~Happy Reading~
***
Adi menyesap kopinya pagi ini sembari menatap laptop yang menampilkan beberapa berkas pekerjaannya. Kacamata bertengger membantunya agar tetap fokus dan lebih jelas agar tidak membuat kesalahan yang akan membuat kepalanya semakin pening.
Sesekali ia melirik jam dinding di atas pintu guna mengira-ngira berapa lama lagi ia harus menunggu kedatangan Aya yang semalam tidak pulang karena katanya syuting berlangsung sampai pagi.
Selain itu, ia juga berusaha menetralkan degup jantungnya yang berpacu tidak karuan. Kepalanya mencoba merangkai kata di sela-sela pekerjaannya. Memilah kata yang sekiranya paling lembut dan tidak menimbulkan masalah, meski ia tahu ini akan tetap menjadi sebuah masalah.
Pintu ruang kerjanya diketuk pelan. Sempat membuatnya terperanjat sebelum akhirnya ia menghela napas lega saat ia mendapati Shaka yang masuk dengan membawa nampan berisi sandwich.
"Aku liat kayaknya Papa lagi sibuk, jadi aku bawain aja ke sini buat sarapan," kata Shaka seraya meletakkan piring berisi dua potong sandwich di atas meja ayahnya.
Adi tersenyum lembut. "Makasih, Ka. Papa lagi nungguin Mama sampai lupa kalo udah waktunya sarapan," ujarnya.
"Hari ini Sekala boleh keluar nggak, Pa? Sama aku, kok," tanya Shaka hati-hati.
"Boleh." Adi mengangguk. "Sekalian nanti ajak main kemana gitu biar dia baikan. Kasian dia dari kemarin murung terus," sambungnya.
"Oke, Pa. Kalau gitu aku pergi dulu sama Sekala, ya."
Adi hanya membalas dengan anggukan serta senyum simpul dan membiarkan Shaka keluar dari ruangannya. Perasaannya sedikit lega karena Shaka berinisiatif membawa Sekala untuk sekedar jalan-jalan.
Setidaknya, Sekala bisa pergi kemanapun yang Sekala mau bersama Shaka.
•••
Mbak Sinta meletakkan dua cangkir teh hangat yang pagi ini menyambut kedatangan Aya untuk pertama kali di Rumah Hati. Suasana duka itu masih begitu kental, terlihat dari mata Mbak Sinta dan Ibu Rumi yang masih sembab.
Sepasang netra Aya berpendar menatap ruang pertemuan dengan Ibu Rumi yang bisa dibilang cukup bagus untuk seukuran panti. Banyak foto-foto yang terpajang rapi di sana. Dimulai dari foto beberapa anak pertama penghuni panti, lalu semakin bertambah.
Ada pula foto bangunan yang Aya tebak sebagai bangunan lama dari Rumah Hati. Foto bersama seorang anak kecil perempuan lucu yang dipeluk Ibu Rumi. Dan gulirannya berhenti pada foto yang membuatnya terpaku sejenak.
Foto Sekala dan Bayu bersama Ibu Rumi, Mbak Sinta, dan gadis kecil yang tadi sempat Aya puji lucunya.
"Silahkan diminum tehnya, Mbak." Ibu Rumi berucap pelan dengan senyum mempersilahkan Aya untuk mencicipi teh yang tersaji.
Aya tersenyum kikuk, kemudian mengangguk dan mengangkat gelas tehnya. Aroma segar dari teh sekejap membuat Aya terpejam dan merasa tenang. Rasa manis itu memenuhi rongga mulutnya yang kemudian menghadirkan senyum sembari meletakkan kembali gelas teh itu di atas meja.
"Kedatangan saya ke sini ingin mengkonfirmasi tentang berita yang beredar di media," ujar Aya memulai pembicaraan sesuai dengan rencananya.
"Ah, pasti soal berita donatur beberapa hari lalu?" Ibu Rumi mencoba menebak.
Aya mengangguk cepat. "Saya sudah melihat video klarifikasi dari Ibu yang membenarkan kalau saya adalah donatur di panti ini. Tapi, perlu saya ingatkan kalau saya tidak pernah menyerahkan sepeserpun ke panti ini–"
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
FanfictionSebagai seorang anak, lahir ke dunia dan menjadi berkat untuk orang tuanya adalah kebahagiaan sempurna yang ia damba, bahkan sejak pertama kali dilahirkan. Menjadi harapan serta masa depan orang tua adalah impian setiap anak. Termasuk, dirinya. Lalu...