🪨🪨🪨 nih batu buat nimpuk yang pengen kalian timpuk🤽
~Happy Reading~
***
"Kita sudah sejauh ini. Aku sudah mempertahankan semuanya sampai sejauh ini, Ay." Adi menatap lekat wajah Aya yang sejak tadi tidak menunjukkan ekspresi yang bisa ia baca. Bahkan, keduanya sudah duduk berhadapan dan saling diam selama hampir sepuluh menit tanpa sedikitpun suara basa basi seperti yang biasa mereka lakukan ketika bertemu.
"Aku pikir seiring berjalannya waktu kamu bisa berubah. Tapi, sampai detik ini juga kamu masih tetap sama," lirih Adi.
Aya tidak menunjukkan tatapan protes ataupun menghela napas seperti yang biasa ia tunjukkan. Wanita itu hanya diam sembari memainkan ujung-ujung kukunya dengan pikiran yang berkelana jauh.
"Mau kamu apa sebenarnya, Ay? Semua masalah di rumah ini nggak pernah terurai karena kamu selalu mempermasalahkan apapun yang dilakukan Sekala." Adi menghela napas guna mengambil jeda. "Aku capek, Ay. Capek banget kalau harus kayak gini terus," imbuhnya.
Aya mengangguk. Perlahan tatapannya membalas tatap lekat Adi. Senyum getir di bibirnya tidak bisa ia sembunyikan. Debum keras yang berasal dari jantungnya kini terdengar begitu keras sampai memekakan rungu dan memicu lapisan bening menyelimuti kedua manik cantiknya.
Aya tahu pasti apa tujuan Adi mengajaknya bicara dan tanpa sedikitpun basa basi atau kalimat sayang yang lembut.
"Aku ... nggak tau harus ngomong apa," ucap Aya pelan.
"Iya, aku tau kamu pasti kehabisan kata. Aku tau kamu pasti nggak bisa ngalahin ego kamu." Adi menegakkan punggung dan menatap Aya semakin lekat. "Aku pergi kemarin selain buat pekerjaan, aku juga mau kasih kamu kesempatan lagi, Ay."
Aya tidak membalas. Masih tetap menatap Adi dengan wajah yang sulit untuk Adi artikan.
"Dari dulu opsi ini udah ada di pikiranku. Udah pernah aku pilih karena aku jelas berpihak ke mana. Berkali-kali aku bawa surat itu, tapi berkali-kali juga Sekala tahan aku buat nggak kasih surat itu ke kamu. Padahal, Dylan sama Shaka juga udah serahin semua keputusan itu sama aku," ujar Adi lirih.
"Bertahun-tahun aku bertahan itu bukan semata-mata karena aku sayang sama kamu, Ay. Tapi, karena Sekala nggak mau kamu makin benci sama dia karena aku gugat cerai kamu. Dia nggak mau kita pisah, dia nggak mau kakak-kakaknya kehilangan rumah utuh yang kita punya."
Aya masih saja diam mendengar rentetan kalimat panjang dari bibir Adi yang membuatnya menelan saliva. Hari ini, relungnya terguncang oleh berbagai perasaan sampai yang bisa ia lakukan hanya memainkan jemari lentiknya satu sama lain.
Adi meraih map yang sejak tadi tertindih oleh kedua tangannya. Mengulurkan tepat di hadapan Aya sembari memberikan isyarat agar wanita itu meraihnya.
Aya menerimanya dengan getar samar yang masih bisa Adi lihat dengan jelas. Bukan ia tidak iba melihat Aya yang sudah beberapa kali menarik napas dan berusaha mempertahankan ekspresi wajah baik-baik sajanya. Tapi, Adi hanya ingin tegas kali ini dan menguatkan diri agar tidak lagi peduli pada sisi-sisi lain yang nantinya akan menghancurkan kembali keputusannya.
"Kamu bisa baca dulu sebelum tanda tangan." Adi menarik napas dalam-dalam. "Nggak perlu buru-buru, aku bakal nunggu kamu siap tanda tangani itu. Dan, selama kamu memantapkan diri buat tanda tangan surat itu, aku minta jangan dekati Sekala, ya. Yang kemarin itu udah cukup, Ay. Aku nggak bisa lihat Sekala lebih sakit dari itu–"
"Aku udah baca diarynya." Kalimat Aya sukses menelan sisa kalimat Adi barusan. Membuat laki-laki itu mengkatup rapat bibir tebalnya dan menatap Aya intens.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
FanfictionSebagai seorang anak, lahir ke dunia dan menjadi berkat untuk orang tuanya adalah kebahagiaan sempurna yang ia damba, bahkan sejak pertama kali dilahirkan. Menjadi harapan serta masa depan orang tua adalah impian setiap anak. Termasuk, dirinya. Lalu...