4. Seporsi sate

378 33 10
                                    

Arutala berjalan sendirian menuju sekolah, tempat ia menimba ilmu. Menyusuri jalanan ramai ibukota  di pagi hari. Arutala terlihat sedih dan menangis sepanjang perjalan dari mulai pergi meninggalkan rumah.

"Arutala sebenarnya salah apa? Arutala gak paham kenapa semua keluarga Arutala membenci Arutala? Salah apa Arutala? Ya Allah kenapa Arutala harus hidup di dunia seperti ini? Takdir-Mu mengapa seperti ini?"

"Arutala memang anak yang tak diharapkan oleh orang tua Arutala. Dan kenapa Allah tetap mentakdirkan Arutala hidup di dunia? Arutala menderita. Arutala capek dicaci-maki, disiksa, bahkan tak dianggap. Arutala capek banget."

Arutala memberhentikan langkahnya di sebuah taman yang berada di pinggir jalan. Di sana ia duduk sendiri dan mulai mengeluarkan emosinya.

"Arutala capek. Arutala lelah. Arutala gak punya tempat berlindung. Arutala ingin pergi dari rumah itu. Capek. Capek banget."

Setelah memenangkan diri, Arutala melanjutkan langkahnya menuju sekolah.

"Arutala tiga hari ini kamu ke mana? Tak ada kabar. Sakit? Atau ijin?" tanya Arshaka menghampiri Arutala.

Ya, beberapa hari ini Arutala tak masuk sekolah. Karena ia masih sakit. Sakit karena keracunan dan juga karena siksaan dari Sagara ditambah juga dari Kalandra, karena terkena hasut Sagara sampai ia juga ikut menyiksa Arutala.

"Arutala sakit Ar. Tak sempat memberi kabar. Pasti dialfain ya?" tanya Arutala pada temannya.

"Hmmm ... Arshaka lupa. Kayaknya si, iya. Arutala sakit apa?"

"Sakit demam."

"Demam? Tapi kok wajah Arutala memar gitu? Jatuh atau dipukul?" Arshaka tampak penasaran dengan luka memar di wajah Arutala yang sedikit mulai memudar.

"Jatuh dari tempat tidur karena pusing pas sakit. Udahlah, yuk masuk Ar! Udah mau bel." Arutala sedikit berbohong pada temannya. Padahal luka itu dari pukulan Sagara dan Kalandra. Arutala juga sedikit mengalihkan pembicaraan agar temannya tak menanyakan luka di wajahnya terlalu dalam.

"Ok!"

***

Malam harinya Arutala memberanikan diri menuju kamar orang tuanya untuk meminta kartu keluarga untuk syarat beasiswa di sekolah. Arutala terpilih menjadi salah satu penerima beasiswa siswa berprestasi di sekolahnya.

Arutala mulai mengetuk pintu kamar orang tuanya dengan sedikit takut.

"Ayah, Bunda, Arutala boleh masuk gak?"

Pintu kamar terbuka. Kyrana yang membukakan pintu kamar dengan wajah tak suka.

"Mau apa kamu? Ganggu aja bisanya. Cepat Saya mau tidur sialan!"

"Mau minta fotokopi KK sama KTP Ayah dan Bunda buat persyaratan penerimaan beasiswa siswa berprestasi di sekolah. Boleh gak?" Arutala menunduk sembari memainkan ujung baju yang ia kenakan.

Tanpa membalas, Kynara masuk dan kemudian menghampiri Arutala dan memberikan apa yang Arutala pinta.

"Syukurlah kamu dapat beasiswa. Gak perlu saya buang-buang uang buat biaya sekolah kamu. Syukur-syukur, pengeluaran hidup kamu kamu yang nanggung. Rugi saya mengeluarkan uang untuk biaya hidup kamu dan sekolah. Untung aja kamu pintar. Akhirnya bisa hemat pengeluaran."

"Makasih Bunda." Arutala kemudian pergi ke kamarnya tanpa menatap kembali wajah ibunya.

Arutala memasukan fotokopi KK dan KTP milik orang tuanya ke tas sekolah miliknya yang mulai terlihat usang.

Sembagi Arutala Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang