Chapter 25

212 14 1
                                    

Happy Reading!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.













“Mau kwetiau atau bakso?.” Mila menyodorkan satu mangkok kwetiau dan satu mangkok bakso daging untuk Vania.

Vania jelas mengambil kwetiau, itu adalah makanan favoritnya selain pisang bolen. Langsung saja ia melahapnya dengan khitmat, “duhh emang paling enak kwetiau buatan Mbok Sarah.” Pekiknya.

Mila mengangguk setuju. Memang menu yang disediakan Mbok Sarah di kantin pesantren selalu enak dimakan. Makanya akhir-akhir ini keduanya lebih memilih makan di kantin ketimbang makan di dapur pesantren. Bukannya mereka tidak bersyukur diberi makan, Vania hanya jengah setiap hari lauknya tempe dan ayam penyet. Kalau tidak, paling capcai dan tempe kecap. Maka dari itu Vania selalu mengajak Mila untuk makan di kantin ketimbang di sana.

“Habis ini mau ke mana, Mil?”

“Kita ke ndalem bantu Umma bikin kue. Katanya ada tamu yang mau datang.” Vania menganggukkan kepalanya lalu segera melahap habis makanannya.

Kemudian setelah mereka mengisi perut, mereka berdua segera beranjak menuju ke ndalem untuk membantu Umma. Setibanya mereka di sana, ternyata sudah ada Umma Halimah dan Aisyah yang sedang mengaduk beberapa adonan kue. Vania dan Mila langsung ikut bergabung untuk membantu.

Umma dan Vania sudah tidak secanggung sebelumnya, sesekali mereka bercanda membuat Mila dan Aisyah memandang keduanya bahagia. Mila dapat menyimpulkan bahwa Umma Halimah sudah berbaikan dengan Vania. Jadi tugasnya sekarang berkurang, tinggal ia menyingkirkan satu parasit yang membutuhkan effort lebih banyak lagi.

“Vania, minta tolong ambilkan kismis di depan ya. Tadi Umma minta Kang Adi untuk belikan.”

“Nggeh, Umma.” Vania lalu bergegas menuju ke depan untuk mengambil pesanan Umma. Wajahnya dihiasi dengan senyuman lebar karena merasa senang bisa berinteraksi dengan Umma Halimah.

“Assalamu’alaikum, Kang Adi.”

“Wa’alaikumsalam. Eh Neng Vania.. mau ambil pesanan Umma ini pasti” ujar Kang Adi dan dibalas oleh anggukan dan senyum manis dari Vania.

“Sebentar ya, saya ambilkan dulu.”

“Nggeh, Kang.” Kang Adi pun bergegas memasuki posko untuk mengambil pesanan Umma Halimah yang ia beli beberapa waktu yang lalu di pasar.

“Tidak menayapa saya?.”

Vania terpenjat kaget karena dikejutkan oleh suara maskulin yang sangat tidak asing di pendengarannya. Ia lantas menoleh ke arah samping, di sana sedang ada Gus Ryan yang menatapnya seraya alisnya dinaikkan memandang heran. Vania mengusap dada nya karena ia sungguh tidak menyadari keberadaan lelaki itu di sana.

“Kapan Gus di sini?” Tanya.

“Sejak kamu datang ke sini dan berbincang sebentar dengan, Kang Adi.” Jawab Gus Ryan dengan santai seraya menyeruput secangkir kopi yang menemaniya tadi bersama Kang Adi.

Vania menelisik penampilan laki-laki itu. Dengan setelan kemeja berwarna putih dengan luaran jaz berwarna navy, ditambah dengan dasi yang terpasang apik di lehernya. Sepertinya lelaki ini akan pergi ke kantor, tapi kenapa masih santai di sini?. Ah masa bodoh, Vania mengedikkan bahu acuh lalu mengalihkan atensinya kala Kang Adi kembali dengan menenteng plastik putih.

“Ini, Neng.”

Vania lantas mengambil plastik putih itu, “terima kasih, Kang. Kalau begitu saya pamit ya, assalamu’alaikum..”

Mencintai Dalam Bayangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang