Halooow, masih ada orang kah di sini?.-.
~Happy Reading~
***
Aya membuka pintu apartemen dengan helaan napas berat yang menandakan ia tidak terlalu berminat dengan kehadiran seseorang yang kini tersenyum begitu manis di hadapannya.
Tyo segera memberikan pelukan erat untuk melepas rindu yang membuncah. Beberapa hari tidak bertemu Aya benar-benar membuatnya dilanda kerinduan berat. Terlebih, sejak pertemuan terakhir di resto itu Aya begitu sulit dihubungi. Dan semalam ia mendapat informasi dari salah satu orang kepercayaannya yang tentu saja tidak akan ia sia-siakan.
"Kamu kenapa susah banget dihubungi?" tanya Tyo tanpa melepaskan pelukannya. Ia masih menunggu kedua tangan Aya memberikan balasan.
Aya menghela napas. Mencoba melepaskan dekap erat itu dan mengalihkan tatap dari Tyo.
"Hey, kamu marah sama aku?" tanya Tyo.
"Aku nggak perlu jawab pertanyaan kamu itu, kan?" Aya balik bertanya.
Tyo mengangguk dengan senyum lembut. Ia tidak akan pernah mau memperpanjang hal-hal sepele yang nantinya akan membuat Aya semakin ingin lepas darinya.
Pandangannya beralih menatap ruang yang tertangkap oleh penglihatannya. Sebuah apartemen berukuran tidak terlalu luas dengan sedikit barang. Sejenak, Tyo mendesis membayangkan bagaimana wanita kesayangannya menghabiskan beberapa hari sendirian di apartemen itu.
Apartemen itu tidak buruk. Bahkan, terbilang cukup sesuai untuk harganya yang mahal. Hanya saja untuk sekelas Prasetyo Wiguna, apartemen itu sama sekali bukan kelasnya. Dan ia juga tidak akan pernah tega membiarkan Aya untuk tinggal di sana.
"Satu jam lagi ada petugas yang bakal bantuin kamu packing. Tinggal di apartemen aku lebih baik," katanya tiba-tiba.
"Aku nggak mau." Aya menolak dengan cepat. "Aku cuma butuh tenang. Tanpa kamu atau siapapun," imbuhnya.
"Hey, sayang." Tyo menangkup kedua pipi Aya. Tak lupa menyunggingkan senyum penuh makna yang langsung dipahami oleh wanita itu.
Aya memalingkan wajah. Mundur dua langkah sampai kedua tangan Tyo yang menangkup wajahnya berhasil lepas. "Aku capek. Aku mau semua ini udahan aja," gumamnya lirih.
Atmosfer di sekelilingnya terasa lenyap perlahan. Membuat dadanya mendadak sesak dan harus menarik napas dalam-dalam.
Selama beberapa hari tinggal sendiri di apartemen ini, Aya selalu menghabiskan waktunya untuk merenung. Lalu, berakhir menangis karena tidak berhasil menemui atau menghubungi Sekala untuk meminta maaf serta menanyakan keadaannya.
"Harus gimana lagi biar aku bisa lepas dari kamu? Apa yang harus aku lakuin? Aku capek hidup begini terus. Dibayangi sama rasa takut karena anakmu selalu mengancam aku." Aya menarik napas panjang guna mengambil jeda. "Bebasin aku, Tyo. Berhenti terobsesi sama aku. Berhenti berharap kalau kita bisa sama-sama. Udah cukup istri kamu yang jadi korban karena keegoisan kita—"
Tyo mencengkeram kedua bahu Aya dengan sangat erat. Menatap lekat kedua manik mata wanita cantik itu dan menguncinya agar bibir Aya terkatup rapat tak mengeluarkan kalimat apapun yang bisa memancing amarahnya.
"Kita sebentar lagi menikah. Kamu jangan aneh-aneh ya, sayang," ucap Tyo.
Aya menggeleng. "Kalaupun aku cerai sama Adi ... aku bakal jadi janda seumur hidup. Aku nggak mau nikah sama kamu," balas Aya berani.
"Kamu nggak akan bisa nolak," tegas Tyo lagi.
"Aku lebih baik mati dibanding harus jadi istri kamu—" Kedua mata Aya sontak terpejam ketika tangan besar Tyo terangkat ke udara. Sangat siap melayangkan sebuah tamparan keras pada wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
Fiksi PenggemarSebagai seorang anak, lahir ke dunia dan menjadi berkat untuk orang tuanya adalah kebahagiaan sempurna yang ia damba, bahkan sejak pertama kali dilahirkan. Menjadi harapan serta masa depan orang tua adalah impian setiap anak. Termasuk, dirinya. Lalu...