Boleh dibacanya pas buka ya🤍
~Happy Reading~
***
Sekala sudah tahu kalau kedatangan Aya tentu saja bukan suatu hal yang baik untuk kelanjutan nasibnya. Maka, sejak duduk di ruang kepala sekolah yang Sekala lakukan hanya diam. Mendengar obrolan ibunya dan kepala sekolah yang tampak sangat serius, lalu berakhir pada keputusan skorsing tiga hari dan dilanjutkan hukuman membersihkan toilet bersama Bayu selama satu minggu.
Janu? Seperti yang sudah Sekala bilang sebelumnya. Janu punya previlege yang membuat dirinya selalu bebas dari segala hukuman, karena guru tidak ada yang memiliki keberanian. Tidak perlu menanyakan kenapa bisa begitu, sudah menjadi rahasia umum di sekolah-sekolah besar anak-anak kelas atas selalu mendapat tempat aman.
Berhenti memikirkan tentang Janu, Sekala harus memikirkan dirinya sendiri sekarang. Duduk satu mobil dengan Mama tanpa ada sedikitpun pembicaraan, tidak ada playlist yang terputar. Hanya senyap dengan deru halus mesin mobil yang terdengar dan berusaha mengusir kesunyian.
Bulan lalu, Sekala sudah melewati satu hukuman dari Aya karena ketahuan membolos. Hukuman yang membuatnya demam sampai tiga hari dan membuat ayahnya pulang dari perjalanan bisnis luar negerinya lebih cepat. Sekala tidak tahu, apakah hukumannya kali ini akan lebih ringan atau lebih berat.
Sekala hanya bisa merapalkan doa-doa baik untuk dirinya.
Mobil Aya memasuki pekarangan, terparkir sejajar dengan mobil Dylan dan motor Shaka. Sekala melirik arloji yang menunjukkan pukul sembilan pagi, pantas saja kedua kakaknya belum ada yang pergi kuliah.
"Ma-"
Aya menutup pintu mobil cukup kencang. Melangkah lebar mengabaikan Sekala yang masih duduk di kursi mobilnya.
Satu helaan napas lolos dari bibir Sekala. Dengan pasrah, ia melepaskan seatbelt yang sejak tadi masih memeluknya. Setidaknya, di rumah masih ada Dylan dan Shaka yang mungkin bisa membuat Aya meredam amarahnya.
Sekala melepas sepatu yang masih ia kenakan, menyimpannya ke dalam tas karena sudah tidak memiliki pasangan setelah yang sebelah dilempar Janu entah kemana. Lagi-lagi hal itu membuatnya menghela napas, sepatu itu adalah satu-satunya yang sempat disentuh Aya ketika ayahnya membelinya di toko dan meminta Aya untuk memberikan komentar, apakah akan bagus untuknya atau tidak.
Langkahnya kembali terayun memasuki rumah. Menemukan presensi Aya yang berdiri tegap tidak jauh dari pintu, membuat Sekala menelan salivanya. Mau tidak mau, ia harus melangkah mendekat dan segera menyelesaikan episode hidupnya hari ini.
"Mama-"
Kalimat Sekala kembali tertelan, ketika satu tamparan mendarat di pipi kirinya sampai membuat wajahnya tertoleh. Sudut bibirnya yang baru saja diobati, kini kembali terluka dan mengalirkan darah yang langsung Sekala tepis sebelum Aya berhasil melihatnya.
"Kenapa sih, nggak bisa jadi anak yang bener? Setiap hari bikin ulah terus!" Aya menatap Sekala tajam. "Bisa nggak, berhenti bikin Mama malu? Memang kalau nggak bikin masalah sehari aja susah ya, buat kamu?" Kalimat itu terlontar dengan nada lantang dan napas memburu. Membuat Sekala sadar secara penuh kalau ibunya benar-benar mencapai puncak kemarahannya.
Sekala hanya diam, menahan ringisan sakit ketika dagunya dicengkram kuat dan dipaksa untuk menatap mata Aya yang berkilat penuh marah.
"Dari kecil nggak pernah bisa bikin Mama bangga. Cuma bisa bikin reputasi Mama jelek, bikin Mama dapat komentar nyinyir di sosial media, bikin Mama malu setiap kali ada pemberitaan yang menyangkut nama kamu! Tadi pagi waktu kepala sekolah kamu telepon, Mama lagi syuting iklan. Kamu tau apa yang terjadi? Semua orang ngeliatin Mama dengan muka aneh, bahkan Mama dibilang nggak bisa ngurus anak!" Aya meluapkan kekesalannya di hari yang masih pagi. Menatap wajah anak bungsu dengan mata yang tampak memiliki binar galaksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
أدب الهواةSebagai seorang anak, lahir ke dunia dan menjadi berkat untuk orang tuanya adalah kebahagiaan sempurna yang ia damba, bahkan sejak pertama kali dilahirkan. Menjadi harapan serta masa depan orang tua adalah impian setiap anak. Termasuk, dirinya. Lalu...