10. Rencana Kalandra

303 27 5
                                    

Seorang wanita usia hampir paruh baya tengah menunggu seseorang di sebuah taman. Sesekali ia menatap arloji yang melingkar di tangannya.

Raut wajahnya menunjukkan rasa kesal karena ia sudah lama menunggu seseorang di taman itu.

"Helena sepertinya mengulur waktu. Tak sesuai janji."

"Maaf sudah menunggu lama, Kynara." Seorang wanita cantik yang duduk di kursi roda datang menghampiri Helena bersama suaminya.

"Mau apa kamu mengajakku bertemu di sini? Cepatlah! Tak ada waktu aku berlama-lama denganmu, Helena."

"Kamu masih tak menerima Arutala? Bagaimana pun, dia darah dagingmu. Kynara, aku mengerti perasaanmu. Tapi tak ada gunanya jika kamu membencinya."

"Sudahlah! Kamu mengajakku bertemu malah membahas tentang anak itu. Mau aku kasar tak mengakuinya, itu hak aku sebagai ibunya! Kamu bukan siapa-siapa! Persahabatan kita sudah putus sejak malam bejat itu!"

Kynara bernafas dengan menggebu-gebu. Meluapkan semua kekesalan masa lalunya kala itu. Masa lalu yang kelam dan terpuruk baginya.

"Maafkan aku Kynara. Aku tak bisa menyelamatkanmu. Aku dihantui rasa bersalah selama bertahun-tahun. Maafkan aku. Kakiku yang lumpuh ini mungkin karma karena aku tak bisa menyelamatkanmu." Helena mulai menangis dan menyalahkan dirinya sendiri.

"Seandainya aku bisa melawan mereka dan menyelamatkanmu, kejadian itu takkan terjadi."

"Menyesal aku mengiyakan janjianmu hanya untuk membahas masalah yang sudah aku lupakan. Kamu lumpuh bukan karena kejadian itu, tapi karena malpraktik rumah sakit tempat kamu melahirkan anak pertamamu. Buang jauh-jauh masalah itu. Aku sudah melupakan. Walau akhirnya aku membenci darah dagingku sendiri." Mata Kynara mulai berkaca-kaca.

***

Arutala, Irsyad, Jevano, Renjana, Althaf, dan Arshaka, mereka temu janji di SMA Angkasa Cendekia. Mereka berlima memantapkan pilihan ke SMA Angkasa Cendekia dan berhasil diterima di sana dan mengambil jurusan yang sama, yaitu MIPA.

Setelah mengantar berkas pendaftaran lanjutan, mereka kemudian pergi ke sebuah cafe untuk rehat dan berbincang-bincang sejenak.

Karena cuaca Jakarta lumayan panas hari ini, mereka memesan es dan juga dessert untuk kudapan mereka.

"Ar, lu jangan kembali ke rumah lu. Udah tinggal di Irsyad aja. Keluarga Irsyad juga menerima baik lu. Sekalian temenin Irsyad, si anak tunggal." ucap Jevano.

"Iya si yang punya abang dan adek perempuan. Iya deh, iya. Si anak tengah emang." timpal Irsyad.

"Yang banyak noh keluarga Arshaka. Udah punya kakak cowok kembar dua, adik laki-laki satu, dia anak ketiga." Renjana ikut nimbrung.

"Lu juga sama Renjana! Kakak lu satu, adik lu dua. Sama kayak Arshaka tapi beda posisi." timpal Althaf.

"Lu anak pertama 'kan Althaf? Adek lu atu doang." tanya Jevano.

"Iye. Adek gue only one, Muhammad Hamid Yusril Elfathih. Orang tua gue ikutan program pemerintah. 2 anak lebih baik." jawab Althaf.

Arutala hanya terkekeh mendengar percakapan teman-temannya tentang saudara mereka masing-masing. Ya, semuanya memiliki saudara. Hanya Irsyad yang anak tunggal.

"Kalian punya saudara, enak banget gak kesepian. Kalau Irsyad dimaklumi karena anak tunggal. Kalau Arutala, ada saudara tapi kayak gak punya. Serasa anak tunggal tapi terkadang kayak anak angkat." Mendengar ucapan Arutala yang tadinya ramai menjadi hening. Ya ucapan Arutala membuat mereka sedikit tertohok.

"Perasaan terang menderang bahkan panas, sepanas sauna. Kok gelap tiba-tiba?" celetuk Althaf.

"Kok diem? Eh, maaf ya Arutala jadi curhat." ucap Arutala tak enak hati.

Sembagi Arutala Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang