8. Rasa benci Bunda

328 24 11
                                    

Arutala berjalan ke arah jendela kamar rawatnya sembari mendorong tiang infusnya. Cuaca di Jakarta pagi hari lumayan dingin. Dari kejauhan Arutala melihat kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya kota Jakarta.

Arutala kemudian mengarahkan pandangannya ke bawah. Ke jalan menuju tempat parkir rumah sakit.

"Kalau Arutala meloncat dari sini, semuanya yang menyakitkan di dunia ini selesai."

Matanya mulai berkaca-kaca kemudian menangis tanpa suara. Sebegitu sesaknya kehidupannya di dunia. Bahkan, tak sanggup berkata-kata lagi tentang kehidupan Arutala.

"Kenapa harus lahir? Kenapa harus Ada? Arutala gak mau lahir. Arutala gak sanggup. Gak sanggup lagi ..." Tangisnya seketika pecah.

"Bunda ..., apa yang membuat Bunda sebenci itu dengan Arutala? Apakah Arutala bisa menebus semua kesalahan Arutala yang bahkan Arutala sendiri tak tahu itu kesalahan apa?"

***

Arutala berjalan kaki menembus angin malam Jakarta. Mengabaikan rintik hujan yang mulai membasahi tanah. Suasana sepi dan sunyi sepanjang jalan tampaknya ia abaikan.

Sore tadi Arutala diizinkan pulang. Ia tahu bahwa keluarganya tak ada yang mau menjemputnya, maka dari itu ia memilih untuk jalan kaki sampai rumah. Ditambah juga ia tak mempunyai uang sepeser pun.

Arutala berhenti dan beristirahat sejenak di sebuah taman. Ia duduk untuk melepas rasa penatnya.

"Ya Allah kapan kehidupan Arutala selesai?"

"Apakah Arutala kuat kedepannya? Arutala capek. Arutala lelah."

Setelah dirasa rasa penatnya hilang, Arutala melanjutkan perjalanannya.

"Assalamu'alaikum." ucap Arutala setibanya di depan pintu rumah. Sepertinya tak ada seorang pun di rumah. Ditambah pintu rumah terkunci. Kemudian Arutala memilih untuk melewati pintu belakang rumah kebetulan ia tahu tempat kunci cadangan yang biasa ditaruh oleh ibunya.

Setelah berhasil masuk rumah, Arutala kemudian menutup kembali pintu belakang.

"DASAR MALING!" Arutala terperanjat ketika mendengar suara kakak keduanya, Kalandra. Ia pun berbalik arah.

Pltak!

Kalandra melemparkan spatula kayu dan mengenai dahi Arutala. Kepalanya terasa pusing seketika.

"Arutala tak berbuat kesalahan, Bang. Kenapa dilempar spatula?" tanyanya memberanikan diri.

"Dasar anak gak tahu diuntung lu! Sialan!"

"Selalu saja mengatakan seperti itu." Arutala berucap tanpa rasa takut sedikit pun.

"Kalau gue gak inget lu abis dirawat di RS, gue bakal hajar elu habis-habisan! Gatel tangan gue buat nyiksa lu anak sial!"

Kalandra kemudian meninggalkan Arutala. Sepanjang jalan ia terus memaki-maki Arutala dengan perkataan yang sangat menyakitkan.

***

Hari ini adalah hari perpisahan di sekolah menengah pertama tempat Arutala menimba ilmu. Arutala hanya berdiam diri di tempat tidurnya. Pakaian yang sudah ia siapkan sebelumnya ia biarkan begitu saja.

"Arutala kayaknya gak datang ke acara perpisahan. Percuma. Gak ada yang datang menghadiri acara perpisahan. Sepertinya Arutala hanya anak angkat di keluarga ini. Bukan keluarga kandung."

Sembagi Arutala Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang