06: Dia yang Semakin Memikatku

166 42 15
                                    

Pagi ini, aku mampir ke taman bunga yang dikelilingi kupu-kupu. Ditilik dari arsitektur penuh lengkungan dan ukiran yang menjadi nyawa kapel dan pagar sekeliling, jelas ini bukan suatu tempat di Antaranusa. Dinding putih yang mulai mengelupas dan ornamen dewa-dewi berpadu dengan padang rumput dan tanaman warna-warni. Aku tidak ingat pernah pergi ke tempat semacam ini sebelumnya.

Di sana, aku berjalan dengan kaki telanjang. Rumput hijau yang masih berembun menyelip di sela jari. Wangi petrikor yang tercampur samar dengan aroma lavender menyapa penciuman. Rambut merah ikalku begitu kontras dengan terusan putih berenda yang kukenakan. Pantulan sinar matahari dan langit biru-keunguan membuat suasananya bagai di negeri dongeng. Meski begitu, aku masih merasa ini semua terlalu nyata untuk ukuran perjalanan ke pulau kapuk.

Dari kejauhan, aku melihat Nara membawa buntalan besar. Saat melangkah lebih dekat, lelaki itu menoleh dan tersenyum manis hingga matanya menyipit.

Bagian itulah yang membuatku bisa memastikan itu sungguhan mimpi, karena Nara di dunia nyata tidak mungkin tersenyum secerah itu padaku. Ketika jarak kami sudah terpangkas … nyawaku kembali ke realita.

Apakah itu pertanda hari ini aku akan lebih dekat dengan Nara?

Mimpi baik adalah sinyal hari yang baik. Aku selalu percaya dengan hal itu. Maka dengan senandung—yang aku tahu, patut dipertanyakan kemerduannya—aku bersiap. Wangi sosis yang merebak dari air fryer menambah perasaan menyenangkan ini. Sempat-sempatnya pula aku menghias sarapan untukku dan Runa yang lumayan niat: tumis brokoli, sosis bunga, dan rumput laut yang dicetak dalam bentuk bintang. Andai perasaan bagus begini bisa muncul setiap hari!

Hari ini aku memilih jalan kaki, demi memperbesar kesempatan berjumpa dengan Nara. Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku berjumpa dengan yang bersangkutan. Nara sedang menepi di sisi kiri trotoar dengan dua kresek putih besar di kedua tangannya.

Mendekatinya langsung bisa jadi membuat anak itu kabur, mengingat sikap dinginnya padaku. Jadi, aku mengamati lelaki dalam balutan jas sewarna moka itu mengeluarkan kotak-kotak makanan. Kemudian, ia melipir ke gang yang tak jauh dari situ, memberikan apa yang ada di tangannya kepada orang-orang di sana.

Wah, ternyata Nara punya sisi dermawan seperti ini juga. Bagaimana mungkin aku tidak semakin jatuh cinta?

Karena aku tahu dia tidak mungkin kabur begitu saja kalau dihampiri di tengah kegiatan, aku berjalan mendekat dan menepuk pundaknya dari belakang. Yang ditepuk refleks berjengit.

“Kamu sudah biasa bagi-bagi begini, Nara?” Aku meraih salah satu kotak. Dari balik tutup mika transparan, aku bisa melihat nasi dengan potongan wortel dan chicken katsu. Sedap, tapi sedikit berembun. Sepertinya kotak-kotak ini ditutup saat makanan masih panas. “Kalau kayak gini, makanan bisa lebih cepat basi. Lain kali, tunggu agak dingin dulu baru ditutup.”

“Gue mah cuma ngambil dari penjualnya, Kak.” Nara mengangkat bahu. Tatapannya sinis. “Mana ngerti gue yang kayak gituan?”

Justru karena belum mengerti, makanya diberitahu! Sepertinya memang aku akan selalu salah di mata juniorku yang satu ini, tapi lebih baik aku mengerem mulut. Lagipula, niatku menghampiri adalah untuk pendekatan, bukan memulai pertikaian baru. “Aku boleh bantu bagi-bagi?”

Lagi-lagi, Nara mengangkat bahu. “Serah, sih.”

“Ada target khusus atau random aja, Nara?”

“Terserah.”

Rasanya ingin kucubit, deh. Jawabannya sudah seperti cewek ngambek yang sok-sokan dingin—walaupun di kasus ini, Nara memang betulan dingin padaku.

Karena Nara bilang terserah, aku membagikannya pada setiap orang yang kelihatan belum sarapan (percayalah, aku bisa menerawang dari tampang mereka). Nasinya habis lima menit sebelum jam masuk kantor, dan jaraknya dari tempat kami berbagi masih sepuluh menit kalau melangkah biasa.

[END] The Boy I Met in DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang