7. Rasa benci yang kuat

352 25 3
                                    

"Udah! Arutala mual, Shaka." ucap Arutala sembari menghentikan sesendok bubur yang akan masuk ke mulutnya.

"Baru tiga suap, Ar. Sekali lagi ya?" bujuk Arshaka, namun Arutala menggeleng.

"Jan dipaksa Arshaka, kayaknya dia emang mual." ucap Jevano.

"Arutala mau tidur, Arutala capek." ucap Arutala dengan parau.

"Capek? Capek ngapain lu? Tala lu di kasur mulu masa capek?" ucap Jevano.

"Namanya orang sakit, pasti lemes. Cepet capek gitu." jawab Arshaka, kemudian menaruh mangkok bubur di atas nakas.

"Minum obat dulu, baru tidur." ucap Arshaka. Kemudian Arutala mengangguk walau matanya sedikit terpejam. Arshaka membantu Arutala meminum obat setelah itu Arutala terlelap tidur.

Jevano menatap Arutala yang sedang terlelap. Kemudian sedikit tersenyum, "Arutala tu cakep banget. Mirip banget sama ibunya. Tapi sayangnya, dia gak disukai sama keluarganya. Salah dia apa sampai keluarganya benci dia?"

"Entahlah Jev. Kasihan juga Arutala. Ada ya orang tua kayak gitu. Arutala anak mereka, tapi kok ..." Arshaka tak melanjutkan ucapannya.

"Lulus SMP nanti kita lanjutkan ke sekolah yang sama. Gue gak mau kita pisah. Gue pengen kita sahabat sampai tua. Kalau Arutala tak mendapatkan kebahagiaan di keluarganya, biar kita aja yang jadi sumber kebahagiaan Arutala." ucap Jevano.

"Setuju!"

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore hari dan Arutala masih terlelap dalam tidurnya. Arshaka hendak membangunkan Arutala, namun tak tega membangunkannya, terlebih satu jam yang lalu Arutala terserang demam hingga suhu tubuhnya hampir 40°C.

"Serius nih seharian ini kagak ada yang nengok dia? Kagak waras emang tu keluarga Arutala." celetuk Jevano dengan kesal.

"Arshaka, mau nitip apa? Gue mau keluar cari jajanan dan makan. Laper banget gue. Pen jajan cuy."

"Titip bakso aja. Di styrofoam ya bungkusnya. Jangan lupa sendoknya. Campur, kuahnya dikit aja."

"Wokeh!"

Jevano kemudian keluar dan pergi untuk mencari jajanan yang berada di luar rumah sakit.

"Arutala kok perbannya rembes." Arshaka melihat darah yang merembes dari perban dan sedikit mengenai bantal.

"Ar! Bangun Arutala!" Arshaka membangunkan Arutala ketika menyadari wajah Arutala semakin pucat.

"Arutala bangun!" Arshaka semakin meneteskan air matanya.

Pintu kamar rawat Arutala terbuka. Arshaka kira dokter atau perawat yang masuk, nyatanya seorang pria dewasa yang tak dikenalinya.

"Arutala kenapa? Kenapa dengannya?!!" tanya Artha pada Arshaka dengan sedikit gertakan. Arshaka menggeleng. Ia semakin menangis.

"Sialan!" umpat Artha.

Kemudian ia menekan tombol darurat beberapa kali yang ada di atas brankar Arutala.

"Pelayanan rumah sakit ini benar-benar buruk!"

Tak lama beberapa paramedis datang untuk menolong Arutala.

"Selamatkanlah anak saya! Jika tidak, saya akan menuntut kalian!" ucap Artha ketika paramedis menyuruhnya dan Arshaka keluar dari kamar rawat.

Sembagi Arutala Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang