Serendipity [16]

1.5K 151 99
                                    

~Happy Reading~

***

Hari kedua Sekala dirawat, kondisinya sudah jauh lebih baik. Demamnya sudah turun, meski di waktu tertentu masih sering menggigil dan memaksa Shaka untuk mematikan AC. Itu bukanlah hal yang aneh karena setiap kali Sekala jatuh sakit memang akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk sembuh total.

Dulu, Shaka tidak pernah direpotkan seperti ini karena Dylan yang akan menghandle semuanya. Ia hanya akan menemani dan duduk diam sembari memperhatikan Dylan yang sibuk mengurusi ini itu agar Sekala bisa istirahat dengan nyaman.

Tapi sejujurnya, Shaka adalah yang paling takut setiap kali melihat Sekala sakit. Ia akan menangis saat Sekala tidur dan Dylan harus menenangkannya dengan berbagai cara. Itu juga kenapa Dylan punya senjata ampuh jika Shaka tidak mau membantunya meloloskan Sekala dari berbagai masalah.

"Mau ... buah?" tanya Shaka canggung.

Sekala mengalihkan tatap dari ponsel yang menampilkan sebuah game. Senyum cerahnya terbit ketika bertatapan langsung dengan manik mata Sekala yang tampak bergetar samar.

"Mau," jawab Sekala riang.

Shaka menghela napas, meraih keranjang buah dan meletakkannya di hadapannya Sekala. "Mau buah yang mana?"

Sekala meraih satu buah jeruk yang tampak segar, lalu menyerahkannya pada Shaka. Ada gejolak senang yang menggebu melihat perhatian kecil yang coba Shaka tunjukkan meski berhias canggung. Pasalnya, ia dan Shaka memang tidak pernah saling menunjukkan perhatian secara langsung seperti ia dan Dylan.

Lebih tepatnya, Shaka yang mengaku punya cara sendiri untuk menunjukkan dirinya sebagai seorang kakak.

Satu buah jeruk berhasil masuk ke mulut Sekala. Membuat senyum itu kembali tercetak lebih lebar sampai matanya menyipit. "Makasih, Kak Shaka," kata Sekala.

Shaka terdiam sejenak mendengar itu. Kata biasa, namun rasanya luar biasa. Ternyata, seperti ini rasanya menunjukkan perhatian pada seorang adik dan mendapat ucapan terima kasih bernada riang? Shaka menunduk guna menyembunyikan senyum gemasnya.

"Besok Papa ke Jerman. Kak Shaka mau nggak tolongin gue?"

"Tolongin apa?"

Sekala tidak langsung menjawab sampai waktu berlalu hampir dua menit dan Shaka menghela napas untuk menyadarkan Sekala dari lamunan singkatnya.

"Gue mau sekolah, tapi kata Papa sekolahnya minggu depan aja," ucap Sekala.

"Ya, nurut aja. Lo kalo sakit rewel banget, susah sembuhnya. Jadi, kalau Papa udah bilang istirahat ya, istirahat aja," balas Shaka. Tangannya kembali menyuapkan sepotong buah jeruk ke mulut Sekala.

"Dulu kalau sama Kak Dylan selalu dituruti." Sekala mengerucutkan bibirnya tanda tidak setuju dengan respon yang Shaka berikan. Berbanding terbalik dengan Dylan yang selalu mengiyakan dan membantunya.

"Di sini udah nggak ada Kak Dylan," ucap Shaka pelan. "Jangan pernah berpikir gue sama kayak Kak Dylan, karena gue dan Kak Dylan punya cara sendiri buat jadi Kakak lo," imbuhnya.

Sekala diam setelahnya. Ekor matanya melirik ke arah Shaka yang hanya diam menggenggam buah jeruk di tangan. Setitik rasa bersalah hinggap karena membawa lagi nama kakak sulungnya yang ia tahu akan membuat Shaka merasa tidak nyaman.

Tidak. Bukan hanya Shaka yang tidak nyaman, tapi dirinya juga. Mereka sama-sama belum sembuh dari luka akan kepergian Dylan yang terasa begitu tiba-tiba.

Di tengah hening setelah obrolan keduanya terputus, pintu ruang perawatan itu terbuka dan menampilkan sosok cantik yang membuat Shaka reflek berdiri memperketat penjagaan. Setidaknya, itu yang Sekala lihat.

Serendipity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang