Serendipity [9]

1.5K 130 60
                                    

~Happy Reading~

***

Siapa yang percaya hari ini akan datang dalam keluarga Pranadipa?

Semua orang menunduk dalam dengan iringan isak tangis yang masih terus menggema. Menemani tanah yang perlahan turun dan menimbun sosoknya yang kini terlelap dalam dekapan hangat semesta. Tidak percaya, namun inilah kenyataan. Ingin menyangkal, tapi semuanya benar-benar nyata.

Suaranya masih terdengar di telinga orang tua dan adik-adiknya. Senyumnya masih membekas kuat dalam ingatan semua orang yang pernah mengenalnya. Hangat dekapnya masih begitu terasa ada sampai membuat semuanya menyangkal akan kepergiannya.

Sagara Dylan Pranadipa. Hari ini adalah hari pertama ia beristirahat dalam damai. Meninggalkan semua kesesakan dunia. Meninggalkan semua resah yang membuat lelah. Meninggalkan semua cerita yang belum tuntas dan akan terus berlanjut meski tanpa dekap hangatnya. Seorang kakak pertama yang selalu menjadi pelindungi kedua adiknya, sekarang dia sudah menyelesaikan tugasnya, meski belum sepenuhnya tuntas.

Shaka berjongkok dengan kepala menunduk tepat di samping pusara Dylan yang sudah tertutup sempurna. Menaburkan bunga dengan sangat lembut bersamaan dengan tangan-tangan lain yang juga menghujani pusara baru itu dengan ribuan kelopak bunga berwarna merah.

Tidak ada air mata yang jatuh dari kedua matanya. Bibirnya hanya terkatup rapat. Matanya menatap nisan dengan ukiran nama Dylan yang masih cantik berwarna emas. Hatinya patah. Hancur berkeping-keping sampai tidak tahu lagi harus menunjukkan ekspresi seperti apa untuk menunjukkan pada semesta, bahwa ia sangat kehilangan sosok kakaknya.

Tangis Aya terdengar memecah lamunan Shaka. Tanpa mengangkat kepala untuk melihat ke arah ibunya yang berdiri tepat di sampingnya. Shaka mengulurkan tangan. Meraih tangan lemas Aya dan dia genggam erat. Tidak ada yang bisa Shaka lakukan untuk mengobati luka hati ibunya. Semua orang terluka. Luka dalam yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

"Bilang sama aku kalau Dylan cuma tidur." Aya menatap Adi penuh harap. Matanya bengkak parah sampai seluruh wajahnya ikut membengkak, karena tidak berhenti menangis sejak semalam.

Para pelayat yang mendengar itu semakin menundukkan kepala. Kalimat Aya terlalu pilu untuk dihadapkan pada kenyataan bahwa anak sulungnya sudah jauh terkubur di bawah tanah.

Adi mengecup dalam pelipis Aya dengan setetes air mata yang kembali jatuh dari sudut matanya. Apa yang harus ia katakan lagi? Apa yang harus terucap guna menenangkan hati wanitanya? Adi tidak tahu dan hanya kecupan serta dekapan hangat itu yang bisa ia berikan, tanpa sedikitpun menjawab semua gundah dalam hati Aya.

Satu per satu mulai pergi dari tanah itu bersama dengan rintik gerimis yang perlahan turun. Tugas mereka selesai mengantar Dylan untuk tidur lebih nyenyak. Setelah ini, semua orang harus melanjutkan hidupnya. Menjalani hari yang sama, hanya saja tidak ada Dylan di dalam catatan hari itu.

"Kita pulang, ya. Kamu butuh istirahat." Adi berbisik pelan di telinga Aya.

Aya menggeleng. "Aku mau sama anakku. Kalau aku pulang nanti dia sendirian di sini."

"Dylan ditemani Tuhan. Dia nggak sendirian, dia udah bahagia dan nggak sakit lagi." Adi menarik napas dalam guna mengusir sesak. "Dylan bakal sedih kalau kamu yang sakit. Kalau Dylan bahagia, kamu juga harus bahagia."

Aya menangis lagi untuk kesekian kali. Tangannya yang semula digenggam erat oleh Shaka, ia lepas lalu mendekap Adi jauh lebih erat. Menumpahkan tangisnya di dada bidang suaminya. Tangisan yang lebih sakit dibanding tangisan sebelumnya. Melepaskan semua berat yang menggelayut dan mencoba menerima kenyataan kalau Dylan benar-benar sudah tidak ada lagi di hidupnya.

Serendipity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang