal yang hinggap ketika Shaka ingat ia tidak memaksakan diri untuk ikut dengan Dylan mencari Sekala. Tapi, Shaka juga tahu kalau menyesal sekarang pun tidak akan pernah ada gunanya. Semuanya sudah terjadi.
"Aku udah bilang buat jangan pergi. Kenapa nggak ada yang nurut sama aku?" Aya menangkup wajahnya. Meredam tangis pada telapak tangan yang rasanya percuma, karena isakannya tetap terdengar keras dan memilukan.
Adi menarik tubuh itu untuk ditenggelamkan dalam dekap. Memberikan ruang luas di dadanya sebagai pengganti telapak tangan Aya untuk menangis lebih puas.
"Dylan nggak pernah ngebangkang semua omongan aku. Tapi, kenapa tadi dia ngebangkang? Kenapa dia nggak nurut? Kalau aja anak itu nggak bikin masalah, Dylan nggak mungkin berakhir kayak gini." Kemarahan itu bersahutan dengan luka hati. Menciptkanan sensasi rasa sakit yang belum pernah Aya rasakan sebelumnya.
Adi menarik napas dalam, mengusap dengan sangat lembut kepala belakang Aya dan membisikkan sesuatu yang ia harap bisa memecah fokus dalam diri Aya. Memecah antara marah dan cemas yang membuat Aya kesulitan meledakkan tangisnya.
"Jangan pikirin Sekala. Kamu pikirin Dylan. Soal Sekala, biar dia jadi beban pikiranku sebagai Papanya," bisiknya lembut.
Aya menggeleng samar. Menangis lebih keras agar hatinya bisa lebih ringan, meski tetap saja berat karena ia masih belum mendapat kepastian akan kondisi Dylan di dalam sana. Kepalanya dipenuhi bayangan mengerikan bagaimana kronologi kecelakaan itu terjadi. Bagaimana tubuh Dylan terguncang dan menghantam dinding kabin mobil yang keras. Dan tentang rasa sakit seperti apa yang Dylan rasakan ketika tubuhnya terluka dengan begitu parah.
Sebagai ibu, rasanya sungguh menyakitkan sampai Aya tidak tahu harus dengan kata apa yang tepat untuk mendeskripsikan sakitnya.
Pandangan Adi beralih pada Shaka yang masih terus menunduk dan diam layaknya patung. Mengingat soal Sekala, Dylan sempat berpesan untuk tetap menjemput adik bungsunya itu. "Ka, kamu hubungi Sekala, ya? Dia juga harus tau tentang Dylan."
Shaka mengangkat wajahnya untuk bertatapan langsung manik mata cokelat milik ayahnya. Ekspresinya tidak terbaca. Hanya anggukan kepala singkat yang ia tunjukkan sebagai tanda patuh pada perintah sang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
ФанфикSebagai seorang anak, lahir ke dunia dan menjadi berkat untuk orang tuanya adalah kebahagiaan sempurna yang ia damba, bahkan sejak pertama kali dilahirkan. Menjadi harapan serta masa depan orang tua adalah impian setiap anak. Termasuk, dirinya. Lalu...